-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Diskursus KUHP Nasional (4): Dekriminalisasi

Anom Surya Putra (Advokat Peradi Pergerakan)

ARKANA~ Hukum Pidana tidak statis. Perubahan peraturan perundang-undangan pidana sering terjadi seiring dengan perubahan politik, hukum, dan nilai-nilai masyarakat. Pasal 3 KUHP Nasional secara komprehensif mengatur implikasi jika terjadi perubahan undang-undang setelah suatu perbuatan pidana dilakukan.

Pasal 3 Ayat (1) KUHP Nasional menegaskan asas paling menguntungkan (lex favor reo). Dalam hal terjadi perubahan peraturan, yang diberlakukan adalah peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan yang lama lebih menguntungkan bagi pelaku dan, secara khusus, juga bagi pembantu Tindak Pidana. Prinsip ini adalah jaminan keadilan individual: negara harus selalu menerapkan ketentuan yang paling ringan bagi terdakwa, bahkan jika undang-undang baru telah terbit.

Teks Pasal 3 Ayat (1) KUHP Nasional menyatakan:

Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku dan pembantu Tindak Pidana.” 

Penghentian Proses dan Penghapusan Pidana

KUHP Nasional memperkenalkan konsekuensi yang sangat tegas jika suatu perbuatan tidak lagi dianggap sebagai Tindak Pidana menurut undang-undang yang baru. Istilah mudahnya adalah dekriminalisasi. Hal ini diatur dalam Pasal 3 Ayat (2), (3), dan (4) KUHP Nasional:

  • Saat Proses Berjalan: Jika perbuatan didekriminalisasi saat proses hukum masih berjalan (tersangka atau terdakwa), maka Pasal 3 Ayat (2) KUHP Nasional menentukan bahwa proses hukum harus dihentikan demi hukum. Konsekuensinya, Pasal 3 Ayat (3) KUHP Nasional mengatur bahwa jika yang bersangkutan berada dalam tahanan, ia wajib dibebaskan segera oleh Pejabat yang berwenang.
  • Setelah Putusan Berkekuatan Hukum Tetap: Bahkan jika putusan pemidanaan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), dan kemudian perbuatan tersebut didekriminalisasi, Pasal 3 Ayat (4) KUHP Nasional menyatakan bahwa pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan. Pelaksanaan pembebasan ini dilakukan oleh instansi atau Pejabat yang berwenang sesuai Pasal 3 Ayat (5) KUHP Nasional.

Pasal 3 ayat (2), (3) dan (4) berbunyi:

(2) Dalam hal perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan Tindak Pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, proses hukum terhadap tersangka atau terdakwa harus dihentikan demi hukum. 

(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterapkan bagi tersangka atau terdakwa yang berada dalam tahanan, tersangka atau terdakwa dibebaskan oleh Pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan.

(4) Dalam hal setelah putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap dan perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan Tindak Pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan.” 

Intinya, dalam kasus dekriminalisasi, KUHP Nasional mengutamakan kebebasan individu di setiap tahap proses hukum, dari penyidikan hingga eksekusi.

Implikasi Ganti Rugi dan Penyesuaian Pidana

Terkait pembebasan yang terjadi karena dekriminalisasi [Pasal 3 Ayat (3) dan Ayat (5)], Pasal 3 Ayat (6) KUHP Nasional secara spesifik mengatur: 

"Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) tidak menimbulkan hak bagi tersangka, terdakwa, atau terpidana menuntut ganti rugi." 

Pengecualian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pembebasan terjadi karena perubahan kebijakan hukum negara, bukan karena kesalahan dalam proses peradilan. Tindakan yang dilakukan sebelumnya adalah sah menurut hukum yang berlaku saat itu.

Sementara itu, Pasal 3 Ayat (7) KUHP Nasional menyatakan:

Dalam hal setelah putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap dan perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, pelaksanaan putusan pemidanaan disesuaikan dengan batas pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru.”

Ketentuan ini memastikan agar pelaksanaan pidana tidak berjalan melebihi batas keadilan yang telah diperbaharui oleh negara.

Penjelasan pasal 3 Ayat (7) KUHP Nasional berbunyi:

Yang dimaksud dengan "disesuaikan dengan batas pidana" adalah hanya untuk putusan pemidanaan yang lebih berat dari ancaman pidana maksimal dalam peraturan perundang-undangan yang baru, termasuk juga penyesuaian jenis ancaman pidana yang berbeda.” 

Penyesuaian tidak dilakukan secara menyeluruh, tetapi terbatas pada putusan yang melebihi atau tidak lagi sejalan dengan batas maksimum atau jenis pidana yang diatur dalam ketentuan baru.

Makna substantif dari Pasal 3 Ayat (7) KUHP ini menunjukkan, hukum pidana nasional kini berpihak pada keadilan korektif. Hukum tidak lagi memperlakukan putusan pengadilan sebagai sesuatu yang beku, melainkan sebagai bagian dari sistem nilai yang harus menyesuaikan diri dengan perkembangan peraturan perundang-undangan dan semangat kemanusiaan. Jika batas hukuman telah berubah, maka pelaksanaannya pun wajib tunduk pada nilai baru tersebut. 

Dengan demikian, Pasal 3 ayat (7) KUHP Nasional menjadi simbol keseimbangan antara kepastian hukum dan keluwesan moral, menegaskan bahwa pelaksanaan pidana tidak boleh melampaui batas yang kini diakui sebagai adil oleh hukum yang berlaku.*

 

0

Post a Comment