-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Realisme Hukum Putusan MK 334: Ijazah Yang Sahih dan Surat Tidak Pailit

Anom Surya Putra (Kuasa Hukum Termohon/KPU Bangka)

ARKANA~ Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 334/PHPU.BUP-XXIII/2025 dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bangka Ulang Tahun 2025 bukan hanya menutup sengketa elektoral dengan kemenangan bagi Termohon (KPU Bangka), melainkan juga memperlihatkan bagaimana hukum bekerja dalam masyarakat plural. Putusan ini menggabungkan kepastian prosedural dengan penilaian substantif, dan jika dibaca melalui lensa Realisme Hukum ala Jurgen Habermas, mengungkap wajah hukum yang selalu bernegosiasi dengan realitas sosial-politik.

Antara Formil dan Substansi

Dalam teks putusan MK mulai halaman 99, Mahkamah mencatat dalil Pemohon yang menyoal dua hal pokok: keabsahan ijazah Paket C calon bupati dan ketiadaan surat keterangan tidak sedang pailit pada saat pendaftaran. Pemohon berpendapat bahwa kedua hal ini menjadi bukti adanya pelanggaran syarat formil pencalonan.

Mahkamah kemudian menilai secara mendalam.

Pertama, tentang ijazah Paket C. Mahkamah menegaskan bahwa dalil Pemohon tidak beralasan, karena alasan berikut.

“Sementara berkenaan dengan Surat Keterangan versi pertama yang menyatakan tidak ditemukannya nama Rato Rusdiyanto dalam Dapodik dan NISN, menurut Mahkamah, Dapodik dan NISN merupakan data administratif yang tidak dapat dijadikan sebagai penentu dari suatu keabsahan ijazah. Sebab Ijazah dan/atau Transkrip Nilai yang sah adalah yang ditandatangani oleh kepala satuan pendidikan [vide Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 58 Tahun 2024 tentang Ijazah Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah]. Dengan demikian, dokumen yang digunakan oleh Rato Rusdiyanto pada saat mendaftar sebagai Bakal Calon Bupati … adalah dokumen yang diterbitkan oleh lembaga yang sah.”

Mahkamah juga mencatat berbagai laporan ke Bawaslu Bangka yang mempersoalkan ijazah tersebut. Semua laporan telah diperiksa dan sebagian dihentikan atau tidak diregistrasi. Dengan demikian, Mahkamah menyimpulkan bahwa dalil Pemohon terkait ijazah tidak beralasan menurut hukum.

Kedua, tentang syarat tidak sedang dinyatakan pailit. Mahkamah mencermati bukti dari Termohon bahwa calon telah menyerahkan surat keterangan sementara saat pendaftaran, dan kemudian melengkapi dengan dokumen resmi dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tepat waktu pada masa perbaikan.

Mahkamah menyatakan:

“…setelah Mahkamah mencermati dalil Pemohon, jawaban Termohon, keterangan Pihak Terkait, keterangan Bawaslu Kabupaten Bangka serta bukti-bukti yang diajukan, telah ternyata Termohon menerima Pendaftaran Pasangan Calon … pada tanggal 27 Juni 2025 dengan melampirkan persyaratan salah satunya berupa Surat Keterangan Tidak Sedang Pailit … Adapun berkenaan dengan Surat Keterangan Tidak Sedang Dinyatakan Pailit tersebut, Termohon juga telah mengklarifikasi kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat … Selanjutnya, pada tanggal 8 Juli 2025 Termohon menerima kembali kelengkapan persyaratan … berupa dokumen yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat … Oleh karena itu, penyerahan perbaikan persyaratan administrasi … diajukan masih dalam tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan yang berlaku.”

Berdasarkan uraian ini, Mahkamah menyatakan dalil Pemohon soal syarat pailit tidak benar dan tidak beralasan menurut hukum.

Kedudukan hukum (Legal Standing)

Meski Mahkamah membahas substansi, pada akhirnya perkara ditutup dengan alasan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum karena selisih suara jauh melampaui ambang batas Pasal 158 UU 10/2016. Dalam amar putusan ditegaskan:

“Mengabulkan eksepsi Termohon dan Pihak Terkait berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon … Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.”

Realisme Hukum

Habermas menegaskan, dalam masyarakat plural, hukum tidak bisa lagi bertumpu pada tradisi atau ethos historis yang dianggap universal. Apa yang bagi sebagian orang tampak sebagai norma sah, bagi yang lain bisa dilihat sebagai bias ideologis. Karena itu, realisme hukum menyoroti bagaimana putusan hakim dibentuk oleh faktor sosial, politik, dan institusional di luar teks hukum.

Putusan MK Nomor 334 memperlihatkan dinamika itu:

  • Proseduralitas ditegakkan dengan mengunci perkara pada Pasal 158, menjaga kepastian hukum bahwa tidak semua sengketa bisa masuk ke ranah MK.
  • Substansi tetap disentuh dengan menegaskan keabsahan ijazah dan kelengkapan syarat pailit, sehingga publik tidak ragu terhadap integritas calon.
  • Stabilitas politik dilindungi, dengan mencegah delegitimasi berlarut terhadap hasil pemilihan.

Dalam logika realisme hukum, Mahkamah bukan sekadar interpreter pasal, tetapi juga aktor yang menimbang stabilitas demokrasi, legitimasi kelembagaan, dan orientasi nilai politik-hukum.

Paradoks Kepastian dan Keadilan

Putusan ini memperlihatkan paradoks yang khas. Di satu sisi, Mahkamah menutup perkara melalui alasan formil kedudukan hukum. Di sisi lain, Mahkamah tetap masuk ke substansi untuk menegaskan bahwa dalil Pemohon tidak beralasan.

Dengan begitu, kepastian hukum ditegakkan melalui penerapan Pasal 158, sementara keadilan substantif tetap dijaga melalui penilaian atas ijazah dan syarat pailit. Publik diberi pesan bahwa bukan hanya prosedur yang dijaga, melainkan juga substansi integritas calon.

Inilah bentuk kompromi antara logika prosedural dan kebutuhan substantif, sebuah dialektika yang hanya bisa dipahami dengan kacamata realisme hukum: bahwa putusan yudisial selalu bergerak di antara norma dan konteks, hukum dan politik, kepastian dan diskresi.

Fungsi Hukum dalam Masyarakat Plural

Putusan MK Nomor 334 adalah cermin bagaimana hukum berfungsi dalam masyarakat plural. Ia menolak menjadi semata teks normatif yang kaku, tetapi juga tidak larut dalam relativisme politik.

Bagi Termohon (KPU Bangka), putusan ini adalah pengukuhan bahwa proses pencalonan telah dijalankan sesuai aturan, dengan semua dokumen sah secara hukum. Namun bagi publik, putusan ini juga memberi pelajaran penting: hukum berusaha menjaga stabilitas ekspektasi, sekaligus memastikan substansi keadilan tidak terabaikan.

Dengan membaca Putusan 334 melalui perspektif Realisme Hukum, tampak jelas bahwa hukum adalah arena negosiasi: antara kepastian prosedural dan keadilan substantif, antara legitimasi demokrasi dan diskresi hakim, antara teks pasal dan realitas politik. Inilah wajah hukum dalam demokrasi elektoral kita.*

Post a Comment

Post a Comment