-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Cerpen Pidana 1: PAGAR MAKAN JAKSA

Anom Surya Putra (Advokat Peradi Pergerakan)

ARKANA~ Kabut pagar masih menyelimuti kota ketika Tolu duduk di hadapan berkas-berkasnya. Ruang kerjanya berbau kertas usang dan kopi robusta yang telah dingin. Di sudut, tumpukan berkas menunggu seperti anak-anak tantrum yang antre mendapat perhatian. Lima tahun menjadi jaksa, Tolu merasa seperti dukun yang hanya bisa mendiagnosis penyakit keadilan, tapi jarang bisa menyembuhkannya.

Pintu ruangannya terbuka. Seorang perempuan tua dengan langkah tertatih masuk, tangannya menggenggam ponsel seri S yang retak layarnya. "Maaf mengganggu, Pak," katanya dengan suara serak. "Saya tidak tahu lagi harus kemana."

Perempuan itu memperkenalkan diri sebagai Lunara. Dua minggu lalu, seorang lelaki meneleponnya, mengaku dari perusahaan ekspedisi. Katanya ada paket dari cucunya yang harus segera diambil. Lelaki itu mengirimkan sebuah link, memintanya mengisi data. Lunara yang tidak paham teknologi, menuruti saja. Keesokan harinya, seluruh tabungannya yang selama ini dikumpulkan di Bank Negara untuk biaya berobat suaminya yang stroke, lenyap.

"Rekening saya kosong, Pak. Sepi seperti kuburan. Saya ingin penipu itu dituntut dan negara membayar ganti rugi," ujarnya, matanya berkaca-kaca.

Tolu mendengarkan dengan hati berat. Di balik meja yang penuh berkas, ia merasa tak berdaya. "Kami akan berusaha, Bu," katanya, mencoba meyakinkan diri sendiri.

Malam itu, Tolu dan timnya menyelami tumpukan peraturan. Mereka melacak nomor telepon, alamat Internet Protocol, segala jejak digital yang mungkin ditinggalkan pelaku. Tapi ketika tiba pada pertanyaan mendasar, pasal apa yang akan menjerat pelaku, mereka menemui dinding.

Pasal 1 ayat kesatu.

Pasal itu berdiri gagah dalam kitab undang-undang hukum pidana yang baru, seperti benteng tua yang tak tergoyahkan. "Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan."

Tolu membacanya berulang kali dalam pikiran. Perbuatan penipu adalah jenis kejahatan baru yang belum tercatat dengan jelas dalam aturan hukum. Apalagi negara membayar ganti rugi atas kejahatan penipu.

"Kita bisa mencoba memasukkan ini dalam pasal penipuan konvensional," usul Andi, rekannya.

Tapi ayat kedua pasal itu bergema dalam benak Tolu: "Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi."

"Larangan analogi," gumam Tolu. Artinya, dilarang menyamakan yang tak sama. Dilarang memaksa bayangan untuk punya tubuh. Hukum harus punya kerangka yang jelas, bukan tubuh maya.

Kepala Kejaksaan, Handoko, memanggilnya keesokan harinya. Lelaki beruban itu sudah tiga puluh tahun berkecimpung dalam dunia hukum. Wajahnya mengerti segala batas.

"Saya tahu kasus ini, Tolu," katanya sambil menatap dokumen di mejanya. "Tapi kita tidak bisa memaksakan sesuatu yang tidak diatur jelas. Pasal 1 adalah fondasi. Ia seperti pisau bedah. Bisa menyelamatkan, tapi juga melukai jika digunakan sembarangan."

"Tapi Pak, ini jelas kejahatan. Ratusan orang seperti Lunara menjadi korban."

"Dan jika hari ini kita menggunakan analogi untuk menjerat pelaku ini, besok akan ada orang lain yang dijebak dengan analogi untuk hal yang tidak semestinya. Hukum harus menjadi pagar yang jelas, Tolu. Bukan jaring yang bisa dilempar sembarangan."

Pertemuan dengan Lunara berikutnya terasa seperti siksaan. Perempuan tua itu datang dengan harapan pudar di matanya.

"Tidak apa-apa, Pak," katanya sebelum Tolu bicara. "Saya paham. Mungkin ini takdir." Lalu ia berbalik pergi, tubuhnya yang ringkih seakan menyeret beban yang terlalu berat.

Di pengadilan, suasana terasa dingin. Pengacara pelaku tersenyum tipis, yakin dengan posisinya. Ketika majelis hakim memasuki ruangan, Tolu sudah bisa menebak hasilnya.

"Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 dan 2," ucap hakim ketua, "dakwaan tidak dapat diterima. Terdakwa dibebaskan."

Pelaku itu berbalik ke arah Tolu. Senyumnya tipis seperti silet. Kemenangan itu terasa pahit di lidah Tolu.

Malam itu, Tolu duduk sendirian di ruang kerjanya. Kabut telah berubah menjadi hujan yang menyapu kota. Ia menatap laptopnya yang tertutup, seperti melihat peti mati dari sebuah kekalahan.

Tiba-tiba, ingatannya melayang pada Lunara. Pada ratusan korban lainnya yang mungkin akan mengalami nasib serupa. Pada sistem hukum yang seperti payung usang, masih bisa melindungi dari hujan rintik-rintik, tapi tak lagi mampu menahan badai.

Dengan gerakan mantap, ia membuka laptopnya. Jari-jarinya menari di atas keyboard, bukan untuk menulis tuntutan, tapi untuk merancang sesuatu yang baru. Sebuah naskah akademis untuk Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Digital. Ia mulai menggambar pagar hukum yang baru. Pagar yang cukup tinggi untuk melindungi, tapi cukup renggang untuk menjebak ular-ular jenis baru.

Hukum adalah pagar yang renggang, pikirnya. Ia melindungi tapi juga membiarkan bahaya berlalu. Mungkin tugasnya bukan terus menerus memagari, tapi belajar mengenali setiap jenis ancaman yang akan datang.

Saat fajar menyingsing, Tolu masih duduk di sana. Kerangka undang-undang baru telah terbentuk di layarnya. Ia menyadari sesuatu: perjuangan bukan tentang memenangkan setiap pertempuran di ruang sidang, tapi tentang membangun benteng yang lebih kuat untuk pertempuran-pertempuran yang akan datang.

Dari jendelanya, ia melihat kabut di atas pagar parlemen mulai tersibak. Hari baru akan segera tiba, setelah rombongan anggota parlemen kembali dari studi banding. Mereka pulang membawa pelajaran terbesar dari Nepal: rakyat bisa amuk, dan pejabat bisa lari.*

0

Post a Comment