![]() |
| Anom Surya Putra (Kuasa Hukum Termohon/KPU Bangka) |
ARKANA~ Putusan Mahkamah Konstitusi selalu lebih dari sekadar teks. Ia adalah percakapan yang menyingkap jalinan antara norma dan fakta, antara hukum tertulis dan kenyataan sosial. Jürgen Habermas, dalam Between Facts and Norms (1996), menegaskan: norma hukum tidak pernah bisa menerapkan dirinya sendiri. Norma hukum memperoleh arti konkret hanya ketika berjumpa dengan fakta. Fakta, pada gilirannya, hanya menjadi “kasus” ketika dipahami dalam terang norma.
Namun perjumpaan itu tidak terjadi dalam ruang hampa. Hakim selalu bergerak dari sebuah pra-pemahaman (preunderstanding) yang awalnya kabur lalu semakin artikulatif ketika norma dan keadaan saling mengisi. Pra-pemahaman itu dibentuk oleh tradisi etis dan yurisprudensi yang hidup, yang Habermas sebut sebagai Wirkungsgeschichte (sejarah yang efektif). Dari sanalah prinsip-prinsip hukum lahir dan memperoleh legitimasi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 332/PHP.BUP-XXIV/2025 tentang sengketa hasil Pemilihan Bupati Bangka adalah cermin nyata proses hermeneutika itu. Dalil tentang ijazah Paket C, tanda tangan palsu, politik uang, dan selisih suara diuji dengan norma Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU No. 10/2016). Dalam dialog ini, norma memperoleh makna, fakta diposisikan, dan akhirnya percakapan hermeneutik ditutup oleh Mahkamah dengan kepastian hukum.
Kedudukan Hukum sebagai Pra-Pemahaman
Mahkamah membuka pertimbangan dengan menegaskan, terhadap eksepsi Termohon dan Pihak Terkait mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, Mahkamah akan mempertimbangkannya terlebih dahulu karena menyangkut syarat formil permohonan.
Kedudukan hukum adalah pintu awal. Menurut Pasal 158 UU 10/2016, hanya pasangan calon dengan selisih suara tertentu yang berhak menggugat. Norma ini tidak bisa menafsirkan dirinya sendiri tapi memperoleh makna hanya ketika bertemu dengan fakta selisih suara di Bangka.
Dalam kerangka Habermas, Mahkamah bergerak dari pra-pemahaman yang telah terbentuk dalam tradisi putusan sebelumnya: bahwa Pasal 158 adalah filter konstitusional. Dari pra-pemahaman ini, norma dan keadaan saling menjelaskan, membentuk kasus bahwa Pemohon berada di luar pagar.
Bayangan Ijazah Paket C: Norma yang Tidak Terkaya Fakta
Dalil-dalil Pemohon mencoba menembus pagar dengan dalil tentang ijazah Paket C milik Rato Rusdiyanto. Mereka mendalilkan adanya surat keterangan ganda, ketiadaan pengesahan Dinas Pendidikan, hingga identitas yang tidak tercatat di sistem DAPODIK dan NISN.
Mahkamah menegaskan, dalil Pemohon mengenai ijazah calon tidak serta merta dapat dikualifikasikan sebagai keadaan khusus sebagaimana dimaksud dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, karena permasalahan tersebut lebih bersifat administratif dan tidak terbukti menimbulkan akibat hukum yang memengaruhi hasil pemilihan.
Dalam hermeneutika Habermas, norma dan keadaan seharusnya saling memperjelas dan membuat norma lebih konkret. Namun di sini, fakta ijazah tidak pernah sampai ke tahap itu. Ia gagal memperkaya norma, karena dalam tradisi etis pemilu Indonesia, masalah administratif pencalonan bukanlah "kejadian khusus" yang bisa membatalkan hasil pemilu. Norma tetap berdiri, fakta luruh sebagai bayangan.
TSM sebagai "Topoi"
Selain ijazah, Pemohon menyoroti dugaan "tanda tangan palsu" dalam dokumen dukungan partai dan tuduhan "politik uang".
Mahkamah mencatat, Bawaslu membahas perihal tanda tangan sosok ketua partai dan mengimbau KPU melakukan "video conference." KPU tetap menerima dokumen, dan Mahkamah menilai hal itu administratif semata.
Tentang politik uang, Mahkamah menyatakan laporan masyarakat tidak diregistrasi karena lewat tenggat dan tanpa bukti memadai. Lebih jauh, ditegaskan: pelanggaran politik uang hanya dapat berakibat pada pembatalan hasil pemilihan apabila terbukti dilakukan secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM).
Konsep TSM adalah contoh "topoi". Sebuah prinsip etis yang lahir dari pengalaman panjang pemilu, yang kemudian dipadatkan menjadi kaidah hukum. Ia bukan norma yang muncul tiba-tiba, melainkan hasil dari Wirkungsgeschichte, sejarah efektif yang diwariskan yurisprudensi Mahkamah. Dengan "topoi" ini, Mahkamah menutup ruang tafsir: hanya politik uang TSM yang sah dijadikan alasan pembatalan.
Ketepatan Waktu: Horizon Formal
Mahkamah mencatat, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon diajukan dalam tenggang waktu sebagaimana ditentukan Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016, sehingga syarat tenggat waktu terpenuhi.
Ketepatan waktu diakui. Tetapi dalam hermeneutika Habermas, prosedur hanyalah horizon awal. Rasionalitas hukum lahir bukan dari kepatuhan waktu semata, melainkan dari hubungan substantif antara norma dan keadaan. Tepat waktu tanpa kedudukan hukum tidak menghasilkan legitimasi.
Mahkamah menegaskan, selisih suara antara Pemohon dengan Pihak Terkait berjumlah lebih dari 30.000 suara atau melebihi 1,5% dari total suara sah, sehingga Pemohon nyata-nyata tidak memenuhi ketentuan Pasal 158 ayat (2) huruf b UU 10/2016.
Inilah saat norma memperoleh arti konkret. Angka 1,5 persen yang abstrak menjelma jadi pagar yang nyata. Dalam perspektif hermeneutika hukum Habermas, inilah contoh ketika indeterminasi lingkaran tafsir dikurangi dengan merujuk pada prinsip kepastian hukum. Norma tidak lagi kabur, melainkan berdiri tegak.
Mengakhiri Lingkaran Tafsir
Mahkamah menambahkan, sekalipun Pemohon dianggap memiliki kedudukan hukum, Mahkamah berpendapat dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Putusan ini adalah cara Mahkamah mengakhiri indeterminasi. Lingkaran tafsir ditutup dengan merujuk pada prinsip historis: bahwa hanya dalil yang beralasan, berbasis bukti, dan sesuai tradisi etis pemilu, yang bisa memaksa norma berubah. Dalil Pemohon tidak memenuhi itu.
Ringkas kata, Mahkamah merangkum simpul:
- Mahkamah berwenang mengadili berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020.
- Permohonan diajukan tepat waktu sesuai Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016.
- Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum menurut Pasal 158 UU 10/2016.
- Andaipun dianggap memiliki kedudukan hukum, dalil Pemohon tetap tidak beralasan.
Habermas menulis, rasionalitas keputusan hukum harus diukur dari “standards provided by customs that have not yet coalesced into norms”—dari prinsip-prinsip tradisi yang hidup. Konklusi Mahkamah memperoleh legitimasi karena berakar pada tradisi TSM, ambang batas, dan kepastian hukum.
Kepastian yang Menutup Percakapan
Amar berbunyi: “Mengabulkan eksepsi Termohon dan Pihak Terkait mengenai kedudukan hukum Pemohon; menolak eksepsi Termohon dan Pihak Terkait untuk selain dan selebihnya; dan menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.”
Dengan amar itu, Mahkamah menutup percakapan hermeneutik. Norma dan fakta tidak lagi bersilang. Hukum berhenti pada kepastian: permohonan tidak diterima, hasil pemilihan sah, Termohon tegak.
Habermas mengingatkan bahwa hermeneutika hukum adalah dialog antara norma dan fakta, dipandu oleh pra-pemahaman yang lahir dari tradisi etis. Dalam Putusan MK 332, pra-pemahaman itu adalah konsistensi Mahkamah menjaga Pasal 158, prinsip TSM, dan kepastian hukum. Norma dan fakta saling menguji, tetapi fakta yang diajukan Pemohon tidak cukup untuk memperkaya norma.
Lingkaran tafsir akhirnya ditutup. Indeterminasi diakhiri oleh prinsip yang lahir dari Wirkungsgeschichte—sejarah efektif pemilu Indonesia. Putusan ini bukan sekadar teks, melainkan bukti bahwa hukum memperoleh legitimasi ketika berpijak pada tradisi etis yang hidup.
Keadilan tidak selalu berarti membuka pintu tafsir tanpa akhir. Kadang, keadilan justru hadir ketika pintu ditutup rapat oleh kepastian. Putusan MK 332 mengajarkan: demokrasi tetap terjaga ketika hukum berani berkata—"cukup!", maka percakapan hukum berhenti di sini.*



Post a Comment