-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Kuliah Literasi Digital: Belajar Jadi Manusia di Era Klik

Ditulis oleh: Anom Surya Putra, Advokat | Rumah Labirin Arkana

ARKANA~  “Dulu kami sering menggunakan media sosial tanpa banyak berpikir. Sekarang kami lebih paham bahwa apa yang kami klik, unggah, dan sampaikan, adalah bagian dari tanggung jawab kami sebagai manusia," kata Ilman, mahasiswa VINUS Bogor.

Pernyataan Ilman ini sederhana, tapi tegas. Ia menggambarkan sebuah lompatan kesadaran: dari sekadar pengguna media sosial menjadi manusia digital yang sadar akan etika, tanggung jawab, dan kemanusiaan. Pengalaman saya sebagai dosen tamu pada mata kuliah Literasi Digital dan Kemanusiaan ini "kaget" dengan perkembangan nalar filosofis yang diutarakan mahasiswa. Dosen pengampu mata kuliah ini, Daniel Zuchron, relatif berhasil memicu daya kriits-reflektif dengan pendekatan filsafat atas teknologi digital.

Klik Bukan Lagi Sekadar Klik

Di era digital, hidup kita lebih banyak ditentukan oleh jejak di layar ketimbang langkah di jalan. F. Budi Hardiman dalam bukunya Aku Klik Maka Aku Ada menyebut, eksistensi manusia kini ditentukan oleh kesadaran di ruang digital.

Mahasiswa VINUS Bogor yang mengikuti mata kuliah Literasi Digital dan Kemanusiaan merasakan langsung hal itu. Sepuluh sesi kuliah membuat mereka sadar: kehadiran di dunia maya bukanlah pasif. Setiap unggahan adalah pilihan etis—apakah kita ingin hadir dengan empati, integritas, atau sekadar ikut arus tanpa arah.

Ruang Publik Mini

Kelas ini tumbuh seperti ruang publik baru. Mahasiswa belajar berdiskusi, mendengar, dan saling memahami. Persis seperti yang digagas Jürgen Habermas: komunikasi deliberatif, bukan sekadar adu opini.

Bedanya dengan dunia luar? Di media sosial, kita sering jumpa ujaran kebencian, hoaks, atau tribalism algoritmik. Di kelas ini, mahasiswa justru dilatih mengelola perbedaan dengan dialog yang setara. Sebuah latihan kecil, tapi penting, untuk demokrasi digital.

Tarot dan Simbol Batin

Tak hanya teori, kuliah ini juga menyentuh lapisan batin. Lewat pendekatan Carl Gustav Jung, simbol tarot digunakan bukan untuk meramal, tapi untuk membaca diri.

The Fool: keberanian memulai perjalanan digital.

The Tower: runtuhnya ilusi media yang menipu.

The Hermit: jeda untuk refleksi di tengah banjir informasi.

The Star: harapan baru bahwa dunia digital bisa manusiawi.

Simbol-simbol ini membuka percakapan yang lebih jujur. Belajar literasi digital bukan cuma soal logika, tapi juga soal hati.

Refleksi Lewat Kartu

Mahasiswa diajak menafsir kartu tarot dengan tiga pertanyaan sederhana: Siapa saya sebagai insan digital Apa tantangan terbesar saya? Apa yang harus saya rawat agar tetap manusiawi?

Jawaban tiap mahasiswa berbeda, tapi intinya sama: kesadaran baru bahwa mereka bukan sekadar “pengguna” teknologi, melainkan manusia yang bertanggung jawab di balik layar.

Manusia di Era Klik

Kuliah ini membuktikan satu hal: teknologi tidak otomatis mengikis kemanusiaan. Justru di sanalah kemanusiaan diuji.

Di era klik, kita bisa memilih untuk gegabah atau sadar. Setiap klik bisa berarti banyak: memperkuat empati, memperluas wawasan, atau justru memperdalam jurang kebencian.

Seperti kata Ilman, kita tak lagi sekadar klik untuk eksis.

Kita klik untuk menjadi.*

Post a Comment

Post a Comment