-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Memimpin Kampus Unkriswina: Soal Kesiapan, bukan Kesempatan

Dr. Rambu Luba Kata Respati Nugrohowardhani, S.E., M.A., MCE (Dosen dan Pembantu Rektor I Unkriswina)

ARKANA~ Masa pemilihan Rektor Unkriswina untuk masa bhakti 2026 – 2031 telah dimulai. Sesuai kalender tahapan dan jadwal kegiatan pencalonan yang disampaikan Panitia Penyelenggara Proses Pencalonan, Pemilihan, dan Pengangkatan Rektor dan Pembantu Rektor, masa pemilihan akan diakhiri pada Bulan Oktober 2025. Terkait dengan hal tersebut, saya cukup sering ditanya; maju jadi rektor ko ibu? Sampai dengan kemarin sore pun masih ada dosen yang menanyakan hal tersebut. Pertanyaan itu saya rasa wajar diungkapkan karena saya salah satu dosen yang memenuhi syarat dan mempunyai kesempatan. Untuk perhatian dan keingintahuan itu, izinkan saya menyampaikan rasa terima kasih yang tulus. Sungguh, saya merasa terhormat.

Tulisan ini adalah versi (agak) panjang dari isi e-mail balasan saya pada Panitia Penyelenggara Proses Pencalonan, Pemilihan, dan Pengangkatan Rektor dan Pembantu Rektor, yang mengirimkan informasi tentang penyelenggaraan pemilihan rektor pada saya sebagai salah satu kandidat bakal calon rektor. Saya buat tulisan ini supaya tidak perlu menjelaskan panjang lebar alasan mengapa saya tidak mengajukan diri menjadi bakal calon rektor di tahun ini. Bagi yang tertarik, silahkan lanjutkan membaca. Bagi yang tidak, monggo diabaikan saja. No worries!

Well, dengan mantap dan tanpa drama, saya memutuskan untuk tidak mengajukan diri sebagai Bakal Calon Rektor Unkriswina tahun ini karena sadar bahwa menjadi rektor bukanlah sekadar mencapai jabatan struktural tertinggi, melainkan tentang kesediaan untuk menjadi titik tumpu dari berbagai tekanan yang kadang tidak terlihat dalam struktur organisasi, baik tekanan administratif, politis, bahkan eksistensial. Saya rasa, jabatan rektor itu bukan sekadar “naik pangkat”, tapi juga bisa jadi “naik tensi.”

Keputusan ini bukan bentuk menghindar dari tanggung jawab, melainkan sebagai wujud kejujuran akademik dan kejujuran terhadap kapasitas diri sendiri. Berdasarkan pengalaman saya sebagai Pembantu Rektor 1 bidang akademik, pemahaman saya tentang makna jabatan rektor, dan juga pengamatan selama ini di dunia pendidikan tinggi, saya merasa “bekal” saya untuk mengajukan diri menjadi rektor belum cukup. Justru dari posisi jabatan struktural itu saya banyak belajar dan menyaksikan langsung dinamika pengelolaan perguruan tinggi, baik dari dalam maupun melalui pertemuan-pertemuan pimpinan PT di tingkat regional dan nasional. Dari sinilah saya punya dua alasan utama yang ingin saya bagikan dalam tulisan ini.

Pertama, pemahaman saya tentang jabatan rektor dari pengalaman menjadi asesor Beban Kerja Dosen (BKD). Sebagai salah satu asesor BKD saya memahami betul bahwa rektor bukan hanya jabatan manajerial tertinggi di kampus, tapi pada dasarnya tetaplah seorang dosen, yaitu “dosen dengan tugas tambahan”. Rektor adalah seorang dosen dengan tugas struktural untuk memimpin dan mengelola universitas. Karena itu, sebelum seorang dosen menerima tugas tambahan, ia harus terlebih dahulu membuktikan bahwa ia mampu menjalankan tugas utamanya sebagai dosen yaitu melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi; pendidikan-pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. 

Logikanya sederhana: kalau tridharma itu sendiri belum dijalankan dengan konsisten, bagaimana bisa diberi tambahan tanggung jawab untuk memastikan dosen-dosen lain di kampusnya melaksanakan kewajiban utama dosen? Itulah sebabnya seorang dosen dengan tugas tambahan tetap wajib melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, walau mendapat keringanan pada beban kerja. Sayangnya, ada juga dosen dengan tugas tambahan yang justru menggunakan kesempatan “berjabatan struktural” itu untuk tidak melengkapi tridharma setiap semester. 

Adapun penilaian kinerja seorang dosen dapat ditunjukkan melalui Laporan Beban Kerja Dosen (BKD) yang dinilai asesor setiap semester. Memang laporan itu tidak mudah diakses oleh semua orang karena bukan dokumen publik. Tapi, untungnya zaman sekarang ada search engine populer: Google. Coba ketik nama seorang dosen, dan lihat apa yang muncul di laman Google. Apakah ada rekam jejak tridharmanya? Berapa banyak karya ilmiahnya? Di jurnal seperti apa publikasinya? Adakah kegiatan pengabdian kepada masyarakat? Kuliah umum? Atau, jangan-jangan jejak belanja online saja yang muncul. 

Nah, saya coba lakukan itu pada nama saya sendiri. Hasilnya cukup membuat saya introspeksi: rekam jejak saya belum seberapa. Hal itu membuat saya membayangkan, jika saya menjadi rektor, dan kemudian harus mendorong rekan-rekan dosen untuk menembus jurnal bereputasi internasional, mungkin akan ada yang bertanya: “Karya ilmiah ibu sendiri sudah published di mana?”, “Berapa banyak buku yang sudah dihasilkan?”, “Berapa ibu punya SINTA score?” Saya membayangkan pertanyaan-pertanyaan itu dengan senyum kecut karena saya tahu saat ini saya belum punya jawaban yang membanggakan. Sebagai seorang akademisi, saya merasa harus objektif menilai diri saya sendiri sebelum berharap dinilai layak oleh orang lain.

Kedua, pengamatan dan pengalaman langsung dalam pertemuan-pertemuan yang dihadiri pimpinan perguruan tinggi. Sebagai Pembantu Rektor I, saya berkesempatan menghadiri berbagai pertemuan pimpinan perguruan tinggi, baik regional maupun nasional. Di forum-forum tersebut, saya sering mengamati satu pola yang cukup konsisten: performa suatu perguruan tinggi sangat erat kaitannya dengan kualitas pimpinannya. Perguruan tinggi yang berprestasi umumnya dipimpin oleh sosok yang tidak hanya memiliki gelar akademik tertinggi, memiliki rekam jejak tridharma yang kredibel, memahami regulasi yang terkait dengan pendidikan tinggi, punya jaringan kerja yang luas, tetapi mampu memberi motivasi dan proyeksi tentang tantangan perguruan tinggi di masa depan. 

Gelar akademik tertinggi yang saya maksud adalah doktor atau Ph.D. Menurut saya, gelar akademik tertinggi untuk menjadi rektor adalah hal necessary, but not sufficient. Artinya, salah satu syarat menjadi rektor memang sebaiknya bergelar akademik doktor, namun tidak cukup kalau hanya itu saja. Memang penting seorang rektor bergelar doktor, tapi lebih penting lagi adalah apa yang sudah dilakukannya sebagai seorang doktor? Lagi-lagi, kita bisa googling untuk melacak jejak reputasinya. Sebenarnya, akan jauh lebih baik lagi jika syarat menjadi rektor juga sudah mencapai jabatan fungsional tertinggi, yaitu profesor. Dengan demikian, ia sudah “selesai” dengan segala urusan karir akademik, baik jenjang pendidikan akademik maupun jabatan fungsional akademik, sehingga hanya fokus pada urusan pengelolaan kampusnya. 

Singkat kata, hasil pengamatan saya menunjukkan bahwa rektor seharusnya adalah tokoh akademik dengan rekam jejak yang membanggakan dan menginspirasi. Reputasi dan rekognisi mereka dapat dipertanggungjawabkan. Sebaliknya, kampus yang cenderung stagnan atau tidak terdengar kiprahnya sering kali dipimpin oleh sosok yang rekam jejak akademiknya sulit ditemukan, bahkan oleh Google sekalipun. Saya pernah menyaksikan langsung ada pimpinan perguruan tinggi menjadi bahan gunjingan peserta forum, bukan karena personalitasnya, tetapi karena tidak memahami regulasi terbaru, tidak bisa menjelaskan arah pengembangan akademik, bahkan tidak bisa menjelaskan proses penjaminan mutu di kampusnya!

Atas dasar dua pertimbangan di atas, saya menyadari bahwa menjadi rektor bukan sekadar soal keberanian, tetapi juga soal kesiapan kapasitas dan integritas akademik. Sebagai akademisi, saya percaya pentingnya keteladanan berbasis rekam jejak, bukan sekadar niat baik atau dukungan kolektif. Karena itu, saya memilih untuk tidak mengajukan diri menjadi bakal calon rektor di tahun ini. Sebuah keputusan yang saya ambil bukan dengan rasa malu, tetapi justru dengan rasa hormat terhadap jabatan itu sendiri.

Selanjutnya, sebagai senior, saya ingin menyemangati para dosen yang lebih muda untuk mempunyai mimpi menjadi Rektor Unkriswina di masa depan. Asah kompetensimu, siapkan rekam jejakmu, bangun reputasi dan rekognisimu, serta bawa mimpimu selalu dalam doa. Kampus ini tidak kekurangan orang hebat. Saya percaya akan selalu ada sosok yang pantas untuk tampil di garis depan, membawa kampus ini ke arah yang lebih maju. Ingat juga untuk selalu doakan kampus ini agar terus dipimpin oleh orang-orang yang tidak hanya baik, tapi juga siap secara akademik, strategik, dan spiritual. 

Untuk sementara, jika Tuhan berkehendak, saya akan terus menjadi dosen, peneliti, dan pengabdi masyarakat dengan integritas di kepala dan hati (semoga). Sekali lagi, terima kasih atas semua pertaanyaan, harapan, dukungan, dan candaan manis dari rekan-rekan. Saya anggap itu semua sebagai bentuk kasih sayang yang tulus pada saya. Namun, kali ini saya belum siap mencalonkan diri menjadi bakal calon rektor. Mungkin lain kali ya gaesss......*
Post a Comment

Post a Comment