-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

FANTASMA: Ijazah-KPU, Bioskop, Side Jobs, Trending CPNS

ARKANA~ Editorial ini mengajak pembaca untuk melihat bahwa retakan dalam transparansi, hukum, dan ekonomi bukanlah akhir, tetapi awal dari refleksi. Dalam retakan itu, kita bisa mulai bertanya: Siapa kita sebagai subjek politik? Apa yang kita inginkan dari Negara? Dan bagaimana kita bisa membentuk ruang simbolik yang tidak hanya memantulkan citra, tetapi juga mengakui pengalaman nyata?

Politik: KPU dan Foreclosure atas Kebenaran Simbolik

Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menetapkan 16 jenis dokumen pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai rahasia negara—termasuk fotokopi ijazah, SKCK, daftar riwayat hidup, surat keterangan kesehatan, laporan harta kekayaan pribadi (LHKP), dan rekam jejak bakal calon—menandai momen foreclosure dalam struktur simbolik demokrasi. Dalam istilah Lacan, foreclosure adalah penyingkiran suatu elemen dari tatanan simbolik yang seharusnya hadir untuk menjamin keteraturan dan makna.

Keputusan KPU No. 731 Tahun 2025, yang baru diteken 21 Agustus lalu, muncul di tengah gugatan ijazah Presiden Jokowi dan Wapres Gibran. Persepsi publik bermunculan dengan aneka ragam respons. Sebagian membaca tindakan ini bukan sebagai prosedur administratif, tapi juga memunculkan persepsi lain: upaya pengendalian representasi. Ketika dokumen-dokumen yang seharusnya menjadi akses terhadap “the Real”—kebenaran yang tak bisa direduksi menjadi citra—justru dikunci, maka KPU dipersepsikan tampil bukan sebagai penjaga transparansi, melainkan sebagai kurator fantasma politik.

Dalam struktur Lacanian, tindakan ini memicu persepsi bahwa posisi rakyat sedang bergeser dari subjek yang mengetahui menjadi objek yang ditentukan. KPU, dalam persepsi publik, mulai tampak sebagai institusi yang menata ulang ruang simbolik pemilihan umum, mengatur apa yang boleh diketahui dan apa yang harus dilupakan. Transparansi berubah menjadi simulakrum: citra keterbukaan yang menutupi kekosongan makna. Nah, kita tunggu penjelasan KPU yang mendekati Yang Nyata (the Real).

Bioskop: Mirror Stage Kekuasaan dan Produksi Citra

Tayangan capaian kerja pemerintahan Prabowo-Gibran di layar bioskop adalah bentuk mirror stage dalam politik kontemporer. Pemerintah memantulkan citra keberhasilan kepada publik, berharap publik mengidentifikasi diri sebagai bagian dari narasi sukses tersebut. Namun seperti dalam teori Lacan, cermin tidak pernah memantulkan kebenaran, melainkan ilusi totalitas.

Ketika penonton mulai merasa jengah karena realitas hidup mereka tidak sesuai dengan citra yang ditampilkan, maka terjadi rupture—retakan dalam fantasma. Rasa jengah itu adalah tanda bahwa subjek mulai menyadari bahwa citra yang ditampilkan bukanlah representasi dirinya, melainkan konstruksi yang menyingkirkan pengalaman nyata. Pemerintah, dalam hal ini, tidak hanya memproduksi kebijakan, tetapi juga mengatur hasrat publik melalui estetika keberhasilan.

Hukum: Legal Standing dan Jouissance Administratif

Penundaan sidang gugatan terhadap Wapres Gibran karena absennya fotokopi KTP adalah contoh bagaimana hukum sebagai struktur simbolik bisa tergelincir ke dalam jouissance administratif—kenikmatan yang muncul dari repetisi prosedur tanpa substansi. Gugatan terhadap ijazah Gibran bukan hanya soal keabsahan dokumen, tetapi juga soal keabsahan representasi politik.

Dalam Lacanian terms, hukum adalah “the Name-of-the-Father”—otoritas simbolik yang menjamin keteraturan dan legitimasi. Namun ketika kedudukan hukum (legal standing) ditentukan oleh berkas yang tidak lengkap, kita menyaksikan bagaimana hukum bisa kehilangan fungsi transendennya dan berubah menjadi ritual kosong. Subjek hukum tidak lagi berhadapan dengan keadilan, melainkan dengan labirin administratif yang menunda pengakuan.

Ekonomi: Bantalan Fantasma dan Objet Petit a

Hasil riset LPEM FEB UI menunjukkan bahwa 8,2% pekerja Indonesia memiliki side jobs, dengan dominasi di kota (11,5 juta) dibanding desa (7,8 juta). Median gaji pekerja tanpa side jobs sebesar Rp 2,2 juta, sementara pekerja dengan side jobs hanya Rp 1,6 juta. Side jobs bukan gaya hidup, melainkan mekanisme bertahan hidup. Dalam kerangka Lacan, ini adalah ekspresi dari hasrat yang tidak terpenuhi—subjek yang terus mencari “objet petit a”, objek kecil dari hasrat yang dijanjikan tetapi tak pernah benar-benar memuaskan.

Paket Ekonomi 2025 senilai Rp 16,23 triliun adalah bentuk dari objek tersebut: magang bergaji, bantuan pangan, subsidi iuran, dan padat karya. Namun, bantuan itu tidak menyentuh akar dari “the Real”—ketidakcukupan struktural, ketimpangan, dan alienasi. Ketika bantuan diberikan tanpa transparansi politik dan kepastian hukum, maka bantuan itu menjadi bagian dari fantasma: sesuatu yang dijanjikan, tetapi tidak pernah benar-benar menyembuhkan.

Subjek publik terus menginginkan, terus berharap, tetapi tidak pernah mencapai kepenuhan. Bantuan ekonomi menjadi penyangga sementara dalam struktur simbolik yang retak, menunda konfrontasi dengan realitas yang tak terwakili.

Trending CPNS: Struktur Simbolik dan Hasrat akan Nama

Lonjakan pencarian tentang CPNS 2026 menunjukkan bagaimana subjek publik mencari struktur, pengakuan, dan tempat dalam simbolik Negara. CPNS bukan hanya pekerjaan, tetapi juga bentuk identifikasi: menjadi bagian dari sistem, memiliki nama, dan diakui. Dalam Lacanian terms, ini adalah pencarian akan “the Name-of-the-Father”—otoritas simbolik yang memberi tempat dan makna.

Namun, ketika rekrutmen masih menunggu arahan presiden, maka hasrat itu ditunda, digantung dalam ruang antara “the Imaginary” dan “the Symbolic”. Subjek publik berada dalam posisi liminal: mengetahui bahwa struktur itu ada, tetapi belum bisa mengaksesnya. Dalam ketegangan ini, muncul rasa frustrasi, repetisi pencarian, dan produksi harapan yang belum tentu terpenuhi.

Retakan sebagai Ruang Refleksi

"Penutupan akses" terhadap 16 dokumen capres-cawapres oleh KPU, pemanfaatan layar bioskop untuk menayangkan capaian kerja yang dipertanyakan akurasinya, jutaan pekerja yang terpaksa mengambil side jobs karena gaji utama tak mencukupi, serta penundaan sidang gugatan ijazah Wapres Gibran akibat berkas legal standing yang tidak lengkap—semuanya menunjukkan ketegangan dalam struktur simbolik kekuasaan. Di tengah itu, lonjakan pencarian CPNS 2026 mencerminkan hasrat publik untuk masuk ke dalam sistem yang menjanjikan pengakuan dan stabilitas, meski arah kebijakan masih menggantung.

Rumah Arkana mengajak pembaca untuk tidak sekadar menjadi penonton, tetapi menjadi subjek yang berpikir, bertanya, dan menuntut representasi yang jujur. Karena dalam dunia yang penuh citra, kebenaran bukanlah apa yang ditampilkan, tetapi apa yang berani kita ungkapkan.*

Diolah dari BRIEF UPDATE, BDS ALLIANCE


0

Post a Comment