-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Menjadi Rektor Unkriswina: Jiwa Kepemimpinan, Bukan Sekadar Status Akademik

Yonathan Talundima, SE

ARKANA~ Surat terbuka yang ditulis oleh lbu Dr. Rambu Luba Kata Respati Nugrohowardhani, SE.,MA.,MCE beberapa waktu lalu memberikan banyak ruang refleksi bagi kita semua, khususnya sivitas akademika Unkriswina. Beliau dengan penuh ketulusan menyampaikan keputusan untuk tidak mengajukan diri sebagai bakal calon rektor periode 2026-2031. Keputusan itu menurut saya bukan sebuah penolakan kesempatan, melainkan cermin kejujuran akademik, kesadaran diri, dan kerendahan hati yang patut diapresiasi.

Namun, ada sebuah ruang diskusi yang terbuka luas: apa sebenarnya makna kepemimpinan seorang rektor? Apakah ini hanya sebatas status akademik tertinggi, jabatan fungsional profesor, atau rekam jejak tridharma? Ada dimensi lain yang menurut saya jauh lebih mendasar yaitu kepemimpinan yang menggerakkan, humanis, dan memandang jabatan bukan sebagai puncak karir pribadi, melainkan sebagai amanah untuk kemajuan organisasi.

Saya merasa tergerak dengan tulus untuk membuka ruang diskusi itu. Sebagai seorang Tenaga Kependidikan yang ditugaskan dan bertanggungjawab terhadap pengembangan diri mahasiswa, salah satu kegiatannya melalui Pelatihan Kepemimpinan, merasa tergerak memberikan opini agar kepemimpinan dalam dunia pendidikan tidak terkurung dalam sebuah opini yang membatasi makna kepemimpinan itu sendiri.

Tulisan ini bukan untuk mengoreksi pandangan yang sudah disampaikan sebelumnya, melainkan untuk melengkapi dan memperkuat makna sejati dari kepemimpinan seorang rektor.

Kepemimpinan: Lebih dari Persoalan Akademik

Dalam dunia akademik, memang benar bahwa gelar doktor atau jabatan profesor sering dipandang sebagai syarat utama seorang rektor. Hal ini logis, sebab universitas adalah institusi ilmiah, dan pemimpin tertingginya sebaiknya memiliki legitimasi akademik yang tidak diragukan. Pada pemilihan periode 2026-2031 Unkriswina Sumba bahkan menetapkan calon Rektor minimal bergelar Doktor. Tetapi legitimasi akademik semata tidak cukup untuk menjamin keberhasilan kepemimpinan. Rektor yang membawa kampusnya pada lompatan besar bukan semata karena gelarnya, melainkan karena jiwa kepemimpinan yang melekat pada dirinya. Jiwa kepemimpinan inilah yang membuat seorang rektor mampu menginspirasi dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, hingga masyarakat luas.

Seorang rektor memang harus memiliki kapasitas akademik, tetapi yang lebih penting adalah kemampuan untuk menggerakkan. la harus menjadi penggerak yang menyalakan api semangat bagi orang lain, bukan sekadar pelari tunggal yang menikmati garis finish sendirian.

Gelar memberikan kredibilitas akademik, tetapi untuk membawa kampus ke "lompatan besar," rektor memerlukan kombinasi berbagai kemampuan kepemimpinan dan manajerial yang melampaui sekadar latar belakang akademiknya.

Rektor sebagai Motivator

Universitas adalah rumah besar yang diisi oleh beragam individu dengan latar belakang, kepentingan, dan kapasitas yang berbeda-beda. Dosen dengan semangat risetnya, mahasiswa dengan idealisrnenya, tenaga kependidikan dengan dedikasinya, dan masyarakat dengan ekspektasinya. Semua energi ini sering kali berjalan sendiri-sendiri jika tidak ada satu figur pemimpin yang mampu menyatukan dan memberi arah.

Di sinilah peran seorang rektor sebagai Motivator. Seorang rektor tidak hanya mengelola administrasi atau menyusun regulasi, tetapi juga harus mampu membangkitkan semangat bersinergi. la harus menjadi sumber inspirasi yang membuat setiap anggota sivitas akademika merasa bahwa mereka sedang berlayar dalam kapal yang sama, menuju arah yang jelas, dan dipimpin oleh nahkoda yang bisa dipercaya.

Sebagai seorang motivator, rektor hadir bukan hanya di balik meja rapat, tetapi juga di tengah mahasiswa yang berjuang menyelesaikan studi, di tengah dosen muda yang baru memulai karier, di tengah tenaga kependidikan yang juga merupakan pilar organisasi, atau di tengah masyarakat yang menanti kontribusi kampus. Rektor harus memastikan bahwa setiap potensi yang ada dalam kampus dapat tumbuh optimal, tanpa merasa terpinggirkan.

Humanisme dalam Kepemimpinan

Di tengah berbagai tuntutan indikator mutu perguruan tinggi sering kali kita lupa bahwa inti dari pendidikan adalah manusia. Universitas bukan sekadar pabrik ijazah atau mesin publikasi, melainkan ruang pembentukan manusia seutuhnya.

Maka seorang rektor sejati adalah mereka yang humanis: yang memandang dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan bahkan masyarakat luas bukan sekadar angka statistik, tetapi sebagai dinamika yang wajib dirangkul. Rektor yang humanis akan memahami bahwa setiap kebijakan harus berdampak pada peningkatan kualitas hidup sivitas akademika. Ia tahu kapan harus bersikap tegas, kapan harus memberi ruang, dan kapan harus turun langsung menemani. la sadar bahwa universitas bukan hanya ruang belajar, tetapi juga ruang berkeluarga, berinteraksi, dan bertumbuh bersama.

Pemimpin sebagai Penggerak Transformasi Organisasi

Menjadi rektor bukanlah tentang mencapai puncak karier individu; tetapi tentang menggerakkan karier organisasi. Seorang rektor sejati tidak lagi sibuk mengejar reputasi pribadi, karena dia sadar reputasinya telah terikat dengan nama besar universitas yang dipimpinnya.

Ketika sebuah universitas berkembang, reputasi rektor pun ikut berkembang. Tetapi jika universitas stagnan, sehebat apapun gelar pribadi seorang rektor, ia akan tenggelam dalam kegagalan organisasi.

Transformasi organisasi tidak bisa dilakukan seorang diri. Ia hanya mungkin terwujud jika rektor mampu membangun tim, membangun sistem, dan membangun budaya kerja yang sehat. Dengan begitu, perguruan tinggi tidak hanya bergantung pada satu figur, tetapi menjadi institusi yang berdaya tahan jangka panjang.

Kepemimpinan Spiritualitas dan lntegritas

Aspek lain yang sering terlupakan adalah dimensi spiritualitas dan integritas dalam kepemimpinan. Seorang rektor bukan hanya pemimpin administratif, tetapi juga figur moral. la menjadi panutan, bukan hanya dalam urusan akademik, tetapi juga dalam integritas hidup berorganisasi.

Kepemimpinan yang berintegritas tidak membiarkan kampus terseret arus individualisme, politik sempit, atau kepentingan sesaat. la memastikan bahwa setiap keputusan lahir dari nurani yang bersih, berpihak pada kebenaran, dan berorientasi pada kepentingan bersama, serta meniadakan faktor "suka, tidak suka".

Spiritualitas iuga penting, sebab perguruari tinggi bukan hanya mengasah kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan moral dan spiritual. Sebagai kampus Kristen, Rektor yang menempatkan Tuhan sebagai pusat orientasi hidupnya akan memimpin dengan rendah hati, hati yang siap melayani, dan keyakinan bahwa setiap langkah adalah bagian dari panggilan pelayanan.

Menatap Masa Depan Perguruan Tinggi

Perguruan tinggi ke depan akan berhadapan dengan tantangan yang semakin kompleks. Slogan "satu-satunya," "sudah ada yang dekat, ngapain yang jauh," pada masa sekarang tidak akan berdampak signifikan. Terbukanya kompetisi kampus dalam berbagai aspek seperti: perekrutan mahasiswa, kemajuan teknologi, tuntutan akreditasi, persaingan prestasi, serta kebutuhan untuk melahirkan lulusan yang berkualitas telah menuntut universitas tidak cukup hanya dipimpin oleh sosok yang kaya prestasi pribadi, tetapi harus dipimpin oleh sosok yang mampu menjadi arsitek perubahan.

Kepemimpinan Sebagai Amanah

Opini ini lahir sebagai refleksi kita semua yang terlibat dalam dunia pendidikan. Kita semua perlu menyadari bahwa kepemimpinan seorang rektor tidak boleh direduksi. Kita berbicara tentang hal besar terkait status akademik namun jiwa kepemimpinan adalah anugerah dan amanah besar yang tidak bisa kita kesampingkan.

Pada akhirnya, benar bahwa "lng Ngarso Sung Tuladha" tapi mari KITA lengkapi dengan "Ing Madya Mangun Karsa" dan "Tut Wuri Handayani." Tuhan Memberkati KITA Semua.* 


Post a Comment

Post a Comment