ARKANA~Nama Daniel Zuhron sudah lama berkiprah di dunia pergerakan, pemilu, hingga pendidikan sudah cukup panjang. Tokoh muda NU ini kini dipercaya menjadi Rektor Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Vinus Bogor, sebuah kampus baru yang berdiri sejak 2021, di tengah tantangan besar dunia pendidikan tinggi.
Lahir dari keluarga santri di Majalengka, Daniel tumbuh dalam tradisi Ahlussunnah wal Jamaah yang, menurutnya, bukan sekadar doktrin, melainkan hidup dalam realitas sehari-hari. “Keislaman kita, keagamaan kita, bahkan Ahlusunah Wal Jamaah itu sudah ditanamkan bukan berdasarkan doktrin semata, tetapi real life dia hidup,” ujarnya dalam podcast NU.
Daniel mengingat pesan gurunya, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur: “Guru spiritualitas saya adalah realitas, dan guru realitas saya adalah spiritualitas.” Bagi Daniel, kutipan ini menjadi peneguhan bahwa agama dan kehidupan tidak boleh dipisahkan.
Dari Aktivisme ke Bawaslu
Perjalanan panjang Daniel berawal dari dunia aktivisme. Pada era 1990-an, ia aktif di Lakpesdam NU, menyerap gagasan teologi pembebasan yang kala itu populer di kalangan santri progresif. Dari Malang, ia hijrah ke Jakarta, masuk ke lingkaran diskusi strategis NU, hingga akhirnya menekuni isu demokrasi dan pemilu.
Momentum reformasi 1998 menjadi titik balik. Dari pemantau pemilu, Daniel dipercaya menjadi Koordinator Nasional Pemantau Pemilu, hingga kemudian duduk sebagai Komisioner Bawaslu RI. Ia menyebut jabatan itu sebagai “iseng-iseng berhadiah” dan “rezeki anak saleh”. Namun, pengalaman itu mempertemukannya langsung dengan realitas negara: bagaimana demokrasi, politik, dan birokrasi dijalankan.
Menjadi Rektor, Membaca Zaman
Kini, di ITB Vinus Bogor, Daniel membawa semangat yang sama: pendidikan sebagai ruang pembebasan. Menurutnya, kampus tidak boleh sekadar mencetak sarjana, tetapi juga harus membaca kebutuhan realitas lokal.
Kabupaten Bogor, katanya, memiliki jumlah penduduk terbesar se-Indonesia, tapi tingkat partisipasi pendidikan tinggi masih rendah. Industri yang dulu padat, kini mulai hengkang karena biaya tinggi. Sementara anak muda banyak yang memilih langsung bekerja ketimbang kuliah.
“Spirit kampus ini adalah merespon realitas lokal. Jurusan atau program studi itu wadahnya, tapi spiritnya jangan sampai hilang,” tegas Daniel.
Meski baru berjalan empat tahun dengan sekitar 300 mahasiswa, ia yakin kampus yang dipimpinnya bisa menjadi wadah bagi aktivis dan anak muda Bogor untuk mengasah diri. “Kalau dulu, orang pintar harus ke perpustakaan. Sekarang semua serba digital. Tantangannya, ilmu jadi dangkal. Nah, kampus hadir untuk menjaga kedalaman itu,” jelasnya.
Filsafat dan Spirit Gus Dur
Kecintaannya pada filsafat tidak lepas dari bacaan sejak muda. Dari dekonstruksi syariah Abdullahi Ahmed An-Na'im hingga pemikiran Muhammad Arkoun, filsafat baginya adalah fondasi berpikir merdeka. “Aktivis tanpa filsafat itu tidak ekspresif,” katanya.
Namun, ia juga realistis: hari ini, yang paling penting adalah bagaimana filsafat diterjemahkan dalam gaya hidup, dalam kebijakan, dan dalam praktik nyata.
Daniel menegaskan kembali warisan Gus Dur yang membentuknya: spiritualitas dan realitas harus berjalan seiring. “Kalau guru spiritual saya adalah realitas, dan guru realitas saya adalah spiritualitas, maka mendidik generasi hari ini adalah cara menjaga kewarasan bangsa.”*
Post a Comment