-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Akal Tunduk di Hadapan Nurani

Rony K. Pratama, Dosen Komunikasi Terapan di Universitas Sebelas Maret.

ARKANA~ Hari ini kita cenderung mengagungkan logika instrumental. Kesuksesan diukur melalui efisiensi, kekuasaan, dan kemampuan mengalahkan yang lemah. Sementara, karya klasik macam Crime and Punishment (1866) karya Fyodor Dostoevsky justru menjadi cermin retak yang memantulkan kegagalan proyek rasionalisme modern.

Melalui Raskolnikov, sang protagonis pembunuh, Dostoevsky tak sekadar menulis tragedi individu, tapi menggugat seluruh episteme Barat yang menjadikan akal sebagai tuhan baru. 

Pada aras inilah, saya tergelitik untuk menelisik bagaimana novel ini bukan hanya kisah abad ke-19, melainkan nubuat tentang krisis kemanusiaan yang tengah kita hadapi di abad ke-21. 

Raskolnikov bukanlah penjahat konvensional. Ia membunuh Alyona Ivanovna, si rentenir sepuh, bukan demi uang, melainkan untuk membuktikan teori ubermensch-nya: bahwa manusia “luar biasa” berhak melangkahi moral umum demi tujuan yang lebih tinggi. Sejurus kemudian, saat mengeksekusi, ia juga membunuh saudari korban yang tak bersalah, Lizaveta, yang muncul secara tak terduga.

Dalam monolog-monolognya yang panas, kita menyaksikan bagaimana filsafat Nietzschean yang tentu belum lahir saat itu telah diantisipasi oleh Dostoevsky. Raskolnikov adalah produk dari masyarakat yang mulai meninggalkan iman dan menggantikannya dengan kultus akal budi.

Akan tetapi, di aras inilah letak ironi besar novel ini. Justru tatkala Raskolnikov paling yakin pada rasionalitasnya—saat ia merancang pembunuhan secara matematis, menghitung setiap risiko—ia terjatuh ke dalam kegilaan. Dostoevsky seolah berkata: manusia tak pernah sepenuhnya rasional. Bahkan teori “manusia luar biasa” itu sendiri lahir dari irasionalitas—dari keangkuhan yang menyembunyikan luka inferioritas.

Dalam adegan-adegan halusinasi setelah pembunuhan, kita melihat tubuh Raskolnikov memberontak melawan pikirannya; demam, mimpi buruk, dan paranoid adalah bentuk pemberontakan nurani yang tak bisa dijinakkan oleh logika.

Di balik tragedi personal Raskolnikov, Dostoevsky menyelipkan kritik pedas pada masyarakat Rusia abad ke-19 yang terobsesi pada ide-ide Barat. Saint Petersburg digambarkan sebagai kota yang menguapkan kemanusiaan: jalan-jalannya sumpek, apartemen-apartemen gelap, dan udara dipenuhi bau kemiskinan.

Tokoh-tokoh seperti Marmeladov yang tenggelam dalam alkohol sebetulnya ialah korban dari sistem ekonomi yang menggilas yang lemah.

Tak heran jika Raskolnikov muda, yang cerdas tetapi miskin, merasa teralienasi. Di tengah tekanan ekonomi dan intelektual, ia menciptakan filosofinya sendiri sebagai mekanisme pertahanan.

Di sini, Dostoevsky mengajak kita bertanya: bukankah masyarakat yang tak adil turut bertanggung jawab atas kejahatan individu? Dalam konteks kekinian, pertanyaan ini relevan ketika kita menyaksikan bagaimana ketimpangan sosial melahirkan kekerasan, dari terorisme hingga korupsi elite.

Interaksinya dengan Sonya Marmeladova, seorang pelacur yang penuh pengorbanan dan iman religius, menjadi kunci transformasinya. Melalui Sonya, ia mulai memahami pentingnya penebusan melalui penderitaan dan pengakuan.

Bila Raskolnikov adalah personifikasi akal yang membatu, Sonya adalah representasi dari cinta yang merendah. Dostoevsky sengaja menempatkan dua kutub ini dalam hubungan yang timpang: si filsuf pembunuh dan si pelacur suci.

Sonya tak berdebat dengan teori-teori. Ia hanya membaca Al-Kitab ihwal kebangkitan Lazarus, lalu menangis. Air matanya itulah yang meruntuhkan benteng rasionalitas Raskolnikov. Di sini, Dostoevsky bukan sekadar mengangkat tema penebusan Kristen, melainkan menunjukkan betapa kemanusiaan sejati terletak pada kemampuan untuk menderita bersama. 

Ketika Raskolnikov akhirnya bersujud di depan Sonya, ia bukan sedang menyerah pada agama, tetapi mengakui bahwa hidup tak bisa direduksi menjadi persamaan matematis.

Dus, Raskolnikov menyerahkan diri ke otoritas dan dihukum kerja paksa di Siberia. Di sana, dengan dukungan Sonya, ia perlahan menemukan jalan menuju pemulihan jiwa melalui penyesalan dan cinta.

Konon kita tengah memasuki era manakala akal imitasi mulai menggantikan pertimbangan moral. Sementara kapitalisme global mendikte bahwa yang kuat bertahan, sesungguhnya Crime and Punishment justru mengingatkan kita pada bahaya mengerdilkan manusia menjadi mesin penghitung.

Raskolnikov abad ke-21 mungkin tak membunuh dengan kapak, tetapi ia merampas hak-hak buruh dengan alasan efisiensi, atau merusak lingkungan demi laba perusahaan.

Proses penebusan Raskolnikov dimulai ketika ia menerima hukuman. Bukan karena hukum negara, melainkan karena ia memilih untuk menderita. Dalam epilog Siberia, di bawah langit yang luas, ia menemukan kedamaian bukan melalui pikiran, tetapi melalui pengakuan akan keterbatasannya sebagai manusia.

Dostoevsky, melalui kejatuhan Raskolnikov, sependek pembacaan saya, sebenarnya membicarakan ketaktakutan akan kompleksitas manusia: pada air mata, pada kegelisahan, bahkan pada kegagalan. Sebab, dalam kerapuhan itulah kita menemukan kembali makna menjadi manusia.

Sebelum menjadi apa pun, manusia harus tetap menjadi manusia.*


Post a Comment

Post a Comment