![]() |
Penulis: Anom Surya Putra, Advokat |
ARKANA~ Dalam pemberitaan media akhir-akhir ini, dan bahkan pidato Presiden, istilah "anarkis" dengan mudah dilekatkan pada setiap demonstrasi yang berujung ricuh. Penggunaan istilah ini bukan hanya keliru secara konseptual, tetapi menandakan distorsi bahasa yang berbahaya bagi demokrasi. Anarkisme adalah sebuah ideologi politik yang terstruktur, lahir dari pemikiran filsafat yang mendalam tentang otonomi individu dan masyarakat tanpa paksaan negara. Menyebut perusuh sebagai "anarkis" sama halnya dengan menyamakan seorang intelektual Marxis dengan preman pasar—sebuah reduksi yang tidak hanya naif, tetapi menyesatkan.
Vandalisme, yang kerap disamakan dengan anarkisme, justru memiliki akar sejarah yang sama sekali berbeda. Istilah ini berasal dari suku Vandal yang menjarah Roma pada abad ke-5. Perilaku mereka digambarkan sebagai perusakan tanpa tujuan terhadap peradaban—sebuah tindakan destruktif murni, bukan perlawanan politik. Dalam konteks kekinian, vandalisme adalah kejahatan terhadap properti, sementara anarkisme adalah gerakan ideologis. Menyamakan keduanya adalah kekeliruan yang memperlihatkan kedangkalan wacana publik kita.
Di balik kekeliruan ini, terdapat politik label yang bersifat strategis. Distorsi komunikasi seperti ini bukanlah kesalahan biasa, melainkan alat untuk menghegemoni opini publik. Dengan melabeli demonstran sebagai "anarkis", penguasa dan media membangun narasi bahwa setiap kritik terhadap kebijakan adalah ancaman terhadap ketertiban—bukan sebagai bagian dari proses demokratis. Ruang publik yang seharusnya menjadi tempat deliberasi rasional, berubah menjadi medan perang wacana yang mana kebenaran dikorbankan untuk kepentingan politis.
Dampaknya, demokrasi menjadi korban. Substansi tuntutan demonstran—yang mungkin sahih dan legitim—tenggelam oleh debat tentang vandalisme dan kekacauan. Publik dibuat lupa bahwa inti dari demonstrasi adalah penyampaian aspirasi, bukan sekadar aksi bakar ban, pecahkan halte bis, pembakaran gedung warisan kultural, dan penjarahan rumah elit politik. Demonstran yang damai terpaksa membayar harga atas tindakan segelintir vandal, sementara vandal itu sendiri seringkali tidak jelas identitas dan motivasinya.
Kita perlu berhenti terjebak dalam permainan bahasa yang menyesatkan. Memisahkan secara tegas antara vandalisme sebagai tindakan kriminal, demonstrasi sebagai ekspresi demokrasi, dan anarkisme sebagai pilihan ideologis adalah langkah pertama untuk memulihkan kualitas ruang publik. Media harus bertanggung jawab untuk tidak menjadi corong kekuasaan yang dengan gegabah menyebarkan label "anarkis". Publik pun harus cerdas membaca setiap "framing" pemberitaan yang ditujukan untuk memecah belah dan mengalihkan isu.
Demokrasi hanya bisa bertumbuh dalam kejernihan berbahasa dan ketepatan berpikir. Ketika kata kehilangan maknanya, dan ketika "anarkis" menjadi sebutan untuk setiap perlawanan yang tidak disukai penguasa, maka kita sedang membangun tirani baru—tirani yang menyamar di balik retorika ketertiban dan stabilitas. Jangan biarkan kebenaran menjadi korban kedua kalinya.*
Post a Comment