-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Fungsi Epistemik Demokrasi dan Tuntutan Rakyat 17+8

Ditulis oleh Anom Surya Putra, Advokat

ARKANA~ Demokrasi selalu ditagih bukan hanya sebagai prosedur politik, melainkan sebagai mekanisme pencarian kebenaran bersama. Habermas menyebut demokrasi memiliki "fungsi epistemik": ia adalah sarana sosial untuk menemukan keputusan yang paling rasional dan adil melalui diskursus publik yang inklusif. Legitimasi hukum dan politik lahir bukan dari paksaan atau tradisi, melainkan dari “praduga penerimaan rasional” atas hasil diskusi yang bebas dari dominasi.

Dalam konteks Indonesia, tuntutan rakyat "17+8" yang kini mengemuka dapat dibaca sebagai panggilan agar demokrasi kembali menjalankan fungsi epistemiknya. Rakyat meminta negara berhenti bertumpu pada kekuasaan koersif, dan kembali pada kekuatan lemah dari argumen terbaik.

Presiden: Mengembalikan Keamanan ke Ranah Rasionalitas

Tuntutan agar TNI ditarik dari pengamanan sipil serta penghentian kriminalisasi demonstran adalah seruan untuk menghapus distorsi dalam komunikasi politik. Ruang publik hanya bisa deliberatif bila bebas dari rasa takut. 

Begitu pula pembentukan tim investigasi independen untuk kasus Affan Kurniawan, Umar Amarudin, dan korban lain: kebenaran faktual hanya sah bila diuji secara terbuka, bukan diputuskan sepihak oleh narasi resmi negara.

DPR: Transparansi sebagai Prasyarat Diskursus

Rakyat menolak kenaikan gaji dan fasilitas DPR bukan sekadar karena ketimpangan, tetapi karena kebijakan itu tidak mungkin diterima secara rasional dalam forum setara. Transparansi anggaran adalah syarat minimal agar warga bisa menilai alasan di balik kebijakan. 

Begitu juga dorongan agar Badan Kehormatan memeriksa anggota bermasalah: demokrasi epistemik menghendaki bahwa etika pejabat publik harus diuji oleh norma rasional yang diakui semua warga terdampak.

Partai Politik: Dari Mesin Elektoral ke Medium Komunikasi

Tuntutan agar partai menjatuhkan sanksi tegas pada kader yang tidak etis, mengumumkan komitmen berpihak pada rakyat, serta melibatkan kader dalam dialog publik, sejatinya adalah upaya mengembalikan partai pada fungsinya sebagai medium komunikasi antara rakyat dan negara. 

Legitimasi partai tidak sah bila hanya beroperasi dalam ruang transaksional internal; ia harus membuka diri terhadap diskursus publik yang kritis.

Polri: Menghentikan Distorsi Komunikasi dengan Represi

Pembebasan demonstran, penghentian kekerasan, dan pemrosesan hukum terhadap aparat yang melanggar HAM adalah syarat epistemik. Polisi adalah penjaga ruang deliberasi, bukan penghambatnya. Bila argumen rakyat dijawab dengan represi, maka fungsi epistemik demokrasi lumpuh: yang berbicara bukan lagi warga, tetapi tongkat dan gas air mata.

TNI: Menarik Diri dari Arena Sipil

Rakyat menuntut agar TNI kembali ke barak, menegakkan disiplin internal, dan berkomitmen publik untuk tidak memasuki ruang sipil selama krisis. Dalam kerangka epistemik, ini berarti menghapus distorsi paling serius dalam komunikasi politik: dominasi kekerasan fisik atas argumen rasional. Demokrasi hanya mungkin bila logika militer tidak mencemari logika sipil.

Kementerian Ekonomi: Membuka Argumen Kebijakan

Isu upah layak, perlindungan buruh, serta dialog dengan serikat adalah contoh konkret bagaimana kebijakan ekonomi harus diuji dalam forum publik. Legitimasi ekonomi tidak lahir dari teknokrasi tertutup, melainkan dari argumen yang dapat diterima mereka yang terdampak langsung: buruh, guru, nakes, ojol, dan seluruh pekerja Indonesia. Demokrasi epistemik menuntut agar alasan kebijakan diuji, dinegosiasikan, dan disepakati dalam kondisi diskursus yang adil.

Agenda 1 Tahun: Reformasi sebagai Pelembagaan Diskursus

Delapan tuntutan jangka panjang rakyat menunjukkan bahwa fungsi epistemik demokrasi tidak bisa dipenuhi tanpa reformasi institusi:

  1. DPR dan partai politik harus dibersihkan agar menjadi arena argumen publik, bukan barter kuasa.
  2. Reformasi perpajakan ditagih agar distribusi beban bisa dipertanggungjawabkan secara rasional.
  3. UU Perampasan Aset Koruptor diminta karena korupsi menghancurkan logika deliberatif dengan mengganti argumen dengan transaksi gelap.
  4. Reformasi kepolisian dibutuhkan agar polisi mendukung, bukan menekan, ruang deliberasi.
  5. TNI kembali ke barak sepenuhnya untuk mengembalikan kedaulatan sipil.
  6. Komnas HAM dan lembaga independen diperkuat sebagai penjaga forum rasional.
  7. Kebijakan ekonomi dan ketenagakerjaan ditinjau ulang dengan membuka diskusi baru di hadapan publik.

Semua agenda ini berakar pada satu prinsip: bahwa legitimasi hanya sah bila hasilnya bisa diterima dalam kondisi diskursus setara, inklusif, dan rasional.

Legitimasi Sejati

Tuntutan 17+8 bukan sekadar protes moral atau kalkulasi politik. Ia adalah panggilan epistemik agar negara kembali tunduk pada prinsip deliberatif: bahwa hanya argumen terbaik, bukan kekuatan terbesar, yang dapat melahirkan legitimasi sejati.

Jika negara menjawab tuntutan dengan represi, demokrasi akan runtuh menjadi ritual kosong. Tetapi bila ia dijawab dengan keterbukaan, dialog, dan reformasi, maka demokrasi akan kembali pada maknanya yang terdalam: pencarian kebenaran normatif bersama oleh warga yang hidup dalam satu komunitas politik.*

Post a Comment

Post a Comment