![]() |
| Anom Surya Putra, Advokat (Peradi Pergerakan) dalam FDT KPU RI Oktober 2025 |
ARKANA~ Penyelenggara Pemilu di Indonesia sedang dilanda krisis legitimasi yang sistemik. Akar masalahnya bukan pada oknum, melainkan pada desain kelembagaan yang konfliktual. UU Pemilu justru menciptakan ketegangan struktural antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pelaksana dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang berfungsi hibrida.
Bawaslu hadir sebagai "pengawas", "jaksa", dan "hakim" sekaligus bagi KPU. Relasi ini bukan check and balance, melainkan sumber disfungsi permanen yang menggerogoti otonomi konstitusional KPU. Konsekuensinya, KPU terjebak dalam rigiditas prosedur, seperti dalam kasus Banjarbaru, yang mana jadwal tahapan yang kaku justru menafikan keadilan substantif.
Krisis ini diperparah oleh proses seleksi penyelenggara yang transaksional, dimulai dari Timsel yang sarat "pesanan titipan". Hasilnya, lingkaran setan: seleksi politis melahirkan penyelenggara partisan, yang pada ujungnya merusak kepercayaan publik.
Solusi parsial tak lagi memadai. Diperlukan rekonstruksi total berdasarkan spesialisasi fungsional. KPU harus dimurnikan sebagai pelaksana tunggal. Fungsi ajudikasi dialihkan ke Badan Ajudikasi Pemilu (Badilu) yang independen. Sementara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) diperkuat sebagai forum etik final. Fungsi pengawasan pun harus dikembalikan kepada masyarakat sipil terakreditasi, sebagai bentuk de-kolonialisasi terhadap "Dunia Kehidupan" dari intervensi birokrasi.
Reformasi ini bertujuan mengembalikan rasionalitas komunikatif, memperkuat keadilan prosedural, dan menjamin keberlanjutan demokrasi konstitusional kita.
Telah tiba waktunya kita berani menata ulang fondasi kelembagaan Pemilu. Untuk analisis yang lebih mendalam, Anda dapat mengakses makalah lengkapnya di Academia.
Selamat membaca.*



Post a Comment