ARKANA~ Reshuffle Kabinet Merah Putih oleh Presiden Prabowo hari ini bukan sekadar pergantian teknis, melainkan sebuah peristiwa simbolik yang memunculkan kembali pertanyaan mendasar: siapa yang sebenarnya menjadi subjek dalam negara? Dalam kacamata Lacanian, publik tak hanya menyaksikan pergeseran kursi, tetapi juga menyadari betapa nama-nama menteri hanyalah penanda yang mengisi kekosongan hasrat kolektif akan kepastian.
Pergantian Menteri dan Kelahiran Kementerian Baru
Sri Mulyani, figur profesional yang sering diposisikan sebagai jendela imajiner stabilitas fiskal, digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa, mantan Kepala LPS. Abdul Kadir Karding digantikan oleh Mukhtarudin (Golkar) di P2MI, dan Budi Arie Setiadi digantikan Ferry Juliantono (Gerindra) di Koperasi. Prabowo juga melahirkan simbol baru: Kementerian Haji dan Umrah, dipimpin Mochamad Irfan Yusuf, eks Kepala BP Haji.
Namun, bilamana pengumuman Mensesneg Prasetyo Hadi tentang akan digantinya Menko Polkam Budi Gunawan dan Menpora Dito Ariotedjo tanpa menyebut penggantinya, justru memperlihatkan celah Real —absennya jawaban pasti atas tatanan simbolik yang diguncang.
Hasrat Agraria yang Tertunda
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menyatakan 48% dari 55,9 juta hektare tanah bersertifikat dikuasai 60 keluarga. Angka itu, seolah bekerja seperti statistik sebagai fantasi: memberi citra penguasaan total, namun justru mengungkap trauma kolektif tentang ketidakadilan agraria. Apakah ini sekadar wacana statistik, atau awal dari reforma agraria nyata?
Di sini, negara berposisi sebagai tuan yang menunda: ia berbicara, tetapi menunda tindakan, sementara publik terus menanggung kekurangan struktural.
Demonstrasi, Trauma, dan Simbol Kematian
Tuntutan "17+8" dari pengunjuk rasa menemukan resonansi dalam pernyataan Prabowo: sebagian masuk akal, sebagian lain "debatable". Kasus Affan Kurniawan, sopir ojol berusia 21 tahun yang tewas dilindas kendaraan taktis polisi, menjadi titik trauma yang tak bisa disublimasi hanya dengan janji tim investigasi.
Prabowo menyebut ada upaya meruntuhkan kepercayaan publik. Dalam logika Lacanian, ini adalah upaya menutupi bahwa kehilangan legitimasi sudah bekerja di level imajiner: rakyat tak lagi percaya pada narasi penuh.
Ribuan pengemudi ojol pun akan turun ke jalan 17 September 2025. Mereka membawa kematian Affan sebagai penanda kosong —bukan sekadar soal upah, tapi soal martabat yang dilanggar.
Pasar dan Rupiah: Fantasi Stabilitas yang Runtuh
IHSG yang semula menguat, seketika berbalik merah usai kabar reshuffle. Rupiah di pasar NDF juga ambruk cepat, meski rupiah spot belum bereaksi. Gerakan pasar ini menunjukkan bahwa fantasi stabilitas yang sebelumnya diikat pada figur Sri Mulyani runtuh begitu ia diganti.
Penurunan cadangan devisa USD 2 miliar menjadi USD 150,7 miliar menambah lapisan kecemasan. Seperti yang dikatakan Lacan, pasar keuangan bekerja dengan hasrat tak sadar kolektif: ia merespons bukan pada realitas teknis, melainkan pada kehilangan objek yang memberi rasa aman.
PHK Gudang Garam dan Hasrat Buruh
Di Tuban, isu PHK ribuan buruh Gudang Garam memperlihatkan benturan antara fantasi industri modern dengan kenyataan efisiensi. Meski manajemen membantah, serikat pekerja KSPSI menyebut 400 buruh sudah di-PHK. Video perpisahan massal buruh beredar sebagai gambar imajiner yang lebih kuat daripada bantahan formal.
Desakan buruh agar PTKP naik dari Rp54 juta/tahun menjadi Rp90 juta/tahun pun adalah hasrat untuk mengembalikan realitas hidup yang layak. Bhima Yudhistira menilai itu rasional, sementara Bob Azam dari Apindo mengingatkan bahwa kebutuhan lapangan kerja 3,5 juta per tahun tak bisa hanya diandalkan pada negara.
Trending di Medsos: Kritik terhadap Penanda Baru
Di platform X, kata "reshuffle" trending, dengan warganet skeptis pada pengganti Sri Mulyani dan penciptaan Kementerian Haji dan Umrah. Kritik ini menyingkap ketidakcocokan antara simbol dan realitas: efisiensi anggaran dituntut, namun struktur birokrasi justru diperluas.
Kesimpulan
Reshuffle kabinet, gejolak pasar, isu agraria, hingga demonstrasi ojol, memperlihatkan negara yang beroperasi dalam logika penanda. Negara terus memproduksi simbol, janji, dan kementerian baru untuk menutupi kekosongan legitimasi. Namun, sebagaimana Lacan ingatkan, "the Real" selalu kembali. Dan di Indonesia hari ini, "the Real" itu hadir sebagai tanah yang dikuasai 60 keluarga, pasar yang rapuh, buruh yang ter-PHK, dan seorang pengemudi ojol muda yang wafat dilindas mobil polisi di arena demonstrasi.*
Post a Comment