![]() |
| Anom Surya Putra Kuasa Hukum Termohon (KPU Kabupaten Bangka) |
ARKANA~ Di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, perkara Nomor 333/PHPU.BUP-XIII/2025 berakhir bukan karena norma tak tersedia, melainkan karena tidak ada yang dapat dinilai secara sah. Bukan karena Mahkamah enggan menilai, tetapi karena struktur hukum yang diajukan Pemohon tidak membentuk kasus hukum yang dapat ditafsirkan secara yuridis.
Permohonan obscuur—kabur, tak terjelaskan, tak terpaut antara dalil dan tuntutan. Norma yang seharusnya bekerja tidak menemukan pijakan. Fakta yang seharusnya menjadi kasus tetap mengambang. Dan hukum, dalam ruang tafsirnya, kehilangan arah.
Namun di balik putusan yang tampak prosedural, tersimpan pelajaran mendalam tentang bagaimana hukum seharusnya bekerja: bukan sebagai mesin, melainkan sebagai medan tafsir yang hidup. Untuk memahami kedalaman perkara ini, kita perlu menyingkap dua istilah kunci dalam filsafat hukum: subsumsi dan adjudikasi. Jurgen Habermas mendalami hal itu dalam hermeneutika hukum yang ditulis dalam Between Facts and Norms (1996).
Subsumsi dan Adjudikasi
Dalam logika hukum klasik, subsumsi adalah proses mencocokkan fakta dengan norma. Jika unsur-unsur terpenuhi, maka norma berlaku. Namun hukum bukan sekadar silogisme. Norma tidak bisa mengatur dirinya sendiri. Ia menunggu untuk ditafsirkan, untuk diberi makna melalui konteks dan pemahaman.
Di sinilah adjudikasi mengambil peran. Ia bukan sekadar pemutusan perkara, melainkan proses dialogis antara norma dan keadaan. Ia adalah ruang yang mana hukum bertemu kehidupan, dan teks bertemu kenyataan. Jürgen Habermas mengingatkan sembari membangkitkan Aristotelian: “No rule is able to regulate its own application.”
Norma, dalam pandangan ini, bukan palu yang menghukum, melainkan jendela yang menafsir. Ia hanya menjadi konkret ketika bertemu dengan fakta yang relevan, dalam horizon tradisi yang diwarisi.
Struktur Permohonan yang Tersendat
Mahkamah mulai mengurai simpul kekaburan pada paragraf [3.8]. Dalam petitum angka 2, Pemohon meminta pembatalan Keputusan KPU Nomor 406 Tahun 2025, namun lupa menyebutkan bahwa keputusan tersebut adalah hasil dari pemilihan ulang. Satu kata yang hilang—“Ulang”—mengubah arah tafsir.
Mahkamah mencatat bahwa seharusnya, objek dalam Permohonan adalah Keputusan KPU a quo tentang Penetapan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bangka Ulang Tahun 2025 ([3.8.2]).
Tanpa penyebutan yang tepat, norma tak dapat menjangkau fakta. Ia mengambang, tak bersentuhan dengan kenyataan. Dalam hermeneutika hukum, ini adalah kegagalan konkretisasi: ketika norma tak mampu “mengambil” situasi hidup secara relevan.
Petitum yang Bertabrakan
Dalam Petitum angka 3, Pemohon meminta diskualifikasi Paslon Nomor Urut 5. Petitum angka 4 meminta PSU tanpa keikutsertaan Paslon Nomor Urut 1 dan 5. Namun posita hanya menguraikan dugaan pelanggaran administratif (ijazah paket C) terhadap Paslon Nomor Urut 5. Paslon Nomor Urut 1 tidak pernah disentuh oleh dalil.
Mahkamah menilai, ketika yang dimohonkan untuk didiskualifikasi hanyalah Pasangan Calon Nomor Urut 5, maka seharusnya 4 (empat) pasangan calon yang lain masih dimungkinkan untuk mengikuti Pemungutan Suara Ulang, namun Pemohon justru tidak mengikutsertakan Pasangan Calon Nomor Urut 1 ([3.8.3]).
Petitum yang bertabrakan adalah cermin dari struktur permohonan yang retak. Dalam tafsir hukum, ini bukan sekadar ketidakkonsistenan, melainkan kegagalan membentuk narasi yang koheren antara norma dan keadaan.
Posita yang Tak Menopang Tuntutan
Mahkamah melanjutkan, Pemohon dalam posita permohonannya sama sekali tidak mempersoalkan mengenai perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 1, melainkan hanya mempersoalkan adanya dugaan pelanggaran administrasi terhadap Pasangan Calon Nomor Urut 5, sehingga terdapat ketidaksesuaian antara posita dan petitum yang menyebabkan Mahkamah semakin tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang sesungguhnya dimohonkan oleh Pemohon ([3.8.4]).
Dalam hermeneutika Habermas, ini adalah kegagalan membentuk relasi interpretatif. Ia menyebut: “Interpretation begins with an evaluatively shaped preunderstanding…”. Namun pra-pemahaman Pemohon tak cukup tajam. Ia menyasar dua pasangan calon, tetapi hanya mengurai satu. Norma tak menemukan pijakan. Fakta tak menjadi kasus hukum.
Kegagalan Epistemologis
Obscuur bukan sekadar kabur. Ia adalah kegagalan epistemologis. Gagal membentuk pengetahuan hukum yang sah. Dalam perkara Bangka, kegagalan itu terjadi di tiga lapisan:
- Objek hukum tidak dikenali secara utuh ([3.8.2])
- Dalil tidak menopang tuntutan ([3.8.3])
- Relasi antara posita dan petitum terputus ([3.8.4])
Habermas menyatakan bahwa: “The indeterminacy of a circular process of interpretation can be gradually reduced by referring to principles. But these principles can be legitimated only from the effective history (Wirkungsgeschichte) of those inherited forms of law and life in which judges contingently find themselves.”
Namun dalam perkara ini, struktur permohonan tidak memberi arah bagi prinsip untuk bekerja. Tidak ada horizon interpretatif yang terbuka. Maka, adjudikasi tak bisa dilanjutkan. Bukan karena Mahkamah menolak untuk menilai, tetapi karena tidak ada yang bisa dinilai secara sah.
Ketika Adjudikasi Tak Bisa Dilanjutkan
Kita bisa membaca bersama-sama dan menandai teks putusan Mahkamah sebagai medan penafsiran yang penting:
- [3.9]: Permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat formil, tidak terdapat keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa permohonan Pemohon adalah tidak jelas atau kabur (obscuur).
- [4.5] Permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur);
- [5] Mengadili: Dalam Pokok Permohonan: Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Adjudikasi tak bisa dilanjutkan. Bukan karena Mahkamah tak berwenang, bukan karena waktu telah lewat, tetapi karena struktur permohonan tak memberi ruang bagi tafsir hukum yang sah. Norma tetap abstrak. Fakta tetap tak terdefinisikan. Dan hukum kehilangan maknanya.
Hukum sebagai Tafsir yang Bernyawa
Putusan ini bukan sekadar penolakan administratif. Ia adalah pelajaran tentang bagaimana hukum bekerja. Ketika pra-pemahaman gagal membentuk relasi antara norma dan keadaan, maka adjudikasi kehilangan arah. Namun ketika hakim menavigasi antara teks dan konteks, antara dalil dan tradisi, maka hukum tetap sah sebagai proses sosial yang hidup.
Obscuur bukan sekadar cacat formil. Ia adalah kegagalan epistemologis dalam membentuk makna hukum yang sah. Dan dalam perkara MK 333, PHPUKADA BANGKA, itulah yang terjadi.*



Post a Comment