![]() |
| Anom Surya Putra (Advokat Peradi Pergerakan) |
ARKANA~ Aku, Rendra Morpheux, adalah seorang penangkap yang, ironisnya, kini merasa terperangkap oleh labirin waktu dan pasal-pasal yang dingin. Aku mengejar manusia, tetapi menemukan diriku bergulat dengan entitas yang lebih abstrak. Moralitas yang memudar dan hukum yang bergerak. Dan tidak ada yang lebih mewakili kehampaan ini selain Zeus Kridalaksana, mantan arsitek keadilan yang kini menjadi tuhan dari reruntuhan etika.
Jimbaran, malam itu, berbau laut dan kemewahan yang sakit. Vila Zeus Kridalaksana adalah kontradiksi. Ukiran kayu Jawa kuno yang menghitam dihiasi marmer Yunani yang memantulkan kelelahan bulan. Di tengah aula, uang tunai terserak, bukan disembunyikan, melainkan dibuang, seolah-olah kertas-kertas itu menjijikkan. Emas batangan, tersusun rapi di balik dinding palsu, memantulkan cahaya lampu yang suram. Sebuah tumpukan emas yang berhasil membebaskan Ares Jenggala, seorang pembunuh berdarah dingin, hanya beberapa bulan sebelum palu transisi hukum jatuh.
Ketika kami memborgolnya, Zeus Kridalaksana, sang mantan hakim agung, tidak melawan. Matanya, tajam dan lelah, menatapku bukan sebagai seorang penjahat menatap penangkapnya, melainkan sebagai seorang filsuf palsu menatap muridnya yang lamban.
"Morpheux," suaranya serak, tetapi jelas, "Engkau datang dengan membawa Moralitas Gerombolan, bukan? Prinsip-prinsip rapuh yang diciptakan oleh orang-orang yang terlalu lemah untuk mendefinisikan nilainya sendiri."
Aku terdiam, darahku mendidih oleh kesombongannya.
"Suap," lanjutnya, dengan nada pengajaran, "bukan kejahatan. Itu adalah harga dari kebebasan, wujud paling murni dari nafsu berkuasa. Aku menggerakkan hukum, aku tidak tunduk padanya. Dan kini, hukum itu sendiri sedang bergeser, kawan. Kau lihat tanggal di dokumen ini?" Ia menunjuk ke selembar kertas yang kami sita, yang berisi hitungan mundur menuju Januari 2026. "Waktu adalah sekutuku. KUHP baru akan menjadi perisaiku."
Zeus telah merencanakan waktu penyuapan itu dengan presisi seorang ahli bedah. Ia menargetkan celah transisi, menargetkan Pasal 3 KUHP yang baru, yang memberlakukan aturan yang paling menguntungkan bagi pelaku.
Untuk sejenak, aku meninggalkan kemewahan yang membusuk itu. Aku harus melihat apa yang telah dihancurkan oleh satu triliun. Aku pergi ke sebuah desa di pedalaman Jawa Tengah, tempat keluarga korban pembunuhan Ares Jenggala tinggal.
Gubuk mereka rapuh, atapnya bocor, dan halaman mereka bersih tanpa ornamen, kontras tajam dengan marmer Zeus. Aku bertemu Gotra, ayah korban. Ia menyambutku dengan kepasrahan yang mendalam, sebuah keheningan yang lebih nyaring daripada teriakan. Baginya, keadilan adalah konsep sederhana: kejahatan harus dibayar tuntas. Titik.
"Kami ini orang kecil, Mas," katanya, matanya menatap lumpur yang kering. "Kami tidak tahu Pasal, kami hanya tahu dharma. Anak kami mati, pembunuhnya bebas karena uang. Hukum kalian itu, sungguh gampang dibeli."
Penderitaan Gotra adalah cermin yang memantulkan kebobrokan di Jimbaran. Di satu sisi, kebenaran moral yang mengakar. Di sisi lain, permainan hukum yang abstrak.
Aku kembali ke Jakarta, dan fokusku beralih ke naskah undang-undang itu sendiri, ke pedang bermata dua yang dipegang Zeus: Pasal 3 kitab pidana.
Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku dan pembantu Tindak Pidana.
Zeus tidak menggantungkan diri pada ayat satu itu saja. Ia siap menggunakan ayat tujuh.
Dalam hal setelah putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap dan perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, pelaksanaan putusan pemidanaan disesuaikan dengan batas pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru.
Strateginya kejam dan cerdik. Ia akan berargumen, dalam perbandingan antara ancaman pidana penyuapan dalam aturan saat ini dan aturan baru tentang penyuapan yang berlaku nanti, ada celah yang membuat pidana yang diterapkan padanya lebih ringan. Sebuah pemangkasan hukuman yang dijamin oleh prinsip lex favor reo (undang-undang yang paling menguntungkan terdakwa), yang ia pelintir demi kepentingan nafsu kuasanya.
Ruang sidang terasa dingin, seperti makam batu. Zeus Kridalaksana duduk di sana, menyeringai tipis. Aku duduk di bangku, merasa tidak lagi mewakili keadilan.
Februari 2026.
Pembela Zeus tidak berbicara tentang ketidakbersalahan. Mereka memohon kepada majelis untuk memilih ketentuan yang paling minimal. Mereduksi kejahatan triliunan rupiah menjadi perhitungan matematis semata.
Saat palu diketuk, vonis itu terasa hampa. Zeus dinyatakan bersalah, tetapi hukumannya dipangkas. Keadilan tidak ditegakkan tapi dinegosiasikan.
Zeus Kridalaksana berjalan melewati lorong, kakinya melangkah seringan kapas, dengan sanksi yang jauh lebih ringan dari yang seharusnya. Ia berhenti di depanku, matanya berkilat penuh kemenangan.
"Kau lihat, Morpheux?" bisiknya, suaranya seperti desisan di telingaku. "Hukum adalah ilusi optik. Moralitas kawananmu tidak mampu menembus logikaku."
Aku menatapnya pergi, dan kemudian menatap telapak tanganku sendiri. Aku, Rendra Morpheux, telah menghabiskan hidupku mengejar kebenaran, tetapi yang kudapatkan hanyalah realisasi yang pahit. Kebenaran adalah hantu yang gentayangan, sedangkan hukum hanyalah kalender yang terus bergeser.
Tanggal 14 Februari 2026 itu tidak membawa keadilan baru. Ia hanya membawa titik nol baru, tempat segala moralitas kembali dipertanyakan, dan hanya mereka yang haus kekuasaan seperti Zeus Kridalaksana yang tersenyum di ambang kehancuran moral.
Obsesiku terhadap keadilan kini berubah menjadi kemuakan yang dingin, penyakit yang akan kubawa hingga mati.*



Post a Comment