![]() |
| Anom Surya Putra (Advokat Peradi Pergerakan) |
ARKANA~ Fondasi asas legalitas berlanjut dengan Pasal 2 KUHP Nasional yang membuka jalan bagi pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat, atau yang sering disebut living law. Ketentuan ini menyatakan bahwa asas legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP Nasional tidak menghapus keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang dapat dipidana, meskipun perbuatan itu tidak diatur dalam KUHP Nasional.
Teks Pasal 2 Ayat (1) KUHP menyatakan:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.”
Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) berbunyi:
“Yang dimaksud dengan "hukum yang hidup dalam masyarakat” adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Hukum yang hidup di dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, Peraturan Daerah mengatur mengenai Tindak Pidana adat tersebut.”
Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) KUHP menyatakan:
“Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.”
Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) KUHP berbunyi:
“Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "berlaku dalam tempat hukum itu hidup" adalah berlaku bagi Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana adat di daerah tersebut.
Ayat ini mengandung pedoman dalam menetapkan hukum pidana adat yang keberlakuannya diakui oleh Undang-Undang ini. “
Teks Pasal 2 Ayat (3) KUHP menyatakan:
“Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Penjelasan Pasal 2 Ayat (3) KUHP berbunyi:
“Peraturan Pemerintah dalam ketentuan ini merupakan pedoman bagi daerah dalam menetapkan hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Peraturan Daerah.”
Hukum yang hidup adalah hukum yang tidak tertulis, tetapi nyata dihayati oleh masyarakat sebagai ukuran moral dan sosial. Ia lahir dari kebiasaan, pengalaman, dan rasa keadilan yang tumbuh di lingkungan tertentu. Dalam konteks Indonesia, living law mencerminkan keberagaman budaya hukum bangsa: dari adat Minangkabau dan Aceh hingga hukum adat Bali, Dayak, atau Maluku.
Dengan mengakui hukum yang hidup, KUHP Nasional tidak hanya menegaskan kedaulatan hukum negara, tetapi juga menghormati kearifan lokal yang selama ini menjadi fondasi keteraturan sosial.
Keadilan yang Kontekstual
Hukum tertulis bersifat umum dan abstrak. Ia berlaku untuk seluruh warga negara tanpa membedakan konteks sosial. Sebaliknya, hukum yang hidup bersifat kontekstual dan partikular. Ia menilai perbuatan bukan hanya dari akibatnya, tetapi dari makna sosial di balik tindakan itu.
Pasal 2 KUHP Nasional mengakui bahwa keadilan tidak selalu identik dengan keseragaman. Apa yang dianggap pelanggaran di satu daerah, belum tentu dipandang sama di tempat lain. Misalnya, pelanggaran adat yang berkaitan dengan kesopanan, tanah ulayat, atau kehormatan keluarga sering kali tidak diatur dalam undang-undang nasional, tetapi memiliki bobot moral yang tinggi di masyarakat adat.
Dalam ruang seperti ini, hukum yang hidup menjadi pelengkap bagi hukum nasional. Ia mengisi kekosongan norma formal dengan nilai-nilai keadilan sosial yang bersumber dari pengalaman bersama.
Keseimbangan Antara Dua Dunia
Pengakuan terhadap hukum yang hidup tidak berarti negara menyerahkan kewenangan sepenuhnya kepada adat. KUHP Nasional memberi batas yang jelas: hukum adat hanya berlaku di tempat ia hidup, tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Batasan ini penting agar hukum adat tidak berubah menjadi alat diskriminasi atau pembenaran kekerasan. Negara hadir untuk memastikan bahwa nilai-nilai lokal tetap sejalan dengan prinsip universal kemanusiaan. Dengan begitu, hukum adat dan hukum nasional tidak saling meniadakan, melainkan saling melengkapi.
Inilah wajah baru hukum pidana Indonesia: hukum yang berakar dalam kebudayaan lokal tetapi berdiri tegak dalam prinsip konstitusional.
Ruang bagi Kearifan Daerah
Pasal 2 KUHP Nasional juga membuka peluang bagi daerah untuk menetapkan peraturan tentang tindak pidana adat melalui peraturan daerah. Mekanisme ini memberi ruang bagi pemerintah daerah dan masyarakat adat untuk menjaga warisan hukumnya sendiri, sekaligus menyesuaikan dengan kerangka hukum nasional.
Namun, pengakuan ini tidak bersifat otomatis. Penetapan hukum adat sebagai hukum yang hidup harus melalui kriteria dan tata cara yang akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah. Mekanisme ini berfungsi sebagai jembatan antara spontanitas sosial dan tertib hukum nasional.
Dengan cara ini, Indonesia memperlihatkan bentuk desentralisasi moral dalam sistem hukum: nilai lokal tetap hidup, tetapi tidak kehilangan orientasi nasionalnya.
Dekolonisasi dan Identitas Hukum
Dalam sejarah hukum Indonesia, pengakuan terhadap hukum adat pernah terpinggirkan oleh sistem hukum kolonial yang sentralistik. Hukum adat dianggap tidak modern, bahkan sering disejajarkan dengan kebiasaan primitif. KUHP Nasional mengubah pandangan itu secara mendasar.
Pasal 2 menjadi bukti bahwa negara tidak lagi memandang hukum adat sebagai residu masa lalu, melainkan sebagai bagian dari identitas hukum bangsa. Ia menandai kembalinya kesadaran bahwa hukum tidak harus lahir dari ruang institusional semata, tetapi dapat tumbuh dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Dengan demikian, living law dalam KUHP Nasional bukan nostalgia terhadap masa lalu, melainkan cara untuk memulihkan keseimbangan antara rasionalitas modern dan kebijaksanaan lokal. Ia adalah upaya untuk menulis ulang hubungan antara hukum dan kehidupan: bahwa hukum bukan hanya kumpulan perintah, melainkan refleksi dari nilai yang hidup di tengah rakyat.
Refleksi Akhir
Pasal 2 KUHP Nasional menegaskan bahwa hukum Indonesia tidak dibangun di atas tanah yang kosong. Ia tumbuh di atas sejarah, budaya, dan moralitas sosial yang telah lama hidup dalam masyarakat. Pengakuan terhadap hukum yang hidup adalah bentuk kepercayaan negara terhadap rakyatnya sendiri. Sumber keadilan sejati tidak hanya berasal dari undang-undang, tetapi juga dari hati nurani kolektif bangsa.
Dengan memahami semangat Pasal 2 KUHP Nasional, kita melihat arah baru hukum pidana Indonesia: hukum yang tidak menutup diri dari keragaman, hukum yang berani mendengar, hukum yang memulihkan, bukan menghapus.
Di sinilah KUHP Nasional berdiri sebagai perwujudan hukum yang berakar dan berakal. Hukum yang hidup, bukan hukum yang membatu.*



Post a Comment