![]() |
| Anom Surya Putra (Advokat Peradi Pergerakan) |
ARKANA~ Pagi itu, ruang kepala sekolah berbau kapur dan asap rokok yang tersisa di seragam Bima. Pak Gatot, 58 tahun, mantel jasnya masih berdebu dari lapangan upacara, menatap siswa kelas XII yang berdiri di depan mejanya. Di tangan Bima, sebatang Gudang Garam tersembunyi separuh di saku celana.
“Merokok di belakang gudang olahraga,” kata Gatot, suaranya datar seperti lonceng yang terlambat berbunyi.
Bima mengangkat bahu. “Kawasan tanpa rokok cuma di papan, Pak. Bukan di darah.”
Tanpa kata lagi, telapak tangan Gatot mendarat di pipi kiri Bima. Sekali, keras, terkendali. Suara tamparan itu menggema di dinding berposter “Pancasila Sakti”. Bima tidak menangis. Ia hanya menatap kosong, lalu berbisik, “Saya akan lapor ke polisi, Pak.”
Di dalam kepala Gatot, hukum yang hidup sejak ia jadi guru muda berbisik: Tamparan adalah tanda. Kamu masih bisa diperbaiki.
Mapolsek Kabupaten Tengah siang itu pengap. Siti, ibu Bima, duduk di kursi plastik oranye dengan nomor antrean 47. Di depannya, seorang polisi muda membuka KUHP baru, jari telunjuknya berhenti di Pasal 2 ayat (1).
“Tamparan bukan penganiayaan berat, Bu,” katanya. “Tapi ada hukum yang hidup dalam masyarakat. Kami harus verifikasi.”
Siti menggigit bibir. Ia ingat jenazah suaminya di rumah sakit tahun 2014, luka bakar di punggung, tanda kekerasan negara yang tak pernah diadili. “Anak saya bukan perokok di sekolah,” katanya. “Ia juga bukan korban adat.”
Polisi itu mencoret-coret formulir, lalu menelpon tim verifikasi hukum adat. Telepon berdering lama. Tidak ada jawaban. Peraturan Pemerintah amanat Pasal 2 ayat (3) KUHP belum lahir.
Di luar, netizen mulai ramai. #TamparanAdat melawan #KekerasanSekolah.
Bima mengunggah video tamparan 15 detik, 1,2 juta views dalam dua jam.
Grup WA “Warga RW 07” meledak malam itu. Bupati mengeluarkan Surat Keputusan darurat: “Tamparan kepala sekolah dalam rangka penegakan kawasan tanpa rokok = hukum adat yang hidup.” Wakil Wali Kota membalas: “Kekerasan fisik tidak bisa dibungkus Pancasila.”
Siti membaca pesan tetangga: “Dulu bapakmu juga ditampar guru, kok sekarang melawan?” Ia mengetik balasan, lalu menghapus. Di kamar sebelah, Bima menghapus notifikasi satu per satu. Komisioner pelindungan anak mengumumkan akan turun tangan besok.
Aula sekolah dua hari kemudian. AC terlalu dingin. Meja bulat, tapi semua kursi diberi nomor. Bima duduk di kursi “Terdakwa Adat Nomor 001”. Di depannya, Gatot, Siti, mediator Bimbingan Konseling, dan dua polisi yang masih membawa KUHP tebal.
Gatot angkat bicara lebih dulu. “Saya tampar karena sayang. Di adat kami, tamparan adalah alarm, bukan luka.”
Siti menatapnya tajam. “Sayang tidak boleh berdarah. KUHP bilang tidak ada pidana kecuali diatur undang-undang. Tamparan BAPAK TIDAK DIATUR.”
Mediator membuka Pasal 2 ayat (3) KUHP: “Diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Semua diam. PP belum ada. Ruangan terasa seperti penjara tanpa dinding.
Bima akhirnya bicara, suaranya pelan. “Saya merokok karena ayah tidak pernah pulang. Tamparan Pak Gatot adalah sentuhan pria pertama yang saya terima sejak kecil.”
Gatot menunduk. Siti menangis tanpa suara.
Tiga bulan kemudian.
Siti menulis di blognya: “Anakku bukan perokok di sekolahnya, tapi juga bukan korban adat kami.” Postingan itu dibaca 12.000 kali, dikomentari 400 kali, lalu tenggelam di algoritma.
Gatot pensiun dini. Ia membuka warung kopi “Tamparan Pagi” di pinggir jalan. Setiap pagi, ia menyeduh kopi hitam untuk mantan siswa yang datang minta maaf, atau minta tamparan lagi.
Di rak arsip Mapolsek, berkas laporan Siti masuk map warna merah: “Menunggu PP Pasal 2 ayat (3) KUHP”. Map itu berteman dengan 47 map serupa: “Hukum yang Hidup, Status: Belum Hidup.”
Di gudang olahraga sekolah, asap rokok masih mengepul. Tamparan itu tetap menggantung. Bukan pidana, dan bukan adat, hanya gema di pipi anak yang tak pernah selesai.*



Post a Comment