-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Melampaui Represi, Menantang Gengsi

ARKANA~  Dalam pusaran peristiwa politik dan sosial Indonesia minggu ini, kita menyaksikan benturan antara kehendak untuk perubahan dan kekuatan-kekuatan yang masih terikat pada struktur lama. Dari tuntutan pencopotan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo hingga rencana akuisisi kapal induk tua dari Italia, dari janji reformasi Polri hingga distribusi Smart TV ke sekolah-sekolah tanpa listrik—semuanya mengundang satu pertanyaan mendasar: apakah kita sedang bergerak menuju transformasi otentik, atau sekadar mengulang pola lama dengan wajah baru?

Filsafat Friedrich Nietzsche, dengan seruannya untuk “menjadi diri sendiri” dan melampaui moralitas kawanan, menawarkan lensa tajam untuk membaca lanskap ini. Nietzsche tidak mengajarkan revolusi dalam bentuk massa yang seragam, melainkan transvaluasi nilai, penggantian nilai-nilai lama yang lemah dan hipokrit dengan nilai-nilai baru yang kuat, jujur, dan berani.

Polisi, Kekuasaan, dan Kematian Affan Kurniawan

Kematian tragis Affan Kurniawan, pengemudi ojol yang dilindas kendaraan lapis baja Brimob saat unjuk rasa rusuh akhir Agustus, menjadi titik api dalam tuntutan publik untuk mencopot Kapolri. Sepuluh nyawa melayang, ratusan ditahan, dan negara masih gamang: Presiden Prabowo dikabarkan telah mengirim surat ke DPR untuk mengganti Kapolri, namun Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad membantah keberadaan surat itu.

Nietzsche akan melihat ini sebagai ekspresi dari kehendak untuk berkuasa yang belum jujur pada dirinya sendiri. Negara yang represif bukanlah negara yang kuat, melainkan negara yang takut pada vitalitas rakyatnya. Reformasi Polri yang diusulkan oleh Gerakan Nurani Bangsa (GNB), termasuk pembentukan komisi reformasi dan penggantian pucuk pimpinan, adalah langkah awal yang patut diapresiasi. Namun, Nietzsche akan bertanya: apakah ini sungguh kehendak untuk transvaluasi, atau sekadar kosmetik moral?

Tim HAM dan Kebenaran yang Terlambat

Enam lembaga HAM membentuk Tim Independen LNHAM untuk mengusut rusuh akhir Agustus. LPSK, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman, dan Komisi Nasional Disabilitas bersatu untuk mendorong penegakan hukum dan pemulihan korban. Ini adalah bentuk kehendak untuk kebenaran, namun Nietzsche mengingatkan: keberanian untuk menatap realitas tanpa ilusi. Apakah tim ini akan berani menyatakan kebenaran tapi dihempas oleh kekuasaan dingin dari negara?

Kapal Induk dan Gengsi Militer

Rencana TNI AL untuk mengakuisisi kapal induk ITS Giuseppe Garibaldi dari Italia mengundang kritik tajam. Kapal tua, biaya tinggi, dan potensi mangkrak seperti kasus AL Thailand menjadi sorotan. Analis pertahanan Fauzan Malufti menekankan pentingnya kebutuhan nyata, bukan gengsi.

Nietzsche akan menyebut ini sebagai bentuk “moralitas budak”: membeli simbol kekuatan tanpa kekuatan sejati. Kapal induk bukanlah kehendak untuk berkuasa, melainkan kehendak untuk terlihat berkuasa. Dalam dunia Nietzsche, ini adalah dekadensi.

Stimulus, Beras, dan Pekerja Gig

Pemerintah menggulirkan bantuan beras untuk 18,2 juta keluarga dan paket stimulus ekonomi 8+4 hingga akhir 2025. Termasuk insentif PPh-21, jaminan sosial untuk pekerja lepas, dan program padat karya tunai. Ini adalah respons terhadap krisis produktivitas dan ketimpangan.

Apakah ini bentuk afirmasi kehidupan atau sekadar penghiburan? Bantuan yang tidak mengubah struktur kerja, tidak menumbuhkan otonomi, hanyalah bentuk belas kasihan yang memperpanjang penderitaan. Pekerja gig seperti Affan Kurniawan tidak butuh belas kasihan, mereka butuh pengakuan sebagai subjek yang berdaya.

Smart TV dan Absurditas Modern

Presiden Prabowo ingin 330.000 sekolah memiliki Smart TV untuk mendukung pembelajaran. Namun, banyak sekolah bahkan belum memiliki listrik. Warganet menyebut rencana ini absurd.

Nietzsche akan menyebut ini sebagai “nihilisme pasif”: teknologi dijadikan simbol kemajuan, padahal realitasnya kosong. Smart TV tanpa listrik adalah metafora dari kebijakan tanpa akar. Kita tidak sedang menciptakan manusia unggul (Ubermensch), melainkan memperindah kehampaan.

Menuju Politik Transvaluasi

Nietzsche tidak menawarkan solusi teknokratis. Ia menantang kita untuk melampaui kepalsuan, untuk menciptakan nilai baru yang lahir dari keberanian, bukan ketakutan. Reformasi Polri, bantuan sosial, dan kebijakan pendidikan harus berangkat dari kehendak untuk kehidupan yang otentik—bukan dari rasa bersalah, gengsi, atau ilusi kemajuan.

Indonesia hari ini berdiri di ambang transvaluasi. Kita bisa memilih menjadi kawanan yang tunduk pada simbol, atau menjadi bangsa yang berani menatap realitas dan menciptakan nilai baru. Seperti kata Nietzsche: “Yang paling manusiawi adalah: mengatakan kebenaran dan tertawa.”*

Diolah dari: BRIEF UPDATE BDS Alliance

Post a Comment

Post a Comment