-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Diskursus KUHP Nasional (1): KUHP Baru Lahir

Anom Surya Putra (Advokat Peradi Pergerakan)

ARKANA~  Sejak awal kemerdekaan, hukum pidana Indonesia selalu berada di persimpangan antara masa lalu dan masa depan. Di satu sisi, sistem hukum pidana yang kita warisi berasal dari masa kolonial Belanda, melalui Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indië, kitab pidana yang disusun untuk kepentingan penjajahan. Di sisi lain, tumbuh keinginan kuat untuk membangun hukum yang berakar pada kesadaran bangsa sendiri, berjiwa Pancasila, dan berpihak pada keadilan sosial.

Setelah perjalanan panjang lebih dari tujuh puluh tahun, cita-cita itu akhirnya menemukan bentuknya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, atau KUHP Nasional. Aturan hukum ini akan berlaku penuh mulai awal 2026, menandai berakhirnya masa panjang hukum pidana kolonial yang selama lebih dari satu abad mengatur kehidupan hukum di negeri ini.

Bagi sebagian orang, KUHP Nasional mungkin tampak sebagai pengganti teknis atas kitab lama. Namun bagi yang memandang sejarah secara lebih jernih, lahirnya hukum baru ini merupakan pernyataan kedaulatan. Indonesia tidak lagi hidup di bawah bayang sistem hukum kolonial. Perubahan ini menjadi langkah pembebasan epistemik, semacam revolusi yang tenang, yang memindahkan dasar hukum pidana dari rasionalitas klasik Eropa menuju sistem nilai yang berpijak pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Lebih dari sekadar kodifikasi, pembaruan ini merupakan rekonstruksi moral hukum. Pandangan lama yang menempatkan hukum sebagai alat kekuasaan kini digantikan oleh kesadaran baru bahwa hukum adalah ekspresi nilai kemanusiaan yang hidup di tengah masyarakat. Karena itu, pembentukan KUHP Nasional tidak hanya membicarakan pasal dan sanksi, tetapi juga arah baru peradaban hukum Indonesia. Sebuah peradaban yang menyeimbangkan kepentingan negara dan rakyat, kepastian dan keadilan, teks dan kehidupan.

Dalam proses menuju tatanan hukum yang berdaulat, bangsa Indonesia seperti sedang berbicara kepada dirinya sendiri: kemerdekaan sejati tidak berhenti pada bebas dari penjajahan politik, melainkan juga bebas dari ketergantungan cara berpikir. Hukum pidana bukan sekadar kumpulan larangan, tetapi cermin kesadaran moral tentang dosa, tanggung jawab, dan keadilan.

Sebagaimana tertulis dalam naskah resmi KUHP Nasional, pembaruan ini tidak berhenti pada revisi tekstual, melainkan menandai pergeseran paradigma. Di dalamnya terkandung empat misi besar: dekolonialisasi, demokratisasi, konsolidasi, dan harmonisasi hukum pidana. Keempat misi tersebut menjadi fondasi bagi arah baru kesadaran hukum Indonesia dan akan menjadi pokok bahasan pada bagian berikutnya.

Empat Misi Pembaruan Hukum Pidana Indonesia

Setiap hukum besar lahir dari kesadaran historis yang mendalam. KUHP Nasional tidak muncul dari ruang hampa, melainkan merupakan hasil perenungan panjang terhadap perjalanan hukum pidana sejak masa kolonial hingga kini. Di dalam penjelasan resminya, pembentuk undang-undang merumuskan empat misi pokok yang menjadi dasar lahirnya hukum pidana baru: dekolonialisasi, demokratisasi, konsolidasi, dan harmonisasi.

Keempat misi ini bukan sekadar jargon kebijakan. Masing-masing lahir dari pengalaman kolektif bangsa dalam mencari keadilan yang sesuai dengan jati diri Indonesia. Ia adalah upaya menjawab pertanyaan besar: hukum macam apa yang sanggup melindungi manusia tanpa kehilangan watak kemanusiaannya?

1. Dekolonialisasi 

Misi pertama adalah dekolonialisasi. Selama lebih dari seratus tahun, sistem hukum pidana Indonesia berakar pada struktur dan pandangan hidup hukum Belanda. Kitab hukum lama dibentuk dalam kerangka kekuasaan kolonial yang melihat hukum sebagai alat kontrol sosial bagi rakyat jajahan.

Dekolonialisasi berarti membebaskan diri dari warisan tersebut, bukan dengan menolak seluruh bentuk hukum Barat, melainkan dengan menempatkan hukum pada posisi yang setara dengan kebudayaan bangsa sendiri. Dalam konteks ini, KUHP Nasional menjadi simbol keberanian untuk mendefinisikan keadilan menurut ukuran kita sendiri. Ia memperlihatkan bahwa hukum tidak harus tunduk pada pola pikir individualistik dan legalistik yang kaku, tetapi dapat bertumpu pada nilai-nilai gotong royong, keseimbangan, dan kemanusiaan sebagaimana diajarkan Pancasila.

Dekolonialisasi bukan hanya pergantian teks hukum, melainkan pembebasan cara berpikir tentang hukum itu sendiri. Di titik ini, KUHP Nasional menjadi bentuk kesadaran baru bahwa kemerdekaan sejati menuntut keberanian membangun dasar hukum dari jiwa bangsa sendiri.

2. Demokratisasi 

Misi kedua adalah demokratisasi hukum pidana. Dalam sistem lama, hukum sering dipandang sebagai instrumen negara yang menundukkan warga. KUHP Nasional berusaha mengubah paradigma itu dengan menempatkan manusia sebagai pusat hukum pidana.

Demokratisasi di sini tidak berarti kebebasan tanpa batas, melainkan pengakuan bahwa setiap warga negara memiliki martabat yang harus dilindungi, baik sebagai pelaku maupun korban. Hukum pidana baru ini menegaskan, penegakan hukum tidak boleh mengorbankan kemanusiaan. Penegak hukum harus berpijak pada prinsip proporsionalitas, menjatuhkan hukuman dengan memperhatikan konteks sosial, niat pelaku, dan akibat perbuatan.

Dengan semangat ini, hukum pidana menjadi sarana pembelajaran moral, bukan semata hukuman. Ia mengembalikan orientasi hukum kepada manusia sebagai subjek yang utuh, bukan objek penindakan.

3. Konsolidasi 

Selama masa berlakunya KUHP kolonial, sistem hukum pidana Indonesia berkembang tidak seragam. Berbagai undang-undang sektoral lahir di luar KUHP, dari korupsi hingga terorisme, dari narkotika hingga perdagangan orang. Situasi itu menimbulkan fragmentasi dan inkonsistensi dalam penerapan hukum.

Misi konsolidasi berupaya menata kembali semua ketentuan tersebut agar tunduk pada asas dan struktur hukum pidana nasional yang baru. KUHP Nasional berfungsi sebagai induk yang memayungi seluruh ketentuan pidana, sehingga tidak ada lagi tumpang tindih antara peraturan yang satu dengan yang lain.

Konsolidasi ini penting bukan hanya untuk efisiensi, tetapi juga untuk memastikan keadilan diterapkan secara konsisten. Hukum pidana tidak lagi menjadi kumpulan aturan yang tercerai, melainkan satu kesatuan sistem yang berlandaskan pada asas hukum umum dan nilai-nilai kemanusiaan yang diakui secara universal.

4. Harmonisasi 

Misi terakhir adalah harmonisasi. Di era globalisasi, hukum pidana tidak dapat hidup terpisah dari perkembangan dunia. Isu-isu seperti hak asasi manusia, korupsi lintas negara, pencucian uang, dan kejahatan siber menuntut kerja sama hukum lintas batas.

Harmonisasi dalam KUHP Nasional berarti menyesuaikan diri dengan standar hukum internasional tanpa kehilangan karakter nasionalnya. Prinsip universal tentang keadilan dan hak asasi manusia diterima sejauh tidak bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi. Dengan cara ini, Indonesia berperan aktif dalam komunitas hukum global, sekaligus menjaga identitas moralnya sendiri.

Empat misi besar tersebut menjadikan KUHP Nasional bukan hanya sebuah kitab hukum, melainkan juga manifestasi politik dan hukum Indonesia modern. Ia mempertemukan warisan sejarah, tuntutan zaman, dan cita-cita kemanusiaan dalam satu naskah yang akan menentukan arah penegakan hukum di masa depan.

Pembaruan ini membuka jalan bagi cara pandang baru terhadap keadilan: hukum tidak lagi dimaknai sebagai teks mati yang harus ditaati secara buta, melainkan sebagai kesepakatan moral yang hidup di tengah masyarakat. Dari sinilah muncul filosofi yang menjadi jiwa KUHP Nasional, yakni filsafat keseimbangan ganda, yang akan diuraikan pada bagian berikutnya.

Filsafat Hukum dan Keseimbangan Ganda

Tidak ada hukum yang hidup tanpa dasar nilai. Setiap sistem hukum, pada hakikatnya, merupakan cermin dari pandangan manusia tentang dunia dan dirinya sendiri. Dalam konteks KUHP Nasional, dasar nilai itu dirumuskan melalui filsafat keseimbangan ganda, sebuah kerangka etis yang menempatkan hukum sebagai penjaga harmoni antara kepentingan yang sering kali bertolak belakang.

Filsafat keseimbangan ini lahir dari kesadaran bahwa kehidupan masyarakat tidak pernah tunggal. Di dalamnya selalu ada tarik-menarik antara negara dan individu, antara norma tertulis dan nilai yang hidup, antara kepastian dan keadilan. KUHP Nasional berusaha menjembatani semua kutub tersebut agar hukum pidana tidak kehilangan kemanusiaannya.

1. Hukum sebagai Penjaga Keseimbangan

Hukum pidana bukan hanya alat untuk menegakkan kekuasaan, melainkan sarana menjaga keseimbangan sosial. Setiap tindakan pemidanaan, sekecil apa pun, selalu berdampak pada kehidupan seseorang. Karena itu, hukum harus berhati-hati agar tidak menjadi sumber ketidakadilan baru.

Terdapat 6 (enam) pasang nilai yang menjadi panduan keseimbangan. Pertama, antara kepentingan umum dan kepentingan individu. Kedua, perlindungan terhadap pelaku dan perlindungan terhadap korban. Ketiga, keseimbangan antara unsur perbuatan dan sikap batin. Keempat, antara kepastian hukum dan keadilan substantif. Kelima, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup di masyarakat. Keenam, antara nilai nasional dan nilai universal.

Keenam pasangan nilai ini memperlihatkan bahwa KUHP Nasional tidak dibangun untuk satu kepentingan tunggal. Ia dirancang sebagai sistem yang lentur, mampu menyesuaikan diri dengan dinamika kehidupan sosial, sekaligus menjaga prinsip dasar keadilan yang diakui secara luas.

2. Dari Rasionalitas Klasik ke Etika Kemanusiaan

Kitab hukum pidana kolonial, Wetboek van Strafrecht, dilandasi oleh pemikiran aliran klasik abad ke-18. Pandangan tersebut menekankan rasionalitas dan keadilan formal. Pelanggaran hukum dipandang sebagai perbuatan yang harus dibalas, tanpa banyak mempertimbangkan konteks batin pelaku atau keadaan sosial di sekitarnya.

KUHP Nasional mengambil jarak dari pendekatan yang semata rasional itu. Ia terinspirasi oleh aliran neo-klasik yang lahir pada abad ke-19, yang mengakui pentingnya faktor subjektif dalam hukum pidana. Dengan cara pandang ini, manusia tidak diperlakukan sebagai mesin moral yang semata-mata diukur dari perbuatannya, tetapi sebagai pribadi yang memiliki kesadaran, motivasi, dan ruang untuk berubah.

Peralihan ini menandai pergeseran besar dalam cara Indonesia memaknai keadilan pidana. Hukuman tidak lagi dilihat sebagai pembalasan yang dingin, melainkan sebagai sarana pemulihan keseimbangan sosial. Pelaku, korban, dan masyarakat ditempatkan dalam satu lingkaran tanggung jawab moral yang saling terhubung.

3. Pengaruh Viktimologi dan Keadilan Restoratif

Filsafat keseimbangan juga mendapatkan penguatan dari perkembangan ilmu viktimologi dan konsep keadilan restoratif. KUHP Nasional memandang korban bukan sekadar pelengkap dalam proses hukum, tetapi sebagai pihak yang memiliki hak moral untuk mendapatkan pemulihan.

Pandangan ini merupakan perubahan mendasar. Dalam sistem kolonial, fokus hukum hanya tertuju pada pelaku, sementara korban sering terabaikan. Kini, korban menjadi bagian dari proses penyembuhan sosial. Hakim diberikan ruang untuk mempertimbangkan perdamaian, pengakuan kesalahan, dan tanggung jawab sosial sebagai bagian dari penyelesaian pidana.

Pendekatan ini tidak berarti hukum menjadi lunak, melainkan lebih manusiawi. Keadilan tidak lagi dipahami semata sebagai hukuman yang setimpal, tetapi juga sebagai kesempatan memperbaiki hubungan sosial yang rusak akibat tindak pidana.

4. Keseimbangan antara Legalitas dan Keadilan yang Hidup

Salah satu aspek paling menarik dari KUHP Nasional adalah pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam beberapa wilayah di Indonesia, norma adat masih menjadi pedoman utama dalam menjaga tatanan sosial. Pengakuan terhadap living law ini menunjukkan bahwa sistem hukum nasional tidak menutup diri dari kearifan lokal.

Namun, pengakuan tersebut tetap disertai batas yang jelas. Hukum yang hidup tidak boleh bertentangan dengan asas legalitas dan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dengan demikian, negara memberi ruang bagi dinamika sosial tanpa melepaskan kendali moral dan konstitusionalnya.

Keseimbangan antara teks hukum dan kehidupan sosial ini merupakan bukti bahwa KUHP Nasional tidak ingin menjadi kitab yang beku. Ia menempatkan keadilan sebagai proses yang bergerak, bukan hasil yang selesai. Dalam konteks itu, hukum berfungsi bukan untuk menghakimi manusia secara mutlak, melainkan untuk menuntun masyarakat menuju kehidupan yang lebih beradab.

5. Hukum yang Humanis dan Adaptif

Filsafat keseimbangan ganda juga tercermin dalam cara KUHP baru mengatur bentuk pemidanaan. Pidana mati ditempatkan sebagai upaya terakhir, selalu disertai masa percobaan yang memungkinkan perubahan sikap pelaku. Selain itu, diperkenalkan bentuk pidana baru seperti kerja sosial dan pengawasan, yang lebih menekankan pembinaan dibanding perampasan kebebasan.

Sistem pemidanaan yang demikian menunjukkan bahwa hukum pidana Indonesia kini berorientasi pada rehabilitasi, bukan pembalasan. Tujuan akhirnya adalah mengembalikan pelaku ke dalam kehidupan sosial yang sehat, bukan menyingkirkannya dari masyarakat.

Pandangan ini mencerminkan cara berpikir hukum yang adaptif, sesuai dengan perkembangan zaman. Hukum tidak lagi berdiri di atas manusia, tetapi berjalan bersamanya, menjaga keseimbangan antara keadilan dan kemanusiaan.

Sistem Pemidanaan Baru

Pembaruan paling signifikan dalam KUHP Nasional tidak hanya terletak pada teks atau struktur pasalnya, tetapi pada cara baru dalam memandang pemidanaan itu sendiri. Selama ini, hukum pidana cenderung diidentikkan dengan logika pembalasan. Pelaku harus dihukum karena telah berbuat salah. Namun pandangan itu kini mulai bergeser.

KUHP Nasional hadir dengan semangat yang berbeda. Hukum tidak lagi dipahami sebagai alat balas dendam sosial, melainkan sebagai mekanisme untuk memulihkan keseimbangan. Pelaku kejahatan tidak lagi ditempatkan semata sebagai musuh negara, melainkan sebagai manusia yang harus bertanggung jawab dan diberi kesempatan untuk memperbaiki diri.

Transformasi ini tampak nyata dalam berbagai pengaturan baru yang memperluas dimensi kemanusiaan hukum pidana Indonesia.

1. Sistem Dua Jalur 

KUHP Nasional memperkenalkan apa yang disebut sistem dua jalur atau double track system. Dalam sistem ini, hakim tidak hanya menjatuhkan pidana, tetapi juga dapat mengenakan tindakan yang bertujuan melindungi masyarakat sekaligus memperbaiki pelaku.

Tindakan tersebut dapat dikenakan kepada mereka yang secara psikologis atau intelektual tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, misalnya karena disabilitas mental. Dengan demikian, keadilan tidak lagi diukur dari seberapa berat seseorang dihukum, tetapi dari seberapa jauh hukum mampu melindungi semua pihak yang terlibat dalam tindak pidana.

Paradigma ini menunjukkan bahwa KUHP Nasional berpindah dari pendekatan retributif menuju pendekatan yang lebih restoratif dan rehabilitatif. Pemidanaan menjadi sarana pendidikan sosial, bukan semata alat penjeraan.

2. Jenis Pidana Baru 

Salah satu langkah maju dalam KUHP Nasional adalah pengenalan jenis pidana baru yang bersifat non-konvensional. Selain pidana penjara, kini dikenal pidana pengawasan dan pidana kerja sosial.

Pidana pengawasan memungkinkan seseorang menjalani masa hukuman tanpa kehilangan sepenuhnya kebebasan fisiknya. Ia diawasi dalam jangka waktu tertentu sambil diberi kesempatan untuk memperbaiki perilaku. Sementara itu, pidana kerja sosial memberi ruang bagi pelaku untuk menebus kesalahan dengan melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Kedua jenis pidana ini mencerminkan perubahan arah yang mendalam dalam cara negara memperlakukan pelaku kejahatan. Hukuman tidak lagi harus berarti pemenjaraan. Negara mulai melihat bahwa pemulihan sosial sering kali lebih efektif daripada pembatasan fisik.

Di dalam perubahan ini, tersimpan gagasan besar tentang kemanusiaan hukum. Setiap pelaku tindak pidana, betapapun berat kesalahannya, tetap memiliki martabat yang tidak boleh dilenyapkan oleh sistem hukum.

3. Pidana Mati Bersyarat 

Salah satu bagian paling sensitif dari hukum pidana adalah pidana mati. Dalam KUHP Nasional, hukuman ini tetap dipertahankan, tetapi dengan cara yang jauh lebih hati-hati. Pidana mati kini tidak lagi ditempatkan sebagai bentuk hukuman mutlak, melainkan sebagai pidana khusus yang selalu disertai masa percobaan.

Selama masa percobaan, pelaku diberikan kesempatan untuk menunjukkan penyesalan dan memperbaiki diri. Jika dalam jangka waktu tersebut terdapat perubahan sikap yang nyata, hukuman mati dapat diganti dengan pidana penjara seumur hidup atau dua puluh tahun.

Pendekatan ini memperlihatkan keseimbangan antara kepentingan keadilan dan nilai kemanusiaan. Negara tetap tegas terhadap tindak pidana berat, tetapi tidak menutup pintu bagi kemungkinan penebusan moral. Pidana mati bersyarat menjadi simbol bahwa hukum Indonesia, sekalipun keras terhadap kejahatan, tetap memberi ruang bagi perubahan.

4. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Perkembangan ekonomi global memunculkan bentuk kejahatan baru yang tidak lagi dilakukan oleh individu, melainkan oleh badan hukum atau korporasi. KUHP Nasional menanggapi kenyataan ini dengan memperluas subjek hukum pidana.

Korporasi kini dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana atau menjadi sarana untuk melakukannya. Dalam hal ini, tanggung jawab tidak hanya dibebankan kepada pengurus individu, tetapi juga kepada entitas korporatif itu sendiri.

Langkah ini menegaskan bahwa hukum pidana Indonesia tidak lagi terkungkung oleh paradigma klasik yang hanya mengenal manusia sebagai pelaku kejahatan. Di tengah dunia yang semakin kompleks, keadilan memerlukan instrumen yang sanggup menjangkau kekuatan ekonomi dan kelembagaan yang memengaruhi kehidupan masyarakat secara luas.

Pertanggungjawaban pidana korporasi juga mencerminkan kesadaran baru bahwa kejahatan modern sering kali tidak berdarah, tetapi berdampak luas terhadap kesejahteraan sosial. Dalam konteks ini, hukum berfungsi untuk mengembalikan tanggung jawab moral kepada struktur kekuasaan ekonomi yang sering kali tak terlihat.

5. Pengaturan Denda Berdasarkan Kategori

KUHP Nasional juga memperkenalkan sistem baru dalam pengenaan denda. Besaran denda tidak lagi ditetapkan secara tetap dalam nominal uang, tetapi dibagi berdasarkan kategori. Sistem ini lebih fleksibel terhadap perubahan nilai mata uang dan kondisi ekonomi.

Dengan cara ini, hukum pidana dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa harus terus-menerus direvisi. Prinsip adaptif ini menunjukkan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sanggup bertahan dalam perubahan, bukan hukum yang kaku terhadap kenyataan sosial.

6. Perlindungan terhadap Anak dan Diversi

Salah satu tonggak penting dalam KUHP Nasional adalah pengaturan khusus mengenai anak. Hukum pidana tidak lagi menempatkan anak sebagai pelaku kejahatan dalam arti yang sama dengan orang dewasa. Sebaliknya, ia diperlakukan sebagai subjek yang memerlukan perlindungan dan bimbingan.

Sistem diversi diperkenalkan untuk menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan formal. Tujuannya bukan menghukum, melainkan mengembalikan anak ke lingkungan sosialnya dengan dukungan pendidikan dan pembinaan.

Pendekatan ini sejalan dengan prinsip keadilan restoratif dan konvensi internasional tentang hak-hak anak. Indonesia tidak hanya menyesuaikan hukum dengan standar global, tetapi juga menegaskan komitmen moralnya terhadap masa depan generasi muda.

Keseluruhan sistem pemidanaan baru ini memperlihatkan bahwa KUHP Nasional adalah upaya membangun hukum yang berpihak pada kehidupan. Ia tidak lagi berdiri di atas manusia, tetapi berdialog dengan realitas sosial. Hukuman menjadi sarana pemulihan, bukan sekadar pembalasan.

Dalam logika seperti ini, keadilan tidak lagi diukur dari kerasnya sanksi, melainkan dari seberapa jauh hukum mampu memulihkan rasa percaya masyarakat terhadap kebenaran dan kemanusiaan.

Bagian berikutnya akan membahas Hukum yang Hidup di Masyarakat. KUHP Nasional memberi ruang bagi nilai-nilai lokal dan keadilan yang berkembang di tengah masyarakat.

Hukum yang Hidup: Antara Legalitas dan Keadilan Sosial

Salah satu gagasan paling berani dalam KUHP Nasional adalah pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Gagasan ini menandai pergeseran penting dalam cara Indonesia memandang hukum pidana: dari sekadar kumpulan aturan tertulis menjadi sistem nilai yang tumbuh bersama kehidupan sosial.

Pengakuan terhadap hukum yang hidup tidak dimaksudkan untuk menggantikan hukum negara, melainkan untuk mengakui kenyataan bahwa tidak semua sumber keadilan berasal dari teks undang-undang. Di banyak wilayah Indonesia, terutama di tingkat lokal dan adat, norma-norma sosial telah lama berfungsi sebagai pengatur perilaku dan penyelesai sengketa. KUHP Nasional memberi tempat bagi kenyataan ini, dengan syarat tidak bertentangan dengan konstitusi dan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

1. Dari Asas Legalitas Menuju Kesadaran Sosial

Selama berabad-abad, asas legalitas menjadi pilar utama hukum pidana yakni nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada perbuatan yang dapat dipidana tanpa aturan yang mengaturnya lebih dahulu). Asas ini penting untuk mencegah kesewenang-wenangan kekuasaan. Namun, jika dipahami secara sempit, ia bisa menimbulkan jarak antara hukum dan kenyataan hidup.

KUHP Nasional berusaha menjembatani jarak itu. Dengan tetap memegang teguh asas legalitas, hukum ini juga mengakui adanya norma-norma sosial yang hidup dan diakui dalam masyarakat. Hakim dapat mempertimbangkan pelanggaran terhadap hukum adat sebagai dasar pemidanaan, selama norma tersebut diakui dan dijalankan secara konsisten di lingkungan masyarakat yang bersangkutan.

Pendekatan ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak hanya menuntut kepastian, tetapi juga keadilan sosial yang kontekstual. Dalam masyarakat yang majemuk, keadilan tidak selalu berarti keseragaman. Ia justru lahir dari kemampuan hukum untuk memahami perbedaan.

2. Hukum dan Moralitas Sosial

Hukum yang hidup dalam masyarakat selalu terkait erat dengan moralitas sosial. Ia tidak tertulis, tetapi hidup dalam kesadaran kolektif. Nilai-nilai seperti tanggung jawab, rasa malu, kehormatan, dan keseimbangan sosial menjadi dasar bagi penegakan norma di tingkat lokal.

KUHP Nasional mengakui nilai-nilai itu bukan karena ingin memundurkan hukum ke masa tradisional, melainkan karena menyadari bahwa moralitas sosial sering kali menjadi pelindung pertama bagi keteraturan masyarakat. Dalam situasi yang mana hukum tertulis belum menjangkau seluruh lapisan kehidupan, norma sosial berperan sebagai penyangga moral yang menjaga agar kehidupan bersama tetap berjalan dalam harmoni.

Dengan memberi tempat bagi hukum yang hidup, negara sebenarnya sedang memperluas makna keadilan. Keadilan tidak hanya diukur dari ketaatan terhadap teks, tetapi juga dari kemampuan hukum untuk memelihara keseimbangan batin masyarakat.

3. Living Law dan Demokrasi Kultural

Dalam konteks Indonesia, pengakuan terhadap living law juga merupakan bentuk demokrasi kultural. Hukum tidak lagi datang dari atas sebagai instruksi kekuasaan, melainkan tumbuh dari bawah sebagai hasil kesepakatan sosial.

Di berbagai daerah, hukum adat telah lama berperan sebagai sistem pengendalian sosial yang efektif. Misalnya, penyelesaian melalui musyawarah, pembayaran ganti rugi adat, atau bentuk-bentuk sanksi sosial yang menekankan pemulihan hubungan, bukan penghukuman. KUHP Nasional memberi ruang agar nilai-nilai ini tetap hidup, sekaligus diarahkan agar selaras dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Dengan demikian, hukum pidana nasional tidak hanya menjadi alat negara, tetapi juga wadah bagi keberagaman budaya hukum yang membentuk wajah Indonesia. Negara tidak lagi memonopoli definisi keadilan, melainkan berbagi dengan masyarakat dalam menegakkannya.

4. Keadilan yang Kontekstual dan Humanis

Keadilan sejati bukan sekadar hasil penerapan undang-undang, melainkan kemampuan untuk memahami konteks manusia yang diadili. Hukum yang hidup memberikan peluang bagi hakim untuk mempertimbangkan faktor sosial, budaya, dan moral yang melatarbelakangi suatu perbuatan.

Pendekatan ini menjadikan hukum pidana lebih manusiawi. Ia menghindarkan sistem hukum dari bahaya formalisme yang sering kali menutup mata terhadap kenyataan sosial. Dengan membuka ruang bagi living law, KUHP Nasional berupaya agar hukum tidak kehilangan jiwanya di tengah kehidupan yang berubah cepat.

Dalam pandangan ini, keadilan bukanlah produk final dari pengadilan, melainkan proses sosial yang berkelanjutan. Setiap keputusan hukum menjadi bagian dari percakapan moral antara negara dan masyarakat, antara teks dan kehidupan.

5. Dari Hukum sebagai Instrumen ke Hukum sebagai Kebudayaan

Pengakuan terhadap hukum yang hidup juga mengandung makna filosofis yang lebih luas. Ia menandai pergeseran cara berpikir tentang hukum, dari sekadar instrumen teknokratis menjadi bagian dari kebudayaan.

Hukum sebagai kebudayaan berarti hukum adalah ekspresi dari nilai, simbol, dan makna yang hidup di tengah masyarakat. Ia tumbuh bersama tradisi, bahasa, dan cara manusia memaknai keadilan. Dalam pandangan seperti ini, KUHP Nasional bukan hanya kumpulan norma pidana, tetapi juga bagian dari upaya bangsa untuk merumuskan dirinya sendiri.

Dengan memberi ruang bagi hukum yang hidup, Indonesia menegaskan bahwa hukum tidak boleh dipisahkan dari kemanusiaan dan sejarahnya sendiri. Hukum harus mampu mendengar suara masyarakat, memahami tradisi, dan beradaptasi dengan nilai-nilai yang berkembang.

Hanya dengan cara itu, hukum dapat benar-benar hidup. Ia tidak menjadi teks yang membatu, tetapi mengalir bersama perubahan zaman. Hukum yang demikian tidak menindas, melainkan menuntun. Hukum tidak memisahkan diri dari rakyat, melainkan menjadi cerminan dari cita-cita kolektif bangsa.

2026: Perjalanan Awal Dekolonisasi Kesadaran Hukum

Tantangan besar memang masih menanti. Pemberlakuan penuh KUHP baru pada awal 2026 akan menuntut kesiapan aparat penegak hukum, lembaga pendidikan hukum, dan masyarakat luas. Perlu waktu dan kesabaran untuk memastikan bahwa semangat pembaruan yang tertulis dalam naskah undang-undang benar-benar hidup dalam praktik peradilan. Tetapi setiap perubahan besar memang dimulai dari keberanian untuk menulis ulang cara pandang terhadap dunia, dan KUHP Nasional adalah contoh nyata dari keberanian itu.

Hukum yang hidup tidak lahir dari kemutlakan teks, melainkan dari kesediaan manusia untuk memperbaiki dirinya. Dalam semangat itu, KUHP Nasional bukan akhir dari perjalanan, melainkan awal dari babak baru dalam sejarah kesadaran hukum bangsa Indonesia. Hal ini mengingatkan kita bahwa keadilan tidak akan pernah final, sebab ia selalu mencari keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab, antara aturan dan nurani.

Ketika hukum menjadi cermin kemanusiaan, dan keadilan tidak lagi berjarak dengan kehidupan sehari-hari, di sanalah makna sejati dari KUHP Nasional menemukan dirinya. Ia menjadi hukum yang hidup, bukan yang membeku. Sebuah hukum yang tidak menindas, tetapi membimbing. Sebuah hukum yang tidak menakutkan, tetapi menumbuhkan. Dan di dalamnya, bangsa Indonesia akhirnya menemukan wajahnya sendiri di hadapan hukum.*


0

Post a Comment