-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Advokat: Dari Gladiator Hukum Menjadi Arsitek Demokrasi Deliberatif

Penulis: Anom Surya Putra, Advokat

I: BERAWAL DARI GLADIATOR HUKUM

Bayangkan sesosok Advokat. Gambaran yang paling sering muncul adalah seorang figur berwibawa dalam toga hitam, berdiri di ruang pengadilan yang khidmat. Suaranya lantang, argumennya tajam, setiap kata dan dalil disusun cermat untuk satu tujuan: memenangkan perkara bagi kliennya. Ia adalah seorang gladiator dalam arena hukum, seorang pejuang yang bertarung dalam batas-batas aturan yang telah ditetapkan. Arena ini tidak hanya terbatas di pengadilan. Gladiator ini juga bertarung di meja negosiasi, merancang klausul kontrak yang mengamankan setiap celah, atau melakukan uji tuntas (due diligence) untuk memastikan kliennya tidak membeli "kucing dalam karung".

Inilah tesis awal kita: Advokat sebagai gladiator hukum profesional. Peran ini dikukuhkan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang memberikan status Advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri. Spektrum aktivitasnya luas, mulai dari menjadi pengacara di pengadilan, konsultan hukum korporasi, perancang peraturan perusahaan, hingga menjadi ahli dalam bidang-bidang spesifik seperti hukum pertambangan, perpajakan, atau mediasi. Apa pun spesialisasinya, benang merahnya sama: Advokat adalah seorang teknisi ahli yang menggunakan hukum positif—hukum yang berlaku saat ini—sebagai instrumen untuk mencapai tujuan klien. Klien didakwa melakukan korupsi? Gladiator akan mencari celah prosedur untuk membebaskannya. Aset BUMN akan dijual? Gladiator akan memastikan semua dokumen "bersih" secara hukum. Masyarakat adat bersengketa dengan korporasi? Gladiator akan membela siapa pun yang membayarnya, dengan menggunakan pasal-pasal yang paling menguntungkan. Dalam kerangka ini, hukum adalah senjata, dan Advokat adalah ahlinya.

Mari kita berhenti sejenak dan mengajukan sebuah pertanyaan kritis. Bagaimana jika kemenangan sang gladiator justru meninggalkan luka yang lebih dalam pada tenun sosial? Inilah antitesis yang diajukan tulisan ini, yang diilhami oleh pemikiran filsuf Jerman, Jürgen Habermas. Habermas, dalam karya monumentalnya sekitar tahun 1996, berjudurl Faktizität und Geltung (Faktisitas dan Validitas), menyoroti sebuah ketegangan fundamental dalam hukum modern. Di satu sisi, hukum adalah Faktizität—fakta sosial yang bisa dipaksakan, atau kesahihan, sebuah perintah dari kekuatan politik yang dilengkapi dengan sanksi. Di sisi lain, agar stabil dan dihormati, hukum membutuhkan Geltung—validitas atau keabsahan, yaitu keyakinan dari warga negara bahwa hukum itu adil dan layak untuk ditaati secara sukarela.

Ketika seorang Advokat berhasil memenangkan sengketa tanah untuk sebuah korporasi besar melawan komunitas adat/lokal hanya berdasarkan kekuatan sertifikat hak milik (sebuah faktisitas), namun mengabaikan sejarah panjang penguasaan tanah oleh leluhur komunitas tersebut dan rasa keadilan publik, ia mungkin telah memenangkan pertarungan hukum, tetapi ia turut memperlebar jurang antara hukum dan keadilan. Kemenangan legalnya menciptakan krisis legitimasi. Ketika hukum dirasakan hanya sebagai alat kekuasaan bagi yang kuat dan bukan sebagai sumber keadilan bagi semua, kepercayaan publik terkikis. Arena hukum yang kita banggakan berubah menjadi sekadar panggung sandiwara kekuasaan. Pertanyaannya menjadi: apakah peran Advokat hanya sebatas menjadi gladiator yang mahir di arena yang mungkin sudah retak fondasinya?

Di sinilah tulisan ini menawarkan sintesis: transformasi Advokat dari gladiator menjadi arsitek demokrasi deliberatif. Jika gladiator bertarung di dalam arena, maka arsitek adalah ia yang turut merancang, membangun, dan memelihara arena itu sendiri. Seorang arsitek tidak hanya memikirkan kemenangan dalam satu pertarungan, tetapi memikirkan kesehatan dan integritas seluruh bangunan. Advokat-arsitek adalah seorang profesional hukum yang menyadari bahwa setiap tindakannya—baik di pengadilan, di ruang rapat, maupun saat memberikan nasihat—memiliki dampak pada legitimasi hukum secara keseluruhan. Ia memahami, hukum yang sehat tidak lahir dari paksaan, melainkan dari komunikasi dan deliberasi—sebuah proses yang mana warga negara dapat bertemu sebagai pihak yang setara untuk berdiskusi, berdebat, dan mencapai kesepakatan rasional mengenai aturan yang akan mengatur hidup mereka bersama.

Terinspirasi dari 6 (enam) gagasan kunci Habermas, tulisan ini akan membongkar peran-peran tradisional Advokat—dalam hubungannya dengan fungsi hukum, moralitas, hak asasi manusia, demokrasi, komunikasi publik, dan paradigma hukum—lalu merakitnya kembali menjadi sebuah visi baru. Visi tentang seorang Advokat yang tidak hanya mengejar kemenangan klien, tetapi juga secara sadar memperkuat fondasi demokrasi deliberatif, tempat bagi hukum yang adil dapat tumbuh dan berkembang. Ini adalah perjalanan untuk menemukan kembali jiwa profesi hukum, bukan sebagai mesin pertarungan, melainkan sebagai pilar utama dalam proyek demokrasi yang tidak pernah selesai.

II: DARI TEKNISI AHLI KE PENJAGA KESEIMBANGAN  

Seorang Advokat membuka Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mencari pasal yang tepat untuk membatalkan sebuah perjanjian. Di kantor lain, seorang Advokat korporasi dengan teliti menyusun argumen untuk menggugat surat keputusan (keputusan tata usaha negara) dari institusi pemerintah yang merugikan kliennya. Keduanya melakukan tindakan yang sama pada intinya: mereka menggunakan hukum sebagai sarana, sebagai seperangkat alat yang canggih untuk mencapai tujuan tertentu. Inilah gambaran dominan dari fungsi hukum modern dalam praktik, sebuah pandangan yang diwarisi dari sosiolog besar Max Weber. Menurut Weber, salah satu ciri utama hukum modern adalah rasionalitas formalnya—ia berfungsi seperti mesin yang dapat diprediksi, yang jika dioperasikan dengan benar, akan menghasilkan output yang diinginkan.

Inilah tesis kita: Advokat adalah seorang teknisi ahli yang mengoperasikan hukum sebagai alat kekuasaan yang koersif (memaksa). Dalam pandangan ini, hukum tidak lebih dari perpanjangan tangan kekuasaan politik dan administratif. Ia adalah instrumen untuk mengatur masyarakat, dan Advokat adalah orang yang paling paham cara kerja instrumen tersebut demi kepentingan klien.

Mari kita lihat sebuah ilustrasi kasus konkret: pembekuan rekening bank yang dianggap tidak aktif (dormant) atau terindikasi transaksi mencurigakan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Ketika seorang klien datang dengan masalah ini, Advokat yang berperan sebagai "gladiator" akan segera membedah surat resmi PPATK tentang pembekuan. Apakah ada cacat prosedur? Apakah dasar hukum yang digunakan sudah tepat? Apakah PPATK melampaui kewenangannya? Perjuangan Advokat di sini adalah pertarungan teknis melawan tindakan koersif negara. Tujuannya tunggal dan jelas: membebaskan rekening klien secepat mungkin. Hukum, dalam konteks ini, adalah medan pertempuran antara kekuatan negara dan hak individu, dan fungsi Advokat adalah memastikan kliennya menang dalam pertempuran tersebut. Faktisitas hukum—kekuatan negara untuk membekukan aset—dilawan dengan faktisitas hukum lainnya—hak individu atas properti dan prosedur yang benar.

Namun, mari kita ajukan sebuah pertanyaan yang lebih mendasar. Mengapa sebuah masyarakat yang kompleks dan beragam seperti Indonesia, yang terdiri dari jutaan individu dengan kepentingan yang berbeda-beda, tidak hancur berkeping-keping? Apa yang merekatkan kita semua? Jürgen Habermas, dalam antitesis-nya terhadap pandangan Weberian, memberikan jawaban yang berbeda. Mengikuti jejak Émile Durkheim, Habermas berpendapat bahwa di tengah runtuhnya perekat tradisional seperti agama dan adat yang homogen, hukum modern mengambil alih fungsi sebagai "semen" utama integrasi sosial.

Hukum bukan sekadar alat paksa. Jika hanya itu, ia tidak akan mampu menyatukan masyarakat. Agar berfungsi sebagai "semen", hukum harus memiliki sesuatu yang lebih: legitimasi. Sebagaimana ditekankan Habermas, hukum modern memang bersifat positif dan koersif, namun ia "tetap harus memenuhi harapan legitimasi sehingga setidaknya mengizinkan para-penerima-hukum yang akan mengikuti norma untuk melakukannya, jika mereka mau, demi menghormati hukum." Artinya, warga negara harus bisa melihat "alasan yang baik" untuk taat, melampaui sekadar rasa takut akan sanksi.

Kembali ke kasus PPATK. Kekuatan PPATK untuk membekukan rekening tidak lahir dari ruang hampa. Ia adalah mandat dari masyarakat demokratis untuk tujuan integrasi sosial: mencegah pencucian uang, pendanaan terorisme, dan kejahatan ekonomi lain yang merusak tatanan sosial. Namun, mandat ini hanya absah/legitim selama pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan secara rasional kepada publik. Jika pembekuan dilakukan secara sewenang-wenang, tanpa prosedur yang adil, maka hukum kehilangan kualitas "semen"-nya. Ia tidak lagi dilihat sebagai pelindung tatanan sosial, melainkan sebagai ancaman sewenang-wenang terhadap hak-hak subjektif warga negara—"sabuk pengaman" yang menurut Habermas seharusnya disediakan hukum modern bagi setiap orang. Di sinilah letak ketegangan antara faktisitas (kekuatan untuk membekukan) dan validitas (kewajiban untuk melakukannya secara adil).

Maka, lahirlah sintesis dari peran Advokat sebagai arsitek demokrasi: Advokat adalah penjaga keseimbangan antara paksaan dan legitimasi hukum, yang memastikan hukum berfungsi sebagai medium integrasi. Peran ini diwujudkan bukan dengan menolak hukum positif, melainkan dengan memperkaya argumennya.

Seorang Advokat-arsitek, saat menangani kasus PPATK, akan memulai pembelaannya dengan menegaskan hak subjektif kliennya atas properti—sebuah pilar fundamental hukum modern yang berfungsi sebagai "sabuk pengaman" kebebasan individu. Ini adalah tugas pertamanya. Namun, ia tidak berhenti pada argumen teknis-prosedural. Ia mengangkat pembelaan ke tingkat yang lebih tinggi dengan membingkainya dalam ketegangan antara paksaan dan legitimasi. Argumennya kurang lebih akan berbunyi:

"Yang Mulia, kami tidak menyangkal bahwa negara, melalui PPATK, memiliki kewenangan koersif yang diatur undang-undang. Namun, kita harus bertanya: apa yang membedakan kewenangan ini dari sekadar kekuasaan mentah? Jawabannya adalah legitimasi. Stabilitas hukum bergantung pada kemampuannya untuk mendapatkan pengakuan intersubjektif. Warga negara bersedia patuh bukan hanya karena ancaman sanksi, tetapi karena mereka percaya pada keabsahan sistem. Ketika sebuah tindakan koersif—seperti pembekuan rekening ini—dijalankan melalui prosedur yang buram dan tidak memberikan ruang pembelaan yang cukup, ia merusak 'harapan legitimasi' itu. Ia mengubah hukum dari perekat sosial menjadi alat dominasi."

Argumen itu tentu harus dilengkapi dengan argumen hukum yang yuristik, dogmatik, legisme, dan positivisme-yuridis. Namun dengan perluasan argumen seperti itu, Advokat-arsitek melakukan beberapa hal strategis secara bersamaan:

  1. Advokat Membela Hak Klien secara Konstitusional: Advokat menempatkan hak properti kliennya bukan sebagai isu privat semata, tetapi sebagai bagian dari struktur hak subjektif yang esensial bagi fungsi masyarakat modern yang terdesentralisasi.
  2. Advokat Menantang Basis Legitimasi Lawan: Advokat tidak hanya mengatakan "tindakan Anda salah prosedur," tetapi "tindakan Anda, bahkan jika secara formal benar, telah menggerus fondasi legitimasi yang menjadi dasar kewenangan Anda sendiri."
  3. Advokat Mengedukasi Ruang Sidang: Advokat mengubah pengadilan dari sekadar arena pertarungan teknis menjadi forum diskursus tentang kesehatan negara hukum. Ia mengajak hakim untuk melihat melampaui pasal per pasal dan mempertimbangkan dampak putusan terhadap kepercayaan publik pada hukum (fungsi integrasi sosial).

Dalam perannya sebagai arsitek, Advokat tersebut secara aktif bekerja pada "jahitan" yang menyatukan faktisitas (kekuatan hukum yang memaksa) dan geltung (klaim hukum untuk ditaati secara sukarela). Ia mengubah sengketa privat menjadi pelajaran publik tentang bagaimana seharusnya hukum bekerja dalam sebuah demokrasi. Ia tidak hanya menggunakan hukum sebagai alat. Advokat berpartisipasi dalam proses berkelanjutan untuk menjaga agar hukum tetap menjadi "semen" yang kokoh, bukan sekadar dinding kekuasaan yang dingin.

III. DARI TEKNISI FORMAL KE KONSULTAN LEGITIMASI

Seorang Advokat duduk bersama dewan direksi sebuah BUMN. Di atas meja, terbentang laporan tebal berjudul "Uji Tuntas Hukum (Legal Due Diligence) atas Aset X." Tugas sang Advokat jelas: memastikan bahwa aset yang akan diakuisisi atau dilepas ini "bersih dan tidak bermasalah" (clean and clear) dari segi hukum. Ia memeriksa sertifikat tanah, izin mendirikan bangunan, riwayat perjanjian, dan semua dokumen formal lainnya. Jika semua kertas di atas meja sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka laporannya akan memberikan lampu hijau. Ini adalah potret klasik dari profesionalisme hukum.

Inilah tesis kita, yang berakar kuat dalam tradisi positivisme hukum: Advokat adalah seorang teknisi formal yang memisahkan secara tegas antara hukum dan moralitas. Dalam paradigma ini, hukum adalah ekspresi dari otoritas politik yang sahih, sebuah perintah yang harus ditaati. Validitasnya terletak pada formalitas dan efektivitasnya, bukan pada kandungan moralnya. Pertanyaan apakah aset BUMN tersebut di masa lalu diperoleh dengan cara yang menggusur komunitas adat/lokal secara tidak adil, atau apakah proyek di atasnya akan menimbulkan kerusakan lingkungan, dianggap berada di luar lingkup audit hukum. Itu adalah ranah etika, politik, atau tanggung jawab sosial perusahaan—bukan urusan hukum positif. Advokat, dalam peran ini, menjaga kemurnian analisisnya dari kontaminasi moral. "Hukum adalah hukum," demikian mantranya.

Namun, praktik ini sering kali menimbulkan kegelisahan. Bagaimana jika laporan "bersih" dari Advokat justru menjadi justifikasi legal bagi sebuah tindakan yang secara moral tercela dan pada akhirnya memicu perlawanan publik yang merugikan perusahaan itu sendiri? Di sinilah antitesis yang dirumuskan oleh Jürgen Habermas menjadi relevan. Habermas menolak dua ekstrem: positivisme yang memisahkan total hukum dari moral, dan teori hukum alam yang menyamakan hukum dengan moral.

Menurut Habermas, kedua pandangan tersebut gagal memahami perbedaan sekaligus hubungan fungsional antara keduanya. Moralitas berbicara tentang kewajiban (apa yang harus kita lakukan), sementara hukum modern berfokus pada distribusi hak (apa yang boleh kita lakukan). Dalam masyarakat modern yang pluralistik, yang mana tidak ada lagi satu etos agama atau adat yang dominan, kesadaran moral individu menjadi "lemah" dan tidak cukup untuk mengatur interaksi sosial yang kompleks dan impersonal. Di sinilah hukum masuk sebagai "komplemen fungsional" bagi moralitas. Hukum memberikan kepastian, jangkauan, dan pelembagaan yang tidak dimiliki oleh kesadaran moral pribadi.

Mari kita lihat kasus yang menguji batas ini: pembelaan terhadap terdakwa korupsi yang proses hukumnya diintervensi oleh pertimbangan amnesti atau abolisi. Dari kacamata positivis-legal murni, seorang terdakwa yang terbukti bersalah secara hukum harus dihukum. Prosesnya jelas dan valid secara formal. Namun, munculnya wacana amnesti atau abolisi menunjukkan bahwa masyarakat, melalui representasi politiknya, terkadang merasa perlu untuk mengesampingkan validitas hukum formal demi tujuan yang dianggap lebih tinggi secara moral atau politis—misalnya, rekonsiliasi nasional atau pengungkapan kebenaran yang lebih besar (justice collaborator). Kasus ini secara terbuka menunjukkan, hukum positif saja tidak cukup. Ia tidak bisa sepenuhnya terisolasi dari pertimbangan moral publik, karena pada akhirnya ia harus merespons "klaim legitimasi" yang lebih luas dari sekadar kepatuhan pada prosedur.

Lalu, di mana posisi Advokat dalam ketegangan ini? Jawabannya terletak pada sintesis peran baru: Advokat bertransformasi dari teknisi formal menjadi seorang konsultan legitimasi. Ia tidak menjadi seorang pengkhotbah moral (menolak hukum alam), juga bukan mesin legal yang tak berperasaan (menolak positivisme). Ia berdiri di ruang antara hukum dan moralitas, dan menjadikan ruang tersebut sebagai keahliannya.

Bagaimana seorang konsultan legitimasi bekerja? Mari kita kembali ke kasus uji tuntas aset BUMN. Advokat-arsitek akan tetap melakukan semua pemeriksaan formal yang disyaratkan (tesis). Namun, laporannya tidak akan berhenti di situ. Ia akan menambahkan sebuah bab analisis baru: "Peta Risiko Legitimasi." Dalam bab ini, ia akan melakukan hal-hal berikut:

  1. Mengidentifikasi Kesenjangan: Advokat akan memetakan realitas hukum formal aset tersebut berpotensi berbenturan dengan norma-norma moral atau rasa keadilan publik (misalnya, isu sejarah perolehan tanah atau dampak lingkungan).
  2. Menganalisis Risiko Reputasi dan Sosial: Advokat menganalisis kesenjangan ini dapat berubah menjadi risiko nyata—demonstrasi publik, kampanye media negatif, boikot, hingga gugatan hukum pada masa depan yang mungkin didasarkan pada interpretasi hukum yang lebih progresif.
  3. Memberikan Rekomendasi Mitigasi: Advokat tidak hanya menyoroti masalah, tetapi juga menawarkan solusi. Misalnya, menyarankan perusahaan untuk proaktif membuka dialog dengan komunitas terdampak, membentuk skema ganti rugi yang melampaui standar hukum minimum, atau mengadopsi teknologi ramah lingkungan.

Dengan melakukan ini, Advokat-arsitek tidak lagi hanya menjawab pertanyaan, "Apakah ini legal?" Ia menjawab pertanyaan yang jauh lebih penting bagi klien di abad ke-21: "Bagaimana kita melakukan ini secara legal, sekaligus memastikan tindakan ini dapat diterima dan berkelanjutan secara sosial?"

Dalam kasus seperti wacana amnesti, Advokat-arsitek mampu menempatkan posisi kliennya dalam kerangka yang lebih luas, memahami bahwa hasil dari sebuah proses hukum terkadang perlu "dikoreksi" oleh pertimbangan moral-politik demi tujuan integrasi sosial yang lebih besar. Ia mampu mengartikulasikan argumen yang menjembatani logika hukum formal dengan diskursus publik tentang keadilan.

Advokat sebagai konsultan legitimasi adalah seorang profesional yang memahami bahwa hukum positif, meskipun terpisah, tidak bisa hidup tanpa kandungan moral yang membuatnya layak ditaati. Perannya adalah menasihati klien untuk menavigasi dunia yang mana validitas hukum formal hanyalah titik awal, bukan tujuan akhir. Dengan demikian, Advokat tidak hanya menyelamatkan klien dari risiko pada masa depan, tetapi juga turut serta memperkuat hukum sebagai "komplemen fungsional" bagi moralitas, menjadikannya lebih kokoh, relevan, dan dipercaya oleh masyarakat.

IV. DARI GLADIATOR HAK KE MEDIATOR DEMOKRASI

Seorang Advokat duduk di pengadilan, dengan lantang membela hak ulayat masyarakat adat. Di lain tempat, seorang Advokat konstitusi menantang undang-undang yang dianggap mengekang kebebasan berekspresi. Tugas mereka, pada intinya, adalah sama: memastikan bahwa hak-hak asasi manusia, sebagai "tameng" bagi individu, tidak dilanggar oleh kekuasaan negara. Inilah potret klasik dari perjuangan kaum liberal, yang meyakini bahwa hak-hak asasi manusia adalah benteng tak tergoyahkan yang melindungi warga negara dari tirani mayoritas atau kehendak politik yang sewenang-wenang. Istilah “liberal” ini jangan terburu dipahami dalam stigma negatif namun dalam konteks perjuangan hak yang lalu berkembang menjadi prasyarat internal demokratisasi.

Tesis: Advokat sebagai Gladiator Hak (Penjaga Otonomi Privat)

Inilah tesis kita, yang berakar pada tradisi liberal: Advokat adalah seorang gladiator hak yang membela otonomi privat individu. Dalam paradigma ini, hak asasi manusia adalah perangkat statis yang sudah ditetapkan—sebuah hambatan hukum yang sah (legitim barriers) yang mencegah kehendak berdaulat rakyat melanggar batas kebebasan individu yang tidak dapat diganggu gugat. Validitas hukum diletakkan di atas kehendak politik.

Dalam praktiknya, seorang Advokat akan berjuang di medan pertempuran legal untuk memulihkan dan melindungi otonomi privat kliennya. Misalnya, Advokat membela hak investor berdasarkan kebebasan berkontrak. Ia memastikan setiap klausul dalam perjanjian jual-beli saham atau merger melindungi hak kliennya sebagai pemegang modal. Ia juga berjuang untuk hak individu yang rekening banknya dibekukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dengan menguji legalitas dan prosedur di balik tindakan tersebut agar hak properti kliennya tidak dilanggar secara sewenang-wenang. Demikian pula, dalam kasus sengketa tanah adat, Advokat membela hak ulayat masyarakat adat (sebagai hak privat/komunal) dari penguasaan negara, atau dalam kasus perlindungan data pribadi, ia menuntut perusahaan telekomunikasi yang membocorkan data pribadi kliennya. Peran Advokat di sini adalah sebagai teknisi ahli yang menggunakan hukum positif sebagai alat untuk mencapai tujuan klien dan melindungi hak-hak individu.

Antitesis: Kedaulatan Rakyat dan Kekuatan Demokratis (Otonomi Publik)

Namun, mari kita ajukan sebuah pertanyaan mendasar. Mengapa hak asasi manusia itu ada? Apakah ia sekadar perintah yang datang dari "langit" ataukah ia hasil dari sebuah proses? Tradisi kaum republikan, yang diinspirasi oleh Aristoteles, memberikan jawaban yang berbeda. Mereka memprioritaskan kedaulatan rakyat (popular sovereignty) sebagai sumber legitimasi hukum. Dalam pandangan ini, hukum yang adil adalah hukum yang diciptakan oleh rakyat itu sendiri melalui proses politik yang demokratis.

Habermas menolak kedua pandangan yang sepihak (unilateral) ini. Ia mengkritik pandangan liberal yang menganggap hak asasi manusia sebagai sesuatu yang "dipaksakan" pada legislator. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa hak asasi manusia harus dipahami sebagai prasyarat internal yang memungkinkan proses demokrasi itu sendiri terwujud. Ia mengilustrasikan ketegangan ini melalui pertanyaan: bagaimana subjek hukum yang merupakan "penerima" hukum (seperti warga negara) dapat merasakan hukum itu adil, jika mereka juga tidak dapat memandang diri mereka sendiri sebagai "pencipta" hukum tersebut?

Ketegangan ini menunjukkan bahwa otonomi privat (hak-hak individu) tidak dapat dipisahkan dari otonomi publik (hak warga negara untuk berpartisipasi dalam pembentukan hukum). Sebuah hak privat, misalnya hak atas properti, hanya akan memiliki bobot yang kuat jika ia lahir dari proses yang mana warga negara juga memiliki otonomi politik untuk menciptakan hukum yang melindungi hak tersebut.

Sintesis: Advokat sebagai Penghubung Otonomi Privat dan Publik

Maka, lahirlah peran baru Advokat sebagai mediator demokrasi. Ia tidak hanya menjadi gladiator hak yang membela hak-hak yang sudah ada, tetapi juga seorang arsitek yang menyadari bahwa hak-hak tersebut hanya akan kuat jika ada proses demokratis yang melegitimasinya. Advokat-arsitek memahami bahwa hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat tidak dapat mengklaim keunggulan satu sama lain, keduanya saling mengandaikan.

Peran puncak Advokat-arsitek adalah menyatukan dua sisi mata uang ini. Dalam kasus pembelaan hak investor, ia tidak hanya berjuang untuk kemenangan dalam sengketa bisnis, tetapi juga menggunakan kasus itu sebagai landasan untuk mendorong perbaikan regulasi perlindungan investor secara menyeluruh. Ia menyadari bahwa kemenangan privat hanya akan bertahan jika ada jaminan publik yang kuat. Demikian pula, dalam kasus rekening yang dibekukan PPATK, Advokat tidak berhenti pada kemenangan teknis-prosedural. Ia menggunakan momentum itu untuk mengadvokasi perbaikan mekanisme transparansi dan akuntabilitas PPATK, sehingga warga negara dapat menggunakan hak-hak dasar mereka untuk membentuk hukum yang melindungi diri mereka sendiri.

Selain itu, posisi Advokat dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi adalah contoh sempurna dari perannya sebagai mediator demokrasi. Advokat di forum ini tidak hanya membela hak-hak kliennya secara privat, tetapi juga berperan dalam menjaga integritas sistem hukum dan politik secara keseluruhan. 

Pertama, dalam kasus pengujian undang-undang, Advokat-arsitek membantu mengartikulasikan argumen bahwa suatu pasal UU bertentangan dengan UUD NRI 1945, yang merupakan manifestasi tertinggi dari kehendak rakyat. Di sini, ia menyuarakan otonomi privat warga negara yang merasa hak-haknya dilanggar, dan pada saat yang sama, ia berpartisipasi dalam proses otonomi publik untuk menafsirkan dan menyempurnakan hukum yang dibuat oleh rakyat itu sendiri. 

Kedua, pada uji formil suatu UU, Advokat menguji prosedur pembentukan UU tersebut. Ia tidak hanya mencari cacat prosedural, tetapi juga menegaskan bahwa legitimasi hukum (otonomi publik) hanya dapat dicapai melalui proses yang transparan, partisipatif, dan sesuai dengan aturan main yang telah disepakati. 

Ketiga, dalam perselisihan hasil pemilu dan pemilukada, Advokat membela hak-hak konstitusional kliennya, seperti hak untuk dipilih dan memilih, yang merupakan inti dari kedaulatan rakyat. Perannya adalah memastikan proses demokrasi berjalan adil, sehingga setiap suara rakyat benar-benar memiliki makna. 

Keempat, pada sengketa kewenangan antar institusi negara, Advokat membantu menguraikan argumen hukum tentang batas-batas kekuasaan. Di sini, ia memastikan bahwa setiap lembaga negara beroperasi dalam koridor yang ditetapkan oleh UUD NRI 1945, sehingga tidak ada kekuasaan yang melampaui batas dan mengancam otonomi publik serta privat warga negara.

Advokat di Mahkamah Konstitusi tidak lagi hanya menjadi gladiator. Ia adalah arsitek yang menggunakan setiap kasus sebagai kesempatan untuk membangun dan memperkuat fondasi demokrasi deliberatif, tempat bagi hak-hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat tidak saling bertentangan, melainkan saling memperkuat. Dengan cara ini, Advokat mengubah pekerjaannya dari sekadar "memenangkan kasus" menjadi "membangun sistem," dari gladiator menjadi mediator yang memastikan bahwa hak-hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat tidak saling bertentangan, melainkan saling memperkuat.

V. DARI GLADIATOR ARGUMEN KE FASILITATOR DELIBERASI

Dalam gagasan Jürgen Habermas, legitimasi sebuah keputusan tidak hanya berasal dari kekuasaan, tetapi juga dari fungsi epistemik demokrasi—yaitu, kemampuan sistem demokrasi untuk menghasilkan keputusan yang lebih baik dan lebih rasional melalui proses diskusi terbuka dan adil. Norma-norma hukum menjadi valid bukan hanya karena dipaksakan oleh negara (Faktizität), tetapi karena didasarkan pada kesepakatan yang dimotivasi secara rasional (Geltung). Inilah yang disebut Habermas sebagai prinsip diskursus: norma-norma tindakan yang benar-benar valid adalah yang dapat disetujui oleh semua pihak yang berpotensi terkena dampak melalui diskursus rasional. Advokat, dalam peran tradisionalnya, sering kali hanya beroperasi di permukaan diskursus ini, sebagai pemain dalam sistem adversarial.

Tesis: Advokat dalam Sistem Adversarial

Inilah tesis kita, yang berakar pada pandangan pragmatis dan instrumental tentang hukum: Advokat adalah gladiator argumen yang bertarung dalam sistem adversarial. Dalam paradigma ini, ruang sidang dan meja perundingan adalah arena pertarungan yang mana "kebenaran" adalah apa pun yang dapat dibuktikan oleh pihak yang paling terampil, bukan hasil dari pencarian bersama. Fokus utama Advokat adalah memenangkan kasus dengan menyajikan argumen paling kuat dari sudut pandang kliennya.

Peran ini meluas ke seluruh spektrum profesi hukum, dan dapat ditemukan dalam berbagai kegiatan sertifikasi yang ada. Sebagai konsultan hukum pertambangan, Advokat memberikan nasihat strategis kepada klien korporasi agar mendapatkan izin tambang dan meminimalkan risiko gugatan dari masyarakat atau pemerintah, tanpa harus mempertimbangkan dampak lingkungan atau keadilan sosial yang lebih luas. Dalam perancangan kontrak pengadaan barang dan jasa, Advokat bertugas menyusun klausul yang melindungi kepentingan klien swasta secara maksimal, mengantisipasi celah hukum, dan memastikan perjanjian menguntungkan satu pihak, terlepas dari potensi ketidakadilan bagi pihak lain. Sebagai auditor hukum, ia memeriksa dokumen perusahaan untuk memastikan kepatuhan formal terhadap peraturan, seperti di bidang perpajakan atau bea cukai, namun tidak mempertanyakan legitimasi atau keadilan di balik peraturan tersebut. Dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, Advokat berupaya memenangkan tuntutan kliennya, baik itu dari sisi perusahaan maupun pekerja, dengan mengandalkan dalil-dalil hukum yang paling menguntungkan. Semua aktivitas ini berpusat pada satu tujuan: kemenangan dan kepentingan klien.

Antitesis: Legitimasi dari Deliberasi Rasional

Akan tetapi, legitimasi sejati dalam masyarakat demokratis modern tidak datang dari kemenangan satu pihak atas pihak lain. Habermas berargumen, keputusan hukum menjadi sah karena adanya praduga penerimaan rasionalitas hasil (la présomption). Artinya, kita percaya bahwa suatu norma atau putusan itu adil karena ia lahir dari sebuah proses yang secara ideal memberikan ruang bagi semua pihak untuk berdiskusi secara rasional, terbuka, dan inklusif. Diskursus rasional ini, yang meliputi berbagai alasan (empiris, teknis, etika, moral, yuridis), adalah jantung dari politik deliberatif. Jika sebuah keputusan hanya dihasilkan dari dominasi argumen satu pihak, tanpa memberikan ruang yang setara bagi pihak lain, maka legitimasi keputusan tersebut akan cacat. Hukum akan kehilangan kualitasnya sebagai "perekat sosial" dan menjadi sekadar alat kekuasaan.

Sintesis: Advokat sebagai Fasilitator Deliberasi

Maka, lahirlah peran baru Advokat sebagai fasilitator deliberasi. Ia tidak lagi hanya menjadi gladiator argumen, tetapi juga seorang arsitek yang membantu merancang dan memelihara ruang deliberatif. Advokat-arsitek menyadari bahwa tujuannya tidak hanya memenangkan pertarungan hukum, tetapi juga mencari keadilan yang berkelanjutan. Ia memahami bahwa kemenangan hukum yang tidak didasarkan pada kesepakatan rasional berisiko menciptakan konflik baru di masa depan.

Peran ini terwujud dalam seluruh aktivitas Advokat, mengubahnya dari sekadar teknisi menjadi arsitek:

  • Dalam perancangan aturan dan kontrak: Advokat-arsitek memastikan bahwa proses perancangan mencerminkan deliberasi yang adil. Sebagai perancang kontrak pengadaan barang dan jasa, ia tidak hanya mengamankan keuntungan klien, tetapi juga merancang mekanisme yang transparan dan akuntabel. Ia akan menyertakan klausul yang mendorong mediasi dan dialog sebelum litigasi, serta menetapkan standar etika yang jelas. Dalam hukum perusahaan, Advokat akan menasihati klien untuk tidak hanya merancang perjanjian yang menguntungkan secara finansial, tetapi juga yang adil bagi semua pemangku kepentingan, termasuk pekerja dan masyarakat, sehingga mengurangi risiko perselisihan hubungan industrial di masa depan.
  • Dalam penyelesaian sengketa: Advokat-arsitek mempromosikan mediasi dan negosiasi yang berprinsip. Saat membela sebuah korporasi yang terlibat sengketa dengan komunitas terdampak, ia akan menasihati kliennya untuk menggunakan keahlian mediasi (sebagai mediator atau asistensi mediator) untuk membuka dialog yang berprinsip. Tujuannya adalah mencari solusi yang dapat diterima bersama, seperti skema kompensasi yang adil atau kesepakatan lingkungan yang berkelanjutan, alih-alih sekadar kemenangan hukum sesaat.
  • Dalam konsultasi hukum: Advokat-arsitek melampaui nasihat teknis. Sebagai konsultan hukum perpajakan, ia tidak hanya mencari celah hukum untuk klien, tetapi juga menasihati klien untuk mematuhi kewajiban moral dan etika, demi integritas sistem perpajakan. Sebagai konsultan hukum perbankan atau asuransi, ia akan menyoroti tidak hanya risiko finansial, tetapi juga risiko legitimasi yang timbul dari praktik yang secara hukum sah, tetapi secara etis dipertanyakan. Ia akan merekomendasikan klien untuk mengadopsi standar yang lebih tinggi, yang mencerminkan rasa keadilan publik.

Advokat-arsitek menggunakan keahliannya bukan untuk mendominasi, melainkan untuk menciptakan kondisi komunikasi yang adil, tulus, dan setara. Ia mengubah ruang sengketa dari arena pertarungan menjadi forum deliberasi, yang mana keputusan yang dihasilkan memiliki legitimasi yang kokoh.

VI. DARI JURU BICARA STRATEGIS KE KANALISATOR KEKUATAN KOMUNIKATIF

Tema kelima yang diusung oleh Jürgen Habermas menyoroti peran sentral komunikasi publik dalam demokrasi modern. Ia menolak gagasan kedaulatan rakyat yang abstrak dan menggantinya dengan konsep kebebasan komunikatif warga negara. Dalam pandangannya, ruang publik adalah tempat yang mana isu-isu relevan muncul, informasi dipertukarkan, dan opini publik terbentuk. Pengaruh dari opini ini, melalui interaksi dengan proses formal seperti di parlemen atau pengadilan, kemudian dapat diubah menjadi "kekuatan komunikatif" yang legitim/absah. Advokat, sebagai aktor yang piawai dalam komunikasi, memiliki peran krusial dalam dinamika ini.

Tesis: Advokat sebagai Juru Bicara Strategis

Inilah tesis kita, yang berakar pada pandangan instrumental tentang komunikasi: Advokat adalah juru bicara strategis yang menggunakan ruang publik sebagai alat untuk memenangkan pertempuran hukum. Dalam paradigma ini, komunikasi bukanlah sarana untuk mencari kebenaran atau mencapai konsensus, melainkan senjata untuk membentuk opini publik demi keuntungan klien.

Dalam praktiknya, Advokat yang menangani kasus-kasus besar sering kali merilis pernyataan pers yang dirancang secara strategis. Advokat akan menarasikan fakta-fakta tertentu, menyudutkan lawan, atau bahkan membangun citra positif kliennya di media massa, terlepas dari kebenaran faktualnya. Tujuannya adalah untuk memenangkan "pertempuran" di ruang publik sebelum pertarungan sesungguhnya dimulai di ruang sidang. Dengan demikian, Advokat menggunakan media dan opini publik sebagai instrumen untuk memberikan tekanan pada hakim, jaksa, atau pihak lawan.

Antitesis: Kekuatan Komunikatif dari Ruang Publik

Akan tetapi, demokrasi yang sehat tidak lahir dari manipulasi, melainkan dari proses yang mana "pengaruh" dari diskusi publik berubah menjadi "kekuatan komunikatif" yang otentik. Habermas memberikan uraian yang mendalam tentang hal ini. Ia berpendapat, ruang publik harus berfungsi secara ideal, yang mana komunikasi bersifat inklusif dan selektif. Inklusif berarti setiap warga negara memiliki hak yang setara untuk berpartisipasi dan didengar. Selektif berarti ruang publik harus mampu memobilisasi informasi yang handal, menyaring argumen yang baik, dan mengidentifikasi isu-isu yang paling relevan.

Ketika sebuah isu muncul di ruang publik, misalnya terkait kebijakan lingkungan atau hak-hak pekerja/buruh/buruh migran/pasien Tuberkulosis, hal itu menghasilkan "pengaruh" opini publik yang bersifat difus dan tidak terstruktur. "Pengaruh" ini, kata Habermas, hanyalah tahap awal. Untuk menjadi "kekuatan", ia harus disalurkan melalui proses formasi-opini dan formasi-kehendak yang terorganisir secara formal, yang pertama-tama diwujudkan dalam kompleks parlementer dan yudisial. Melalui interaksi komunikasi publik yang informal dan berdifusi dengan proses formal ini, "kekuatan komunikasi" dihasilkan. Kekuatan ini kemudian diubah, melalui program legislasi-parlemen dan keputusan pengadilan, menjadi kekuasaan administratif.

Ketika seorang Advokat hanya menjadi juru bicara strategis, ia berisiko mengikis kekuatan komunikatif ini. Ia tidak memfasilitasi dialog yang inklusif, melainkan menyajikan narasi yang sepihak. Ia tidak memobilisasi argumen terbaik, melainkan argumen yang paling menguntungkan. Pada akhirnya, Advokat mengubah ruang publik menjadi sekadar alat propaganda, yang merusak fondasi legitimasi demokrasi itu sendiri.

Sintesis: Advokat sebagai Kanalisator Kekuatan Komunikatif

Maka, lahirlah peran baru Advokat sebagai kanalisator kekuatan komunikatif. Ia tidak melihat ruang publik sebagai arena untuk manipulasi, tetapi sebagai sumber legitimasi yang harus dihormati. Perannya adalah menyalurkan "pengaruh" opini publik yang bersifat difus ke dalam proses formasi-opini dan formasi-kehendak yang terorganisir secara formal. Ia memastikan bahwa kekuatan komunikatif yang dihasilkan dari diskursus publik yang inklusif dan selektif dapat diartikulasikan dan diubah menjadi keputusan hukum yang sah.

Dalam praktiknya, peran ini terwujud secara nyata. Advokat-arsitek menggunakan berbagai keahliannya untuk memfasilitasi komunikasi yang sehat. Sebagai konsultan hukum pertambangan atau hukum perusahaan, ia akan menasihati klien untuk tidak hanya mengeluarkan siaran pers yang strategis, tetapi juga secara proaktif membuka ruang dialog dengan komunitas terdampak, serikat pekerja/buruh, atau kelompok/asosiasi masyarakat sipil. Advokat membantu perusahaan menerjemahkan kekhawatiran publik menjadi isu-isu yang dapat dinegosiasikan dan diatasi melalui solusi hukum yang adil, alih-alih menganggapnya sebagai ancaman. Ini adalah proses yang mana "pengaruh" publik yang informal diubah menjadi "kekuatan komunikasi" yang dapat memengaruhi program legislatif dan keputusan pengadilan.

Demikian pula dalam perancangan kontrak pengadaan barang dan jasa, Advokat-arsitek menyadari bahwa legitimasi kontrak tidak hanya datang dari tanda tangan, tetapi dari proses yang transparan. Ia akan menyarankan klien untuk mengkomunikasikan secara terbuka kriteria dan prosedur pengadaan, sehingga publik percaya bahwa proses tersebut adil. Hal ini juga berlaku dalam perancangan kontrak kerja konstruksi, yang mana Advokat-arsitek akan memastikan klausul-klausul yang menjamin hak-hak pekerja dikomunikasikan secara jelas dan disetujui, sehingga menghindari perselisihan hubungan industrial pada masa depan. Peran ini adalah bagian dari upaya Advokat untuk memastikan bahwa "kekuatan komunikasi" dari masyarakat dapat disalurkan secara efektif ke dalam ruang-ruang formal.

Advokat tidak lagi menjadi juru bicara yang hanya mewakili satu kepentingan, melainkan seorang kanalisator yang memastikan bahwa kekuatan komunikatif dari ruang publik yang inklusif dapat diartikulasikan dan disalurkan ke dalam proses hukum dan politik. Ia memastikan, legitimasi hukum tidak hanya lahir dari kekuasaan, tetapi juga dari komunikasi yang adil dan terbuka.

VII. DARI OPERATOR PARADIGMA KE ARSITEK PROSEDUR

Perdebatan tentang keadilan hukum telah lama terjebak dalam persaingan antara dua paradigma yang sepihak: paradigma liberal dan negara kesejahteraan. Paradigma liberal berfokus pada kebebasan individu dan hak milik, menganggap pasar sebagai mekanisme utama untuk mencapai keadilan. Sementara itu, paradigma negara kesejahteraan mencoba mengkompensasi ketidaksetaraan dengan jaminan hak sosial, sering kali melalui birokrasi yang paternalistik. Keduanya, menurut Habermas, gagal karena terlalu sempit memandang otonomi privat dan melupakan hubungan intrinsiknya dengan otonomi publik. Jalan keluar dari kebuntuan ini adalah melalui paradigma prosedural, yang mana keadilan tidak diukur dari hasilnya, melainkan dari proses yang adil. Advokat, dalam konteks ini, harus bertransformasi dari sekadar operator paradigma yang ada menjadi arsitek yang merancang prosedur-prosedur demokratis.

Tesis: Advokat sebagai Operator Paradigma yang Ada

Advokat tradisional bekerja di dalam kerangka paradigma (termasuk paradigma hukum) yang sudah ada. Ia adalah seorang ahli yang mahir menggunakan argumen yang sesuai dengan paradigma tersebut untuk memenangkan kasus kliennya. Ia dapat dengan mudah berganti peran dari pembela kebebasan individu menjadi pejuang hak-hak sosial, tergantung pada kepentingan kliennya. Fleksibilitas ini, meskipun tampak pragmatis, sering kali menandakan ketiadaan komitmen terhadap suatu visi keadilan yang lebih mendalam. Advokat tipe ini melihat hukum sebagai seperangkat alat yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya, bukan sebagai sarana untuk mencapai keadilan yang lahir dari konsensus.

Sebagai contoh, dalam kasus sengketa antara sebuah perusahaan tambang dengan masyarakat adat, Advokat yang mewakili perusahaan akan menggunakan paradigma liberal untuk membela hak kliennya. Ia akan mengajukan argumen bahwa izin konsesi yang sah secara hukum, yang diperoleh dari pemerintah, adalah bentuk hak milik yang harus dihormati. Ia akan berfokus pada pasal-pasal dalam Undang-Undang Pertambangan dan kontrak yang melindungi investasi, serta menentang intervensi negara atau klaim masyarakat yang dianggap mengekang kebebasan pasar. Sebaliknya, jika ia membela masyarakat adat, ia akan menggunakan paradigma negara kesejahteraan untuk menuntut hak sosial masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat dan kompensasi yang layak atas kerusakan yang terjadi. Ia akan mengacu pada pasal-pasal hak asasi manusia dalam konstitusi dan undang-undang yang melindungi hak-hak sosial. Dalam kedua peran ini, Advokat beroperasi sebagai seorang operator, menggunakan alat-alat hukum yang tersedia dalam paradigma yang relevan, tanpa mempertanyakan fondasi paradigma itu sendiri. Perannya terbatas pada penerapan hukum, bukan perancangan ulang sistem.

Antitesis: Jalan Keluar Melalui Paradigma Prosedural

Habermas berpendapat, keadilan sejati tidak terletak pada hasil—kebebasan mutlak dari paradigma liberal atau kesetaraan mutlak dari paradigma negara kesejahteraan—tetapi pada prosedur yang adil. Paradigma prosedural ini tidak berpusat pada individu yang bersaing di pasar atau bergantung pada birokrasi negara, melainkan pada warga negara yang berpartisipasi dalam formasi-opini dan formasi-kehendak. Warga negara tidak dapat menikmati kebebasan yang sama kecuali mereka terlebih dahulu menggunakan otonomi kewargaan mereka untuk menentukan kepentingan dan kriteria penilaian apa yang dibenarkan dalam memutuskan apa yang adil. Keadilan hanya dapat dicapai ketika warga negara secara aktif berpartisipasi dalam perjuangan untuk mendefinisikan apa yang publik, menafsirkan dan menilai kebutuhan mereka sendiri, sebelum legislator dan hakim dapat mengambil keputusan. Ini adalah prasyarat epistemik untuk keadilan, karena dalam masyarakat yang kompleks dengan berbagai kepentingan yang saling bersaing, hanya melalui proses deliberatif yang inklusiflah kita dapat mencapai pemahaman yang adil tentang apa yang adil bagi semua orang.

Sintesis: Advokat sebagai Desainer Prosedur Demokratis

Peran puncak Advokat-arsitek adalah merancang prosedur ini. Ia adalah seorang profesional yang memahami bahwa prosedur yang adil tidak hanya penting dalam persidangan, tetapi juga dalam semua aspek pengambilan keputusan yang berdampak pada publik. Perannya adalah mendesain mekanisme yang memungkinkan "kekuatan komunikatif" dari warga negara dapat mengalir ke dalam sistem hukum, sehingga keputusan yang diambil memiliki legitimasi yang kokoh.

Penerapan peran ini terlihat jelas dalam kasus sengketa antara perusahaan tambang dan masyarakat adat. Alih-alih memilih salah satu paradigma, Advokat-arsitek akan bertindak sebagai desainer prosedur. Ia akan menasihati klien perusahaan untuk tidak hanya mengandalkan izin legal, tetapi juga merancang sebuah prosedur musyawarah yang inklusif dengan masyarakat adat. Prosedur ini bukan sekadar formalitas, melainkan dirancang untuk memberikan ruang bagi masyarakat adat secara aktif mendefinisikan kepentingan mereka terkait lingkungan, budaya, dan mata pencaharian. Advokat-arsitek akan memastikan prosedur ini adil, transparan, dan diakui sebagai forum pengambilan keputusan yang sah, sehingga kesepakatan yang dihasilkan memiliki legitimasi yang kuat. Sengketa hukum ini diubah dari pertarungan hak milik (paradigma liberal) atau tuntutan kompensasi (paradigma negara kesejahteraan) menjadi sebuah proses deliberatif yang mana kedua belah pihak dapat mencapai kesepakatan yang adil.

Peran ini juga tercermin dalam berbagai keahlian lain. Sebagai seorang perancang kontrak pengadaan barang dan jasa, Advokat-arsitek tidak hanya menyusun klausul yang melindungi kepentingan kliennya. Ia merancang prosedur-prosedur di dalam kontrak itu sendiri yang menjamin transparansi, akuntabilitas, dan ruang bagi resolusi konflik yang adil, sehingga perjanjian tersebut tidak hanya sah, tetapi juga memiliki legitimasi prosedural. Demikian pula, dalam hukum perusahaan, Advokat akan membantu merancang prosedur internal yang demokratis, seperti mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang mengutamakan dialog daripada pemaksaan.

Sebagai konsultan hukum di bidang perpajakan, bea dan cukai, perbankan, atau asuransi, Advokat-arsitek juga berperan sebagai perancang prosedur. Ia menasihati kliennya untuk mengadopsi prosedur internal yang transparan, sehingga memitigasi risiko hukum dan, yang lebih penting, membangun kepercayaan publik. Melalui keahliannya sebagai mediator atau asistensi mediator, ia secara langsung merancang prosedur komunikasi yang memastikan semua pihak didengar dan memiliki kesempatan yang setara untuk menyuarakan argumen, sehingga kesepakatan yang dicapai adil dan berkelanjutan.

Advokat-arsitek mengubah pekerjaannya dari sekadar "memenangkan kasus" di bawah paradigma (hukum) yang ada, menjadi Advokat yang "membangun sistem" yang memungkinkan warga negara untuk mendefinisikan keadilan bagi diri mereka sendiri, melalui prosedur yang demokratis dan adil.

VIII. ARSITEK DEMOKRASI DELIBERATIF

Perjalanan argumentatif dari bagian-bagian sebelumnya telah memaparkan sebuah tesis sentral: peran Advokat dalam masyarakat modern harus melampaui peran tradisionalnya. Kita membuka tulisan ini dengan gambaran Advokat sebagai gladiator hukum—seorang profesional yang mahir menggunakan hukum positif (Faktizität) sebagai senjata untuk memenangkan perkara kliennya. Ia adalah teknisi yang bergerak di dalam arena yang sudah ada, tanpa mempertanyakan fondasi legitimasi (Geltung) arena itu sendiri. Namun, kita segera menemukan ketegangan fundamental: kemenangan legal yang mengabaikan rasa keadilan publik akan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri, mengubahnya dari perekat sosial menjadi sekadar alat kekuasaan.

Di sinilah tulisan ini menawarkan sintesis: transformasi peran Advokat dari gladiator menjadi arsitek demokrasi deliberatif. Jika gladiator bertarung di dalam arena, maka arsitek adalah sosok yang turut merancang, membangun, dan memelihara fondasi arena itu sendiri. Ini adalah sebuah visi baru yang tidak hanya berfokus pada kemenangan satu kasus, tetapi pada kesehatan dan integritas seluruh sistem hukum.

Terinspirasi dari 6 (enam) gagasan kunci Jürgen Habermas, tulisan ini telah merakit visi Advokat-arsitek melalui serangkaian transformasi:

  • Bagian III: Dari Teknisi Formal ke Konsultan Legitimasi. Advokat-arsitek tidak hanya memastikan legalitas sebuah tindakan, tetapi juga melegitimasi tindakan tersebut di mata publik, berdiri di persimpangan hukum dan moralitas untuk menasihati klien agar tindakan mereka tidak sekadar sahih secara formal, tetapi juga absah dan adil secara sosial.
  • Bagian IV: Dari Gladiator Hak Menuju Mediator Demokrasi. Ia menyadari bahwa hak-hak individu (otonomi privat) hanya akan kuat jika ia juga mempromosikan otonomi publik—yaitu, hak warga negara untuk berpartisipasi dalam pembentukan hukum. Perannya adalah menjadi mediator yang memastikan kedua otonomi ini saling memperkuat.
  • Bagian V: Dari Gladiator Argumen Menuju Fasilitator Deliberasi. Ia memahami bahwa keputusan yang adil lahir dari proses diskusi yang terbuka dan rasional (fungsi epistemik demokrasi). Di ruang sengketa, ia menjadi fasilitator yang menciptakan kondisi komunikasi yang setara, bukan hanya gladiator yang memenangkan pertarungan argumen.
  • Bagian VI: Dari Juru Bicara Strategis Menuju Kanalisator Kekuatan Komunikatif. Advokat-arsitek tidak menggunakan komunikasi publik sebagai alat manipulasi. Sebaliknya, ia menyalurkan "pengaruh" opini publik yang difus menjadi "kekuatan komunikatif" yang absah/legitim, memastikan aspirasi publik terartikulasi dan disalurkan ke dalam forum hukum formal.
  • Bagian VII: Dari Operator Paradigma Menuju Arsitek Prosedur. Akhirnya, Advokat keluar dari jebakan paradigma liberal dan negara kesejahteraan. Ia tidak lagi sekadar menggunakan aturan yang ada, melainkan menjadi perancang prosedur demokratis yang memungkinkan warga negara mendefinisikan sendiri apa yang adil bagi mereka, sehingga legitimasi hukum lahir dari proses yang partisipatif.

Advokat modern bukan sekadar penegak hukum, melainkan arsitek demokrasi deliberatif. Peran ini lebih dari sekadar tugas profesional tapi sebuah panggilan untuk secara sadar memperkuat fondasi legitimasi yang membuat demokrasi konstitusional dapat berfungsi. Dengan setiap kasus yang ditanganinya, Advokat-arsitek berkontribusi pada proyek demokrasi yang tidak pernah selesai: membangun sebuah sistem hukum yang tidak hanya dapat memaksa kepatuhan, tetapi juga layak mendapatkan pengakuan sukarela dari seluruh warga negara.*



Post a Comment

Post a Comment