![]() |
Penulis: Rajendra Negara Kertagama, Mahasiswa, Social Work, Delhi University (2023) |
Konseling yang Membebaskan
Bayangkan seorang remaja yang datang dengan wajah muram, bingung dengan identitas dirinya. Di banyak situasi, ia mungkin langsung dibanjiri nasihat: “Kamu harus begini…”, “Kamu sebaiknya begitu…”. Tapi dalam konseling non-direktif, yang terjadi justru sebaliknya. Konselor berkata, “Saya ingin memahami apa yang kamu rasakan. Silakan ceritakan dengan bebas.”
Dari sana, remaja itu mulai menemukan kata-kata untuk keresahannya. Ia merasa diterima apa adanya, tanpa dihakimi. Pelan-pelan, ia belajar mengambil keputusan sendiri. Bukan konselor yang menunjuk arah, melainkan dirinya sendiri yang menemukan jalan.
Itulah inti dari konseling non-direktif: membiarkan klien menemukan kekuatan internalnya, sementara konselor hadir sebagai fasilitator penuh empati.
Mengapa Penting di Indonesia?
Sebagai orang Indonesia yang belajar di Delhi, saya melihat kontras budaya. Di rumah, saya tumbuh dalam tradisi penuh nasihat: orang tua, guru, bahkan tetangga merasa berkewajiban memberi arahan. Itu bukan hal buruk; ada kasih sayang di baliknya. Tetapi, sering kali, ruang untuk benar-benar didengar jadi hilang.
Padahal, banyak orang yang hanya ingin ada seseorang yang mau mendengarkan tanpa buru-buru menilai. Misalnya, seorang ibu rumah tangga bertahun-tahun menyimpan beban konflik rumah tangga. Baru ketika ada relawan sosial yang mendampinginya dengan sabar, tanpa memberi vonis benar-salah, ia berani berkata: “Untuk pertama kalinya, saya merasa dihargai sebagai manusia, bukan sekadar istri atau ibu.”
Contoh kisah itu membuat saya yakin: konseling non-direktif bisa memberi ruang pembebasan, terutama dalam masyarakat kita yang sarat dengan suara-suara otoritatif.
Dari Mendengar Menuju Pemulihan
Kelebihan dari pendekatan ini banyak. Ia menumbuhkan pemberdayaan, klien merasa punya kendali atas hidupnya. Ia mendorong penemuan diri agar orang lebih mengenali nilai, tujuan, dan kekuatan pribadinya. Ia juga mengurangi ketergantungan, klien tidak terus kembali hanya untuk minta nasihat, tapi belajar mandiri menghadapi tantangan hidup.
Saya melihat ini relevan dengan kerja sosial di Indonesia. Entah itu remaja yang resah, pekerja yang tertekan, atau orang tua yang bingung dengan perubahan zaman, semua bisa mendapat manfaat dari ruang konseling yang aman dan penuh empati.
Menutup dengan Keheningan yang Mendengar
Belajar teori di kampus memang penting, tapi bagi saya, pelajaran paling berharga datang dari kesadaran sederhana: mendengar itu jauh lebih sulit daripada memberi nasihat. Apalagi saya setiap hari mendengar banyak dialek, bahasa dan kebiasaan di India yang sangat berbeda dengan situasi belajar di Indonesia.
Di tengah dunia yang riuh oleh opini, instruksi, dan tuntutan, konseling non-direktif menawarkan sesuatu yang langka: keheningan yang mendengar. Dalam keheningan itulah, banyak orang akhirnya menemukan suara batinnya sendiri—dan perlahan, menemukan jalan menuju pemulihan.
Post a Comment