![]() |
Penulis: Anom Surya Putra, Advokat |
ARKANA~ Kita hidup di sebuah era, batas antara manusia dan mesin kian kabur. Kecerdasan buatan (AI) generatif kini mampu menulis puisi, menggambar lukisan, bahkan menulis analisis hukum (legal memorandum) dengan kecepatan yang tak terbayangkan. Namun di balik keajaiban teknologi itu, mengintai pertanyaan mendasar: apakah hasil karya AI dapat dianggap sebagai ciptaan yang sah secara hukum? Dan siapa yang harus bertanggung jawab atas konsekuensi dari keluaran (output) yang dilahirkannya?
AI sebagai Pencipta atau Sekadar Alat?
Diskusi global mengenai status hukum output AI semakin intens. M.V. Samartseva dalam artikelnya di Digital Law Journal (2025) menegaskan bahwa “AI-generated outputs, devoid of human intellectual contribution, cannot be qualified as works of authorship in the classical sense of copyright law”. Artinya, jika tidak ada campur tangan manusia, hasil karya AI tidak bisa dianggap sebagai “ciptaan” dalam pengertian tradisional hukum hak cipta.
Pertanyaan ini tidak hanya akademis. Bayangkan sebuah perusahaan rintisan yang mengandalkan AI untuk menghasilkan desain produk. Jika desain itu ternyata melanggar hak cipta pihak lain, siapa yang akan dimintai pertanggungjawaban? Apakah penyedia model AI, penggunanya, atau justru tidak ada satupun karena mesin dianggap “netral”?
Kekosongan Hukum di Indonesia
Indonesia sendiri belum memiliki regulasi yang komprehensif mengenai AI. Beberapa aturan tentang perlindungan data pribadi baru lahir, tetapi masih jauh dari cukup untuk menjawab kompleksitas AI generatif. Di sisi lain, kasus-kasus sengketa potensial sudah mulai bermunculan, mulai dari plagiarisme, pencemaran nama baik, hingga persoalan atribusi karya.
Kekosongan hukum ini berbahaya. Tanpa kepastian, pengguna bisa menjadi korban, penyedia platform bisa bersembunyi di balik klaim “teknologi netral”, dan publik kehilangan perlindungan.
Menentukan Tanggung Jawab
Salah satu jalan keluar adalah membagi tanggung jawab secara proporsional. Penyedia AI seharusnya bertanggung jawab atas keamanan dan desain sistem, termasuk memastikan bahwa model tidak dengan mudah menghasilkan konten yang melanggar hukum. Pengguna, di sisi lain, harus bertanggung jawab atas konteks dan tujuan penggunaan output tersebut.
Samartseva mengingatkan bahwa “the allocation of liability must follow the principle of foreseeability: the party that can foresee and prevent harmful consequences should bear responsibility”. Prinsip pencegahan harus menjadi dasar pembagian tanggung jawab.
Hak Cipta dan Keterlibatan Manusia
Hukum Indonesia perlu menegaskan bahwa perlindungan hak cipta hanya berlaku jika ada kontribusi manusia. AI harus dipandang sebagai alat bantu, bukan pencipta. Ini penting untuk menjaga konsistensi konsep orisinalitas dalam hukum hak cipta kita.
Namun demikian, ruang bisa dibuka untuk pengaturan lisensi baru. Misalnya, jika output AI menggunakan materi yang jelas berasal dari karya berhak cipta, maka mekanisme izin atau kompensasi perlu diberlakukan.
AI dan Kepastian Hukum
Regulasi bukan satu-satunya jawaban. Dibutuhkan juga pendidikan hukum yang lebih progresif: hakim, advokat, dan akademisi harus diperlengkapi dengan wawasan tentang teknologi AI agar tidak gagap menghadapi kasus konkret. Selain itu, forum dialog lintas-sektor—yang mempertemukan ahli hukum, pakar teknologi, dan pembuat kebijakan—perlu dibentuk untuk merumuskan arah kebijakan nasional.
AI bukan sekadar tantangan teknologi, tetapi juga ujian bagi sistem hukum kita. Jika kita gagal merespons, kita hanya akan menjadi konsumen pasif dari teknologi global tanpa kemampuan melindungi hak-hak warga negara. Sebaliknya, jika kita berani menyusun kerangka hukum yang adil, adaptif, dan berpihak pada kepastian, Indonesia bisa menjadi salah satu pionir di Asia Tenggara dalam tata kelola AI.
Penutup
AI generatif adalah inovasi yang tak mungkin dihentikan. Pertanyaannya bukan apakah kita akan menggunakannya, tetapi bagaimana hukum memastikan bahwa inovasi ini tetap berada dalam koridor keadilan. Kepastian hukum atas output AI bukan sekadar masalah teknis, melainkan soal keberanian kita sebagai bangsa hukum untuk mendefinisikan ulang apa arti kreativitas, tanggung jawab, dan keadilan di era mesin yang kian menyerupai manusia.*
Post a Comment