-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

[EDITORIAL] Demokrasi Massa Tanpa Komunikasi Publik

ARKANA~  Kesepakatan pemerintah dan DPR untuk menuntaskan RUU Perampasan Aset tahun ini seolah menjadi sinyal bahwa suara publik akhirnya menggema di ruang kekuasaan. RUU yang telah mangkrak sejak era Jokowi ini kini dijanjikan selesai, bahkan Ketua Baleg Bob Hasan berjanji pembahasannya terbuka, tanpa ruang gelap. Publik tentu boleh menyambut, tetapi juga layak meragukan: waktu tersisa hanya 32 hari kerja hingga tutup tahun, sementara kualitas legislasi yang terburu-buru bisa berakhir dengan celah hukum seperti UU Cipta Kerja.

Di sini tampak paradoks utama demokrasi-massa kita: komunikasi publik dijadikan etalase, bukan mekanisme substantif. Publik menekan lewat aksi dan opini, tetapi konversinya menjadi “kekuasaan komunikasi” sering kali berhenti di permukaan. Apa jaminannya bahwa janji keterbukaan benar-benar akan menghasilkan argumen yang diuji, bukannya sekadar formalitas partisipasi?

Kontradiksi lain justru menguat di ranah politik. Rahayu Saraswati memilih mundur dari DPR setelah pernyataannya dipelintir dan memicu kemarahan massa. Dalam kasus ini, media sosial tidak menjadi ruang deliberasi, melainkan ruang distorsi yang mengikis kepercayaan publik pada proses politik. Sementara itu, kritik tajam dari Aliansi Perempuan Indonesia soal keterlibatan militer dalam ranah sipil menunjukkan bahwa komunikasi publik juga bisa dibendung oleh retorika keamanan negara. Presiden Prabowo menunda komitmen “TNI kembali ke barak” dengan alasan debat masih perlu dilanjutkan, padahal tuntutan publik jelas: hentikan militerisasi kehidupan sipil. Ketika suara perempuan dan korban pelanggaran HAM ditanggapi dengan retorika defensif, komunikasi publik tercederai sejak awal.

Kegaduhan juga datang dari ranah ekonomi. Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, memulai langkah dengan rencana memindahkan Rp 200 triliun dana pemerintah dari BI ke bank BUMN. Secara teknis, langkah itu bisa menggerakkan likuiditas. Tetapi tanpa transparansi publik dan disiplin fiskal, kebijakan semacam ini berisiko hanya memperkuat konglomerasi bank dan memperdalam defisit. Sinyal politik lebih kuat dari kalkulasi ekonomi: pencopotan Sri Mulyani dan penggantinya oleh figur yang lebih “loyal” menegaskan bahwa konsolidasi kekuasaan kini mengalahkan kredibilitas fiskal.

Indikator ekonomi menggarisbawahi keresahan publik: Indeks Keyakinan Konsumen melemah, rasio pajak merosot ke 9,6%, dan beban bunga utang mendekati 20% belanja negara. Sementara program populis seperti Makan Bergizi Gratis digadang-gadang, publik sadar bahwa tanpa basis hukum yang kokoh dan fiskal yang sehat, janji kesejahteraan hanya akan memperdalam krisis kepercayaan.

Dalam lanskap ini, apa yang disebut Habermas sebagai “kebebasan komunikatif warga negara” menjadi taruhan besar. Komunikasi publik seharusnya inklusif sekaligus selektif: memberi ruang bagi isu penting, argumen yang kuat, dan data yang sahih. Namun yang terjadi di republik ini justru sebaliknya: suara publik ditampung sekadar sebagai tekanan, distorsi informasi dibiarkan merajalela, dan keputusan strategis dikunci oleh logika koalisi politik serta militerisasi kekuasaan.

Editorial ini tidak berhenti pada kritik atas rangkaian peristiwa RUU Perampasan Aset, mundurnya anggota DPR, TNI kembali ke barak, rencana pemindahan 200 triliun ke bank BUMN, rasio pajak dan beban bunga utang. Justru kita perlu menegaskan kembali: tanpa komunikasi publik yang sehat, demokrasi akan kehilangan fungsi epistemiknya—kemampuannya menghasilkan pengetahuan kolektif yang layak jadi dasar keputusan. RUU Perampasan Aset bisa menjadi momentum untuk membuktikan: apakah publik benar-benar didengar, atau hanya dijadikan legitimasi semu.

Jika ruang publik gagal menjadi jembatan antara tuntutan rakyat dan kebijakan negara, demokrasi hanya akan tinggal nama. Kita terjebak dalam demokrasi massa (mass democracy) tanpa komunikasi publik (public communication). Dan itu artinya, kedaulatan rakyat yang dijanjikan konstitusi, kembali digantikan oleh kedaulatan elite yang dibungkus dengan kata “partisipasi”.


Post a Comment

Post a Comment