-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Diskursus KUHP Nasional (2): Asas dan Batas Hukum

Anom Surya Putra (Advokat Peradi Pergerakan)

ARKANA~ Buku Kesatu KUHP Nasional mengatur fondasi pertama yakni asas legalitas, atau dalam istilah klasik dikenal sebagai nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali. Asas ini adalah jantung dari hukum pidana modern. Ia menjamin bahwa kekuasaan negara dalam menghukum warga negara tidak bersumber dari kehendak pejabat, melainkan dari peraturan perundang-undangan yang telah disepakati dan berlaku terlebih dahulu.

Pasal 1 Ayat (1) KUHP Nasional menyatakan: 

"Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan."

Teks Penjelasan Pasal 1 Ayat (1) KUHP Nasional berbunyi:

Ketentuan ini mengandung asas legalitas yang menentukan bahwa suatu perbuatan merupakan Tindak Pidana jika ditentukan oleh atau didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini adalah Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum Tindak Pidana dilalrukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.”

Dalam konteks sejarah Indonesia, asas legalitas ini menjadi batas tegas antara hukum kolonial yang sering digunakan untuk menundukkan rakyat dengan hukum nasional yang menjamin kebebasan warga. Hukum tidak boleh berjalan mundur. Negara tidak boleh menciptakan aturan baru untuk menghukum perbuatan yang sebelumnya tidak dianggap salah. Di sinilah hukum menjadi pagar bagi kekuasaan, bukan senjatanya.

Hukum Tidak Boleh Berlaku Surut

Larangan berlakunya hukum pidana secara surut menegaskan prinsip bahwa keadilan tidak dapat dibangun dari ketidakpastian. Seseorang hanya bisa dimintai pertanggungjawaban atas sesuatu yang sudah diatur sebelumnya. Dengan demikian, hukum berfungsi melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan tafsir.

Dalam praktiknya, prinsip ini juga mendorong transparansi dan kepastian hukum. Warga negara berhak tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebelum mereka bertindak. Tanpa asas ini, hukum akan menjadi jebakan moral yang ditetapkan setelah perbuatan terjadi.

Asas legalitas adalah bentuk paling sederhana dari peradaban hukum: negara tidak berhak menilai masa lalu seseorang dengan ukuran hukum masa kini.

Larangan Analogi: Batas Akal Kekuasaan

Pasal 1 ayat (2) menyatakan:

Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi.”

Teks penjelasan Pasal 1 ayat (2) berbunyi:

Yang dimaksud dengan "analogi" adalah penafsiran dengan cara memberlakukan suatu ketentuan pidana terhadap kejadian atau peristiwa yang tidak diatur atau tidak disebutkan secara eksplisit dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah dengan cara menyamakan atau mengumpamakan kejadian atau peristiwa tersebut dengan kejadian atau peristiwa lain yang telah diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.”

Larangan ini merupakan perpanjangan logis dari asas legalitas. Penafsiran analogi (menyamakan dua hal yang mirip meski tidak diatur sama) berisiko menjadikan hukum pidana kehilangan kepastian dan membuka ruang bagi tafsir sewenang-wenang.

Dengan melarang analogi, KUHP Nasional menegaskan bahwa hukum pidana adalah hukum yang membatasi, bukan memperluas kekuasaan negara. Negara tidak boleh menghukum berdasarkan imajinasi atau perbandingan. Hukum pidana harus tegas, pasti, dan hanya berlaku untuk perbuatan yang benar-benar telah ditentukan dalam undang-undang.

Namun demikian, larangan analogi tidak berarti menolak penafsiran sepenuhnya. Penafsiran hukum tetap diperbolehkan sepanjang bertujuan menjelaskan maksud norma yang sudah ada, bukan menciptakan norma baru. Dalam hal ini, hakim dan penegak hukum dituntut untuk berpikir secara kritis namun tetap setia pada teks undang-undang.

Asas Legalitas dan Hak Asasi Manusia

Asas legalitas berkaitan erat dengan perlindungan hak asasi manusia. Ia menempatkan warga negara dalam posisi aman dari penyalahgunaan hukum. Tidak ada orang yang boleh dihukum hanya karena dianggap melanggar norma moral, tradisi, atau kepentingan kekuasaan tertentu.

Dalam sistem hukum modern, asas legalitas adalah jaminan bahwa hukum pidana tidak boleh digunakan sebagai alat politik. Ia menegaskan prinsip “tiada hukuman tanpa hukum”, yang menjadi fondasi negara hukum.

Dengan demikian, Pasal 1 KUHP Nasional berfungsi sebagai tembok pertama yang melindungi rakyat dari kekuasaan yang tidak komunikatif. Negara hanya dapat menghukum atas dasar undang-undang yang sah, berlaku umum, dan telah ada sebelumnya.

Asas Legalitas dalam Konteks Hukum yang Hidup

Menariknya, KUHP Nasional juga mengakui keberadaan living law atau hukum yang hidup di masyarakat. Pada pandangan pertama, hal ini tampak bertentangan dengan asas legalitas yang kaku. Namun sejatinya, kedua hal ini tidak berlawanan, melainkan saling melengkapi.

Asas legalitas menjaga kepastian hukum, sedangkan living law menjaga keadilan sosial. Artinya, hukum yang hidup dapat menjadi sumber nilai moral yang memberi makna pada penegakan hukum positif, selama pengakuannya dilakukan secara sah dan tidak melanggar konstitusi.

Dengan keseimbangan ini, hukum pidana Indonesia tidak jatuh pada formalisme yang beku, tetapi juga tidak kehilangan kepastian yang menjamin kebebasan individu.

Dekolonisasi dalam Asas Legalitas

Dalam kerangka dekolonisasi hukum, Pasal 1 KUHP Nasional juga memiliki makna simbolik yang mendalam. Pada masa kolonial, asas legalitas sering diabaikan. Pemerintah kolonial memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan menyesuaikan hukum sesuai kepentingan politik penjajahan.

Kini, asas legalitas menjadi dasar etis dari hukum pidana nasional yang berdaulat. Ia bukan sekadar aturan teknis, melainkan pernyataan moral bahwa kekuasaan negara tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.

Dengan demikian, penerapan asas legalitas di Indonesia adalah bentuk pembebasan dari cara berpikir kolonial yang menempatkan hukum sebagai alat kekuasaan. Ia menandai peralihan menuju hukum yang melindungi manusia, bukan menaklukkannya.

Refleksi Akhir

Pasal 1 KUHP Nasional berdiri sebagai tiang pertama dari seluruh bangunan hukum pidana Indonesia. Di atasnya berdiri prinsip-prinsip lain seperti kesalahan, pertanggungjawaban, dan keadilan.

Asas legalitas mengajarkan bahwa kebebasan individu hanya dapat dijamin jika hukum ditulis dengan jelas, dijalankan dengan jujur, dan diterapkan tanpa manipulasi. Dalam dunia yang semakin kompleks, asas ini tetap menjadi kompas moral yang mengingatkan bahwa keadilan bukan tentang menghukum sebanyak-banyaknya, tetapi tentang membatasi kekuasaan dengan kesadaran hukum.*



0

Post a Comment