-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Desa dan Perhutanan Sosial

Anom Surya Putra

ARKANA~ Kebijakan penggunaan Dana Desa untuk perhutanan sosial melalui BUM Desa tidak berjalan dengan lancar. Praksis kebijakan ini memerlukan kesadaran kolektif bahwa Desa yang di dalamnya terdapat Hutan perlu dilembagakan dalam Desa secara utuh dan tidak memperhadapkan pemerintah Desa dan kelompok masyarakat Desa yang berjuang atau telah memperoleh izin perhutanan sosial. Penggunaan Dana Desa untuk perhutanan sosial terlalu sempit bila dihadapkan pada sistem Desa secara utuh. Gagasan dalam serial tulisan ini merupakan rancang-biru untuk panduan yang implementatif yakni dialektika antara “Menghutankan Desa” dan “Mendesakan Hutan” menjadi “Mendesakan Perhutanan Sosial”. Konsekuensinya, advokasi Desa dan kerjasama Desa berada dalam skala rendah, moderat dan tinggi.

Hasil tulisan ini sebagian dituangkan ke dalam naskah panduan yang bisa diunduh melalui link ini.

Diskoneksi dan Tarik Menarik

Masalah yang dihadapi oleh pemerintahan Desa, Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa), BUM Desa Bersama (BUM Desma), kelompok tani dan pengelola perhutanan sosial teridentifikasi secara mendasar pada level paradigmatik.

Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Desa, Direktorat Jenderal PPMD, Kementerian Desa pada akhir tahun 2020 menyelenggarakan pertemuan (workshop) tentang konflik regulasi tentang hutan, tambang, pesisir dan perkebunan. Tema reforma agraria dan perhutanan sosial menjadi topik perbincangan utama agar Desa bergegas melakukan implementasi kebijakan tersebut. Rekomendasi hasil pertemuan itu belum terlaksana sepenuhnya karena terjadi perubahan struktur organisasi Kementerian Desa PDTT yang berlangsung sepanjang tahun 2020-2021.

Tepat pada tahun 2021 Direktorat Advokasi dan Kerjasama Desa dan Perdesaan, reinkarnasi dari Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Desa pada masa sebelumnya, kembali mengangkat sebagian dari hasil pertemuan workshop konflik regulasi. Isu konflik regulasi antara kebijakan regulasi Desa dan regulasi hutan dipilih terlebih dahulu untuk diperdalam pada tahun 2022 dengan pertimbangan bahwa kebijakan perhutanan sosial lebih cepat terimplementasi di Desa, prioritas Presiden, dan Kementerian Desa PDTT telah menerbitkan kebijakan prioritas penggunaan Dana Desa untuk perhutanan sosial melalui BUM Desa dan BUM Desma. Dari rangkaian dialog yang dilakukan oleh Direktorat Advokasi dan Kerjasama Desa dan Perdesaan baik dialog di Desa maupun dialog bersama Organisasi Non-Pemerintah teridentifikasi persoalan yang mendasar pada hubungan antara kebijakan tentang Desa dan hutan.

Kebijakan tentang Desa dan hutan tidak terkonsolidasi secara utuh atau terjadi diskoneksi. Diskoneksi terjadi antara kebijakan “Menghutankan Desa” dan “Mendesakan Hutan” (Sutoro Eko, t.t.). Dalam praktik kebijakan “Menghutankan Desa” para praktisi kehutanan berupaya melakukan intervensi terhadap Desa tanpa melihat Desa secara utuh sebagai kesatuan masyarakat hukum maupun pemerintahan yang bermasyarakat dan masyarakat yang berpemerintahan, sementara praktisi “Mendesakan Hutan” terlalu fokus mengurus isu pemerintahan Desa, pembangunan Desa, dan kemasyarakatan Desa di kawasan perhutanan tanpa menyentuh hutan secara konkret. Diskoneksi ini berlangsung terus menerus meskipun hutan selalu dekat dengan kehidupan Desa.

Kebijakan “Menghutankan Desa” menegaskan bahwa secara konstitusional hutan merupakan kekuasaan negara, bukan kekuasaan daerah dan apalagi kekuasaan Desa. Di sisi lain Desa maupun organisasi masyarakat adat melakukan advokasi bahwa Hutan Desa dan Hutan Adat merupakan hak milik mereka atau basis kehidupan dan basis penghidupan mereka sebagai warisan leluhur sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia eksis.

Kebijakan “Menghutankan Desa” bersifat sektoral, sentralistik, birokratis, hirarkis dan program/proyek perizinan. Pendekatan sektoral itu tidak sensisitif pada lokalitas, meminggirkan dan melemahkan Desa, menciptakan pemiskinan, ketertinggalan dan pemicu urbanisasi. Cara pandang kebijakan “Menghutankan Desa” didasari bahwa institusi, orang, masyarakat lokal, termasuk Desa identik dengan manusia yang bodoh, rakus dan merusak hutan.

Kebijakan “Menghutankan Desa” menciptakan fragmentasi antara Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan. Hutan Desa dikelola oleh “lembaga Desa” dan Hutan Kemasyarakatan dikelola oleh kelompok masyarakat yang dibentuk secara korporatis. Hutan Desa bersifat residual yakni hutan yang belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan untuk bentuk pengelolaan lain. Desa hanya menerima residu atau sisanya-sisa hutan dari hak kelola baik oleh negara maupun swasta.

Momentum baru ditunjukkan melalui putusan dari kekuasaan yudisial bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012 mengembalikan Hutan Adat dari tangan negara menjadi milik masyarakat hukum adat. Diskusi yang berlangsung di lingkungan Direktorat Advokasi dan Kerjasama Desa dan Perdesaaan justru mengungkap fenomena lain dari aktivis masyarakat adat bahwa Hutan Adat itu masih bertambah lagi prosedur administrasi hukumnya untuk menjadi Hutan Hak sehingga masyarakat adat tidak otomatis menikmati haknya atas Hutan Adat. Momentum baru tersebut mengalami halangan dari sisi administrasi hukum sehingga putusan kekuasaan yudisial tidak serta merta terlaksana untuk menuntaskan hak masyarakat adat secara nyata.

Momentum baru lainnya ditunjukkan dengan terbitnya UU No. 6/014 tentang Desa yang menegaskan eksistensi Desa dan Desa Adat, sistem pemerintahan dan tata kelola Desa, kewenangan Desa (kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berskala Desa, kewenangan penugasan dari pusat ke Desa, dan kewenangan penugasan lain), aset Desa, keuangan Desa, pembangunan Desa, perencanaan dan penganggaran Desa. Misi besar dari UU Desa adalah membangun Desa yang kuat, maju, mandiri dan demokratis sebagai landasan yang kokoh untuk pencapaian kesejahteraan rakyat. Diskursus normatif UU Desa memang belum secara eksplisit mengatur “Hutan Desa” untuk segera direbut Desa agar beralih menjadi hak milik Desa”. Diskursus normatif UU Desa baru menegaskan bahwa “Hutan Milik Desa” menjadi salah satu Aset Desa, namun demikian pengaturan tentang “Hutan Milik Desa” itu mengandung pesan-pesan advokasi di masa depan untuk “Mendesakan Hutan Desa”.

Dalam kebijakan Desa yang dilegitimasi UU Desa maka Desa harus dipandang secara utuh, tak terkecuali dalam pertautannya dengan perhutanan sosial. Desa bukan sekadar masyarakat, wilayah administratif, pemerintah Desa, kepala Desa dan bahkan bukan sekedar “lembaga Desa” seperti yang dianut oleh aturan hukum kehutanan. Posisi pemerintah Desa dan masyarakat Desa sudah tidak tepat untuk diperhadapkan. Desa adalah entitas hukum, sosial dan politik, seperti “negara kecil” yang memiliki wilayah, kekuasaan, pemerintahan, kewenangan, rakyat, masyarakat dan sumberdaya.

Diskursus pragmatis kebijakan pada tahun 2019 telah berupaya mengurangi diskoneksi antara kebijakan “Menghutankan Desa” dan “Mendesakan Hutan”. Kebijakan prioritas penggunaan Dana Desa untuk perhutanan sosial diterbitkan sebagai salah satu opsi kebijakan bagi Desa, meskipun perhutanan sosial tidak berbasis Desa tetapi berbasis Hutan Desa. Isu kebijakan penggunaan Dana Desa untuk perhutanan sosial pada tahun 2022 juga diandaikan dapat berjalan dengan cepat di Desa, tetapi senyatanya masih belum dijumpai praktik yang mengemuka perihal modal BUM Desa yang digunakan untuk kerjasama usaha dengan pengelola perhutanan sosial.

Isu kebijakan penggunaan Dana Desa untuk perhutanan sosial akhirnya terlalu sempit dibandingkan dengan diskursus normatif UU Desa yang mengalir mulai dari kewenangan, perencanaan, penganggaran dan agenda advokasi di masa depan.

Daftar Kewenangan

Faktor penyebab masalah minimnya penggunaan keuangan Desa unuk perhutanan sosial adalah Daftar Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa yang belum melembagakan pengelolaan perhutanan sosial.

Perhutanan sosial belum sepenuhnya terlegitimasi secara legal dalam Daftar Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa. Penyusunan peraturan Desa tentang Daftar Kewenangan mayoritas dilakukan secara cepat dan meniru (copy paste) dari suatu rancangan aturan yang bersifat umum (template), sehingga Desa yang di dalam wilayahnya terdapat hutan tidak melembagakan perhutanan sosial sebagai bagian dari kerangka pengaturan Daftar Kewenangan.

Kebijakan perhutanan sosial yang tidak masuk ke dalam Daftar Kewenangan berakibat pada perhutanan sosial gagal menjadi otoritas, milik dan tanggung jawab Desa, sehingga Desa tidak berkesadaran untuk kuat dan mandiri dalam mengelola hutan.

Kebijakan perhutanan sosial belum sepenuhnya pula terlembagakan sebagai salah satu tugas atau kewenangan yang dilegitimasi dengan peraturan bupati tentang kewenangan Desa, sehingga perhutanan sosial belum menjadi konsensus antara pemerintah daerah dan Desa.

Musyawarah Desa juga sangat minim membahas dan menyepakati pengelolaan perhutanan sosial sehingga agenda perhutanan sosial tidak masuk ke dalam perencanaan dan penganggaran Desa.

Perencanaan Desa bersifat tunggal dengan wadah RPJM Desa dan RKP Desa tetapi agenda perhutanan sosial belum masuk ke dalam wadah tersebut.

Perencanaan Desa pada hakekatnya bukan mengusulkan program dan rencana anggaran ke atas (pemerintah pusat) tetapi mengambil keputusan lokal. Apabila pola perizinan usaha perhutanan sosial masih berorientasi ke atas (pemerintah pusat), maka pengambilan keputusan lokal-kolektif di Desa dipastikan minim terkait pengelolaan perhutanan sosial.

RPJM Desa masih minim dilakukan perubahan agar melembagakan perhutanan sosial sebagai bagian dari pengambilan keputusan lokal tentang perencanaan dan penganggaran Desa.

Dana Desa dari APBN maupun Alokasi Dana Desa dari APBD merupakan hak Desa yang dianggarkan ke dalam APB Desa. Agenda perhutanan sosial selama ini belum sepenuhnya terlembagakan ke dalam APB Desa, sehingga institusi BUM Desa maupun institusi Desa lainnya tidak terkonsolidasi untuk mengelola perhutanan sosial pada skala lokal Desa.

Aktor Perhutanan Sosial di Desa

Faktor penyebab masalah minimnya penggunaan keuangan Desa unuk perhutanan sosial adalah aktor perhutanan sosial di Desa masih didominasi oleh kelompok masyarakat di Desa atau lembaga Desa tertentu daripada Desa secara utuh.

Subjek pemohon izin perhutanan sosial adalah kelompok masyarakat di Desa dan bukan kelompok masyarakat yang dilegitimasi secara legal sebagai salah satu jenis lembaga kemasyarakatan Desa.

Kerangka pengaturan tentang perhutanan sosial pada tahun 2021 memang telah membuka peluang bagi BUM Desa untuk ikut serta dalam perhutanan sosial tetapi tidak semua BUM Desa tertarik untuk bekerjasama dengan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan lainnya. Aktor perhutanan sosial di Desa seperti BUM Desa masih menilai bahwa urusan mengatur dan mengurus sumber kehidupan-penghidupan masyarakat Desa di hutan itu belum tentu untung, takut rugi, ilegal, takut dihukum dan lebih baik menunggu perintah dari pemerintah supra-Desa.

Rangkaian dialog yang diselenggarakan Direktorat Advokasi dan Kerjasama Desa dan Perdesaan telah mengidentifikasi aktor pemangku kepentingan (stakeholder) dan aktor kerjasama usaha (shareholder) perhutanan sosial:

  • Aktor pemangku kepentingan (stakeholder) perhutanan sosial di Desa teridentifikasi lebih luas yakni mencakup pemerintah Desa, BPD, lembaga adat Desa, kelompok tani, kelompok tani hutan, kelompok wanita tani di Desa, pendamping Desa (terutama Pendamping Desa dan Pendamping Lokal Desa), pendamping perhutanan sosial, pendamping UMKM, KUPS, kelompok sadar wisata, dan BUM Desa.
  • Aktor kerjasama usaha perhutanan sosial (shareholder) yang berpotensi untuk berbagi modal dan berbagi hasil meliputi perusahaan sawit, Perhutani, perusahaan pertambangan, pembeli produk dari hasil perhutanan sosial (offtaker) dan korporasi lain yang terbuka untuk melakukan kerjasama Desa dan/atau penguatan kerjasama usaha BUM Desa dan KUPS.
  • Kerangka kepengaturan (regulatory framework) perhutanan sosial yang berdesa memerlukan konsolidasi antara aktor pemangku kepentingan dan aktor kerjasama usaha.

Panduan Penggunaan Dana Desa untuk Perhutanan Sosial

Direktorat Advokasi dan Kerjasama Desa dan Perdesaan, Kementerian Desa PDTT, berprakarsa untuk menyusun panduan yang memudahkan penggunaan Dana Desa untuk perhutanan sosial. Panduan tersebut awalnya bertujuan untuk memberikan informasi kepada aktor baru perhutanan sosial di Desa tentang cara penggunaan Dana Desa untuk perhutanan sosial.

Tujuan panduan itu cenderung terlalu sempit karena selama dialog yang diselenggarakan oleh Direktorat Advokasi dan Kerjasama Desa dan Perdesaan, Kementerian Desa PDTT, terdapat aspirasi tentang advokasi dalam konteks “Menghutankan Desa”, “Mendesakan Hutan”, dan “Mendesakan Perhutanan Sosial”.

Pemerintahan Desa dan masyarakat Desa pada prinsipnya memerlukan ketepatan dan kecepatan dalam implementasi keuangan Desa untuk perhutanan sosial, sehingga tujuan panduan diidentifikasi ulang dalam kerangka advokasi skala rendah, moderat dan tinggi.

RENDAH: Direktorat Advokasi dan Kerjasama Desa dan Perdesaan menjalankan kewenangannya untuk memberikan fasilitasi dan coaching clinic terhadap kerjasama usaha antara BUM Desa dan kelompok masyarakat pengelola perhutanan sosial yang telah mendapat izin perhutanan sosial.Pada skala lokal Desa tetap dilaksanakan agenda “Menghutankan Desa” dengan menggunakan perangkat kewenangan pengelolaan perhutanan sosial yang didukung dengan perencanaan dan penganggaran Desa untuk BUM Desa/BUM Desma. Penyertaan modal Desa kepada BUM Desa/BUM Desma ditujukan untuk melakukan kerjasama usaha antara BUM Desa/BUM Desma dan kelompok masyarakat pengelola perhutanan sosial yang telah mendapat izin perhutanan sosial.

Pemerintah daerah dan pihak ketiga dari luar Desa berperan memfasilitasi BUM Desa dan kelompok masyarakat pengelola perhutanan sosial yang telah mendapat izin perhutanan sosial.

MODERAT: Direktorat Advokasi dan Kerjasama Desa dan Perdesaan menjalankan kewenangannya untuk memberikan fasilitasi dan coaching clinic terhadap Desa yang belum melembagakan perhutanan sosial sesuai sumber kehidupan-penghidupannya melalui perubahan terhadap Daftar Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa, serta perubahan RPJM Desa, sambil terus mengupayakan dialog komunikatif untuk memperbaiki skema perhutanan sosial agar lebih terdesenralisasi kepada pemerintah daerah dan mendekatkan akses Desa secara utuh untuk memperoleh hak kelola.Pada skala lokal Desa tetap dilaksanakan agenda “Menghutankan Desa” dengan melakukan perubahan peraturan di Desa tentang Daftar Kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa, RPJM Desa, RKP Desa dan APB Desa yang melembagakan perhutanan sosial, termasuk tapi tidak terbatas pada penyertaan modal Desa kepada BUM Desa/BUM Desma, untuk proses perolehan izin perhutanan sosial.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah melakukan perubahan terhadap skema administrasi hukum Hutan Adat, Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan agar terdesentralisasi kepada pemerintah daerah, tetap disertai dengan supervisi, dan jalur administrasi hukum yang lebih pendek dan cepat bagi Desa untuk memperoleh hak kelola.

TINGGI: Direktorat Advokasi dan Kerjasama Desa dan Perdesaan bersama seluruh unit kerja di lingkungan Kementerian Desa PDTT menjalankan prinsip rekognisi-subsidiaritas dalam UU Desa agar Hutan Adat dan Hutan Desa ditetapkan menjadi hak milik Desa Adat dan hak milik Desa.Pada skala lokal Desa jika Hutan Adat dan Hutan Desa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat setempat tidak perlu izin kepada negara, tetapi jika Hutan Adat dan Hutan Desa melibatkan kepentingan investasi dan modal besar, maka harus memperoleh izin dari negara.Pemerintah daerah memfasilitasi hingga menetapkan status atau kedudukan Desa Adat terhadap kesatuan masyarakat adat sesuai UU Desa. Desa Adat merupakan pilihan yang lebih maju untuk memastikan kewenangan, pemerintahan, pembangunan, perencanaan, penganggaran, termasuk pengaturan dan pengurusan Hutan Adat.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah membebaskan Desa-desa yang tidak berdaulat (tidak memiliki wilayah definitif) dari kantong-kantong hutan, kebun maupun taman nasional.

Pertimbangan advokasi yang berskala rendah, moderat dan tinggi tersebut mengubah arah panduan ini yang semula tertuju pada penggunaan Dana Desa untuk perhutanan sosial menjadi panduan advokasi dan kerjasama Desa untuk perhutanan sosial. Tujuan panduan advokasi dan kerjasama Desa untuk perhutanan sosial berada pada skala rendah dan moderat yang mana akan meletakkan fundasi bagi agenda advokasi skala tinggi:

  • menginformasikan kepada Desa, BUM Desa, BUM Desma dan/atau KUPS tentang cara melakukan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa yang fokus pada kerja sama usaha untuk mengoptimalisasi pengelolaan hutan dan perhutanan sosial, yang akan menghasilkan produk unggulan di Desa dan/atau kawasan perdesaan.
  • menginformasikan kepada kementerian/lembaga, institusi pemerintahan daerah, organisasi non-pemerintah, dan korporasi swasta yang akan melakukan fasilitasi, regulasi, dan intervensi-pendanaan yang dibutuhkan oleh Desa, BUM Desa, BUM Desma dan/atau KUPS yang melakukan berbagai jenis usaha dalam perhutanan sosial.

Tindakan Komunikatif di Desa

Pemerintahan Desa dan masyarakat Desa pada prinsipnya memerlukan ketepatan dan kecepatan dalam implementasi keuangan Desa untuk perhutanan sosial, sehingga tujuan panduan diidentifikasi ulang dalam kerangka advokasi skala rendah, moderat dan tinggi. Bagian tulisan ini menguraikan secara ringkat tentang variasi antara skala advokasi tersebut dalam bentuk tahapan tindakan komunikatif di Desa.

Isi panduan advokasi dan kerjasama Desa untuk perhutanan sosial pada konteks advokasi skala rendah adalah menginformasikan kepada Desa bahwa Dana Desa (keuangan Desa dalam pengertian sempit) bisa digunakan untuk penyertaan modal kepada BUM Desa, dan selanjutnya digunakan untuk melakukan kerjasama usaha dengan organisasi kelompok masyarakat yang telah memperoleh izin perhutanan sosial, sebagaimana terdapat dalam fakta penetapan perhutanan sosial (seluas 782.157 ha per tahun 2022) berikut ini.

Surat Keputusan Menteri LHK NO. SK-287/Menlhk/Setjen/PLA.2/4/2022, 15 April 2022, yang telah menetapkan Kawasan Hutan Pengelolaan Khusus (KHDPK) seluas 1.103.943 Ha yang terdiri atas:

  • Perhutanan sosial (782.157 Ha) yang di dalamnya terdapat IPHPS (33.159 Ha), Kulin KK Definitif (212.062 Ha), PIAPS Indikatif (536.385 Ha), dan Hutan Adat (561 Ha);
  • Penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan (17.276 Ha);
  • Penggunaan kawasan hutan (30.808 Ha);
  • Rehabilitasi Hutan (81.348 Ha);
  • Perlindungan Hutan (166.470 Ha); dan
  • Pemanfaatan Jasa Lingkungan (25.884 Ha).

Capaian kebijakan perhutanan sosial sampai dengan 1 September 2022 yang realisasinya 5.077.086,80 Ha pada kurang lebih 1.115.678 KK dan 7.678 Unit SK Ijin/Hak, terdiri atas:

  • Skema Hutan Desa 2.013.017,21 Ha dengan  jumlah SK 1.177 unit;
  • Skema Hutan Kemasyarakatan 916.414,60 Ha dengan jumlah SK 2.001 unit;
  • Skema Hutan Tanaman Rakyat 355.185,08 dengan jumlah SK 2.997 unit;
  • Skema Kemitraan Kehutanan KULIN KK 571.622,38 Ha dengan jumlah SK 1.120 unit;
  • Skema Kemitraan Kehutanan IPHPS 34.789,79 Ha dengan jumlah SK 95 unit;
  • Skema Hutan Adat 1.196.725,01 Ha dengan jumlah SK 89 unit (penetapan Hutan Adat 75.802 Ha dan indikatif hutan adat 1.091.109 ha).

Panduan tersebut akan menghadapi masalah data tentang posisi BUM Desa di wilayah skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, dan kemitraan kehutanan KULIN KK karena data perhutanan sosial tidak berbasis Desa. Alternatif kebijakan yang dilakukan oleh Direktorat Advokasi dan Kerjasama Desa dan Perdesaan adalah mengusulkan perubahan dan/atau penambahan kuisioner data Indeks Desa Membangun (IDM) yang fokus pada sumber kehidupan-penghidupan masyarakat Desa terhadap hutan di wilayah Desa tersebut.

Isi panduan dalam kerangka advokasi skala moderat menginformasikan kepada Desa tentang pentingnya Desa untuk melembagakan skema perhutanan sosial ke dalam regulasi Desa.

Pertama, Peraturan Desa perubahan tentang Daftar Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa, terutama pelembagaan Hutan Desa dan Hutan Adat.

Kedua, Peraturan Desa perubahan tentang RPJM Desa, termasuk pelembagaan Hutan Desa untuk perdagangan karbon dan Hutan Adat/Hak

Ketiga, Peraturan Desa tentang APB Desa. Tindakan skala Rendah dilakukan melalui klasifikasi Belanja Penyertaan Modal kepada BUM Desa (6.2.2.). Tindakan skala Moderat dilakukan melalui Klasifikasi Belanja Penyertaan Modal kepada BUM Desa (6.2.2.), Klasifikasi Belanja Bidang Pelaksanaan Pembangunan Desa dan Sub-bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup (2.5), serta Pelatihan/Sosialisasi/Penyuluhan/Penyadaran tentang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2.5.03). Tindakan pada Skala Tinggi dilakukan melalui Klasifikasi Belanja Penyertaan Modal kepada BUM Desa (6.2.2.) dan Klasifikasi Belanja Bidang Pelaksanaan Pembangunan Desa, Sub-bidang: Kehutanan dan Lingkungan Hidup (2.5), Pengelolaan Hutan Milik Desa (2.5.01), Pengelolaan Lingkungan Hidup Desa (2.5.02), Pelatihan/Sosialisasi/Penyuluhan/Penyadaran tentang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2.5.03). 

Posisi BUM DESA dan BUM DESMA

Implementasi penggunaan Dana Desa untuk penyertaan modal BUM Desa dalam menjalankan jenis-jenis usaha dalam skema perhutanan sosial masih sulit ditemukan dan belum terdapat data yang terkonsolidasi. Ini disebabkan karena BUM Desa/BUM Desma yang berada di Desa/Kawasan Perdesaan yang di dalamnya terdapat hutan belum sepenuhnya memahami kebijakan perhutanan sosial yang berpeluang menjadi jenis usahanya. Di lain pihak organisasi kelompok masyarakat yang aktif dalam perhutanan sosial belum memahami bahwa Dana Desa bisa digunakan untuk perhutanan sosial sejak tahun 2019.

Dana Desa yang mengalir kepada BUM Desa pada tahun 2019 secara faktual berhasil digunakan untuk mengelola perhutanan sosial, tetapi kesalahpahaman tentang term hukum “Unit Usaha” pada aktor BUM Desa setempat berakibat pada Kelompok Pengelola Hutan Desa (baca: KUPS) menjadi “Unit Usaha BUM Desa” (Laksemi,2019). BUM Desa dan kelompok tani pengelola Hutan Desa mengalami kontradiksi karena masing-masing mempunyai norma kelembagaan tersendiri (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) sehingga berakibat tidak ada pembagian kerja, kewajiban dan hak yang operasional. Ketika terjadi kasus penyalahgunaan lahan semisal praktik pertanian bunga di dalam Hutan Desa maka BUM Desa belum bisa menindak tegas perilaku tersebut.

Selain itu term “Unit Usaha” secara yuridis berarti BUM Desa membentuk badan usaha (berbentuk badan hukum perseroan terbatas) dengan komposisi modal yang dikuasai oleh BUM Desa, sedangkan kelompok tani pengelola hutan Desa bukanlah badan usaha yang berada pada lingkup term “Unit Usaha” BUM Desa tersebut, dan apalagi, belum tentu ada modal 51% BUM Desa lebih pada KUPS tersebut. Fenomena empiris ini bila diinformasikan secara normatif dan evaluatif, maka KUPS tidak mengalami peningkatan status badan usaha menjadi BUM Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 Permen LHK a quo tetapi justru KUPS menjadi “Unit Usaha BUM Desa” yang fiksi dan gagal bekerjasama satu sama lain.

Usaha Perhutanan Sosial telah menjadi mata pencaharian utama bagi kelompok tani (Puspitasari et.al.,2019). Besaran pendapatan usaha pada sebagian kelompok Perhutanan Sosial antara Rp 25.000.000,00 sampa dengan Rp 75.000.000,00 per bulan, dan bahkan bisa lebih. Berbeda dengan informasi-empiris sebelumnya, BUM Desa dan kelompok tani ini mengelola usaha Perhutanan Sosial masing-masing sesuai dinamika kelembagaannya.

Studi Ekonomi Pertahanan di Desa Pantai Bakti, Muara Gembong, Bekasi, misalnya, menyatakan bahwa antara BUM Desa dan kelompok tani “Mina Bakti” satu sama lain bergerak pada jenis usaha yang berbeda meskipun Desa Pantai Bakti merupakan lokasi usaha Perhutanan Sosial. Usaha tambak yang dikelola oleh kelompok tani belum terpadukan melalui kerjasama usaha antara kelompok tani dan BUM Desa, termasuk penanaman mangrove untuk menjaga lingkungan juga belum menjadi prakarsa bersama. Fenomena empiris ini bila diinformasikan secara normatif dan evaluatif, maka KUPS tidak harus meningkat status badan usahanya sebagai BUM Desa, tetapi yang diperlukan adalah kemampuan BUM Desa untuk mempunyai kemampuan keuangan yang stabil agar penyertaan modal dari Desa dan/atau masyarakat Desa bisa menjadi modal untuk kerjasama usaha dengan kelompok tani.

Pendampingan Teknis (Coaching Clinic): Proyeksi Kerjasama Usaha 

Kementerian Desa PDTT menerbitkan kebijakan tentang legalitas penggunaan Dana Desa untuk pemanfaatan potensi wilayah hutan dan optimalisasi perhutanan sosial cq. Bab II Huruf B Pemulihan Ekonomi Nasional Sesuai Kewenangan Desa dalam Permendesa PDTT No. 8 Tahun 2022 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2023.

Aturan kebijakan ini secara teknokratik mengatur salah satu prioritas penggunaan Dana Desa untuk pengembangan usaha dan/atau unit usaha BUM Desa dan/atau BUM Desa Bersama yang difokuskan pada pembentukan dan pengembangan produk unggulan Desa dan/atau produk unggulan kawasan perdesaan, antara lain: pengelolaan hutan Desa, pengelolaan hutan adat, dan lain sebagainya.

Salah satu opsi kebijakan yang tersedia adalah membuka peluang bagi BUM Desa untuk berperan sebagai salah satu mitra usaha untuk pengelolaan Perhutanan Sosial.

BUM Desa harus mempunyai kecukupan modal yang bersumber dari APB Desa, khususnya Dana Desa, dan mempunyai laporan keuangan yang sehat pada periode 2 (dua) tahun terakhir sebelum pengajuan-diri sebagai calon mitra usaha dalam skema kerja sama usaha Perhutanan Sosial.

Fenomena kebijakan tersebut secara normatif diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 9/2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. Aturan kebijakan ini secara normatif melaksanakan norma delegatif pada Pasal 247 PP No. 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, dan membuka peluang bagi BUM Desa dengan ketentuan sebagai berikut:

  • Penguatan kapasitas kelembagaan KUPS yang mana salah satunya menyatakan bahwa peningkatan status badan usaha KUPS dapat berupa pembentukan koperasi atau BUM Desa (Pasal 118 Peraturan Menteri LHK a quo).
  • BUM Desa terkategori sebagai mitra usaha dalam kerja sama usaha Perhutanan Sosial (Pasal 144 Peraturan Menteri LHK a quo)
  • BUM Desa terkategori sebagai calon mitra usaha Perhutanan Sosial, bersama-sama dengan calon mitra usaha dari unsur perorangan, koperasi, BUMD, BUMN, BUMS, yang disyaratkan mempunyai laporan keuangan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terakhir dengan kategori baik (Pasal 145 Peraturan Menteri LHK a quo)
  • BUM Desa terbuka peluang untuk menyusun naskah kerja sama pengembangan usaha dengan cara bahwa BUM Desa (sebagai salah satu kategori subjek mitra usaha) mengajukan permohonan kerja sama usaha kepada KPS/KUPS, KPS/KUPS meminta persetujuan dari kepala UPT, dan KPS/KUPS dan mitra usaha membuat naskah kerjasama usaha (Pasal 146 Permen LHK a quo).

Syarat khusus yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 9/2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial itu menekankan bahwa laporan keuangan BUM Desa dalam dua tahun terakhir dalam kategori baik. BUM Desa disyaratkan mempunyai laba yang cukup untuk membiayai jenis-jenis usaha dalam perhutanan sosial.

Isi panduan advokasi dan kerjasama Desa untuk perhutanan sosial ini lebih tepat tertuju pada pendampingan teknis (coaching clinic) kepada BUM Desa agar memenuhi syarat tersebut, dengan cara memastikan:

  • Jenis usaha yang terkait dengan usaha perhutanan sosial dalam Peraturan Desa tentang Pendirian BUM Desa termasuk Lampiran Anggaran Dasar BUM Desa
  • Peraturan Kepala Desa tentang Anggaran Rumah Tangga BUM Desa
  • Rencana Program Kerja BUM Desa yang menambahkan pola kerjasama usaha, rencana perjanjian kerjasama usaha, proyeksi keuangan (neraca, laba/rugi, arus kas, penghitungan investasi) tentang perhutanan sosial.

Kebijakan tentang Desa, Dana Desa dan perhutanan sosial telah tersedia namun belum disertai panduan advokasi dan kerjasama Desa yang berorientasi coaching clinic. Proses pendampingan yang dijalankan oleh struktur organisasi pendamping Desa dan pendamping perhutanan sosial masih berjalan sendiri sesuai protokol masing-masing, sehingga isi panduan ini penting untuk dipahami dan menjadi inspirasi bagi dua kekuatan pendampingan Desa dan perhutanan sosial.

Isi panduan lebih tepat bersifat teknis tanpa meninggalkan aspek edukasi, fasilitasi dan asistensi terhadap BUM Desa dan organisasi masyarakat pengelola perhutanan sosial. Panduan tersebut mengajak BUM Desa dan organisasi masyarakat pengelola perhutanan sosial untuk menatap masa depan, minimal pada durasi tiga puluhan tahun masa berlaku izin usaha perhutanan sosial, menyingkirkan hambatan administrasi hukum, fasilitasi kerjasama, dan memotivasi para pihak tersebut untuk menyadari tujuan kolektifnya di Desa.

Musyawarah Desa

Advokasi berskala rendah mensyaratkan prosedur demokrasi lokal bahwa kegiatan usaha BUM Desa dan/atau BUM Desma tersebut dijalankan sesuai kewenangan Desa dan diputuskan dalam Musyawarah Desa. Dengan demikian BUM Desa dan/atau BUM Desma secara normatif absah dan sahih untuk mengelola pemanfaatan potensi wilayah hutan dan optimalisasi perhutanan sosial, dan bahkan, pengelolaan hutan yang menjadi sumber Tanah Objek Reforma Agraria untuk program kesejahteraan masyarakat.

Advokasi berskala moderat mensyaratkan Musyawarah Desa yang membahas perubahan peraturan di Desa tentang daftar kewenangan dan RPJM Desa yang melembagakan perhutanan sosial.

BPD memegang peran penting sebagai aktor demokrasi deliberatif agar semua aktor perhutanan sosial masuk ke dalam sistem Berdesa

Penutup

Aturan kebijakan yang bersifat normatif baik aturan kebijakan yang diterbitkan oleh Kementerian Desa PDTT maupun Kementerian LHK, tentu mempunyai kehendak baik untuk memperbaiki (the will to improve), namun memerlukan dialog untuk memperoleh pemahaman timbal-balik tentang kesiapan BUM Desa dan/atau BUM Desma untuk melakukan kerjasama usaha perhutanan sosial. Kerjasama usaha perhutanan sosial paling efisien dilakukan oleh BUM Desa/BUM Desma setelah izin perhutanan sosial diperoleh para pelaku perhutanan sosial.

Faktanya, perolehan izin tersebut juga memerlukan biaya dan waktu yang sementara ditanggung oleh organisasi kelompok masyarakat petani, sehingga perlu dipertimbangkan bahwa kerjasama usaha tersebut mencakup sebelum dan sesudah perolehan izin. Dengan demikian BUM Desa/BUM Desma terlibat sejak awal melakukan konsolidasi dengan organisasi kelompok masyarakat petani yang aktif di skala lokal Desa.

Salah satu opsi kebijakan yang mempertimbangkan kerangka waktu dan perjuangan-pengakuan kewenangan Desa dalam mengelola hutan adalah memulai langkah yuridifikasi (juridification). Yuridifikasi merupakan langkah-langkah hukum yang tumbuh dari perspektif keilmuan sosiologi hukum. Salah satu langkah yuridifikasi adalah yuridifikasi yang dimaknai sebagai legal framing.

Yuridifikasi bertujuan meningkatkan kecenderungan untuk memahami diri sendiri dan orang lain, saling-memahami, hubungan antara pemahaman-diri dan orang lain, atau pemahaman timbal-balik dalam tatanan hukum kolektif. Yuridifikasi ini mengandaikan diri dan orang lain sebagai subjek hukum, sebagai badan hukum, dan melekatkan makna atas tindakannya pada hukum. Masing-masing individu, kelompok, dan masyarakat mempunyai misi sebagai subjek pencipta hukum dan sekaligus subjek penerima hukum.

Dalam konteks diskoneksitas dan tarik menarik antara kebijakan perhutanan sosial dan kebijakan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa, yuridifikasi tidak memperdebatkan status-legalitas antar peraturan kebijakan yang mengatur Hutan Desa atau Hutan Milik Desa, serta mengunggulkan antara BUM Desa dan/atau BUM Desma dibandingkan kelompok tani dan/atau KUPS. Satu sama lain, baik institusi kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, institusi Desa, kelompok masyarakat tani pengelola hutan dan KUPS, sama-sama merupakan subjek pencipta hukum dan subjek penerima hukum tentang perhutanan sosial yang dikelola dengan menggunakan sistem UU Desa.

Yuridifikasi pada konteks institusi Desa dan perhutanan sosial akan memicu kerangka hukum yang lebih longgar, dengan mengakui ekspresi-ekspresi Kepala Desa, Pemerintah Desa, BUM Desa, BUM Desma, dan kelompok petani pengelola hutan dalam lingkup kebijakan perhutanan sosial. Hasil yuridifikasi diutamakan berada pada tataran praksis komunikatif yang bermula dari Desa, melalui diferensiasi tindakan pengelolaan hutan, konflik dan resolusi konflik pengelolaan hutan, hingga keputusan yudisial (kekuasaan peradilan) yang lebih adil terhadap individu pengelola hutan, dan pembentukan prinsip-prinsip baru tentang pengelolaan hutan Desa, hutan milik Desa dan hutan milik Desa Adat. Pemahaman-diri dan orang lain baik pada skala Desa dan aparatus negara hutan diandaikan mengalami konsensus yang rasional-komunikatif.

Perdebatan mengenai kesahihan peraturan kebijakan Desa dan perhutanan sosial tetap terbuka didiskusikan dalam pra-kondisi implementasi, namun secara sederhana, konsensus pada lokalitas-Desa tetap diutamakan yakni kapasitas Desa secara utuh untuk memfasilitasi kerjasama antara Pemerintah Desa dan KUPS, atau institusi BUM Desa melakukan kerjasama usaha dan kerjasama non-usaha dengan kelompok tani pengelola hutan dan/atau KUPS tanpa harus mendirikan Unit Usaha --yang membutuhkan kalkulasi modal (laba ditahan) cukup besar dan hanya bisa dikeluarkan setelah beberapa tahun laporan posisi keuangannya stabil. BUM Desa dan/atau BUM Desma dan kelompok tani dan/atau KUPS, lebih memerlukan advokasi dalam tempo berjangka pendek, melalui skema-skema coaching clinic, fasilitasi, dialog dan terutama kalkulasi sederhana untuk menopang kerja sama usaha di antara aktor baru perhutanan sosial yang berdesa.(*)

Post a Comment

Post a Comment