-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

FITRA: Pegawai Kemenkeu Rangkap Jabatan, Daerah Dapat Remah, Ilusi Efisiensi

ARKANA~  Presiden Prabowo Subianto pada Senin, 8 September 2025, resmi mengumumkan perombakan Kabinet Merah Putih Jilid II. Perhatian publik langsung tertuju pada kursi Menteri Keuangan. Sri Mulyani Indrawati—sosok sentral fiskal selama hampir dua dekade—digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa, ekonom dengan rekam jejak panjang di kebijakan makroekonomi dan pasar keuangan. Pergantian ini bukan sekadar reshuffle, melainkan sinyal arah baru dalam mengelola keuangan negara di tengah disiplin fiskal yang kian rapuh, defisit membengkak, dan kebutuhan pembiayaan pembangunan yang terus menekan.

Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai Purbaya masuk ke jabatan barunya dengan warisan pekerjaan rumah yang nyaris tak berujung. FITRA membagi beban itu ke dalam dua ranah besar: masalah internal Kementerian Keuangan, dan persoalan kinerja fiskal yang harus segera dijawab.

Dari sisi internal, masalah pertama adalah transparansi dan partisipasi publik. Studi FITRA bersama International Budget Partnership (IBP) lewat Open Budget Survey (OBS) menunjukkan skor transparansi anggaran Indonesia stagnan di angka 70 dari 100 dalam tiga periode berturut-turut (2019, 2021, 2023). Masalah terbesar: rincian pendapatan negara, realisasi APBN, dan utang disajikan hanya secara makro, terfragmentasi, dan minim detail. Skor partisipasi publik bahkan hanya 26 dari 100. Di level ASEAN, Indonesia tertinggal dari Filipina, Malaysia, dan Thailand. FITRA menilai proses penyusunan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi APBN cenderung tertutup dengan akses publik sangat terbatas.

Masalah kedua adalah skema remunerasi yang timpang. Berdasarkan Perpres No. 156 Tahun 2014, pejabat eselon I di Kemenkeu menerima tunjangan kinerja hingga Rp46,95 juta per bulan. Itu di luar tunjangan jabatan, keluarga, makan, transportasi, dan lain-lain. Di Direktorat Jenderal Pajak, tunjangan kinerja pejabat eselon I bahkan mencapai Rp84,60 juta hingga Rp113,37 juta, eselon II Rp56,78 juta–Rp81,94 juta, eselon III Rp37,22 juta–Rp46,48 juta, dan eselon IV Rp22,93 juta–Rp28,76 juta. Sementara itu, Menteri Keuangan menerima tunjangan kinerja sebesar 150% dari nilai tertinggi di instansi tersebut. FITRA mempertanyakan relevansi angka-angka fantastis ini di tengah jargon efisiensi yang justru memangkas belanja publik.

FITRA juga menyoroti 39 pegawai Kementerian Keuangan yang masih merangkap jabatan di BUMN hingga kini. Selama kepemimpinan Sri Mulyani, tak ada langkah tegas membersihkan praktik rangkap jabatan dan konflik kepentingan ini. Belum lagi pekerjaan rumah untuk menyegerakan pemisahan kelembagaan Badan Pendapatan dari Kemenkeu agar pendapatan negara dikelola lebih profesional.

Namun tantangan sesungguhnya ada pada kinerja fiskal. Purbaya masuk dengan janji menggenjot pertumbuhan ekonomi agar rakyat sibuk bekerja dan tak sempat berdemonstrasi. Nyatanya, pertumbuhan ekonomi masih stagnan di 5%, dan validitas angka ini pun dipertanyakan. Konsumsi rumah tangga rata-rata hanya 4,87% dalam tiga tahun terakhir (2022–2024). Tingkat pengangguran terbuka (TPT) mencapai 4,78% pada 2024, tertinggi di ASEAN. Gini ratio Maret 2025 bertengger di 0,375, menunjukkan kesenjangan masih lebar. Program perlindungan sosial seperti PKH, Kartu Sembako, PIP, dan subsidi masih banyak salah sasaran.

Di sisi perpajakan, target pendapatan negara 2026 mencapai Rp3.147,7 triliun, dengan Rp2.692 triliun atau 85,5% dari pajak—naik 11,3% dari Outlook APBN 2025. FITRA menilai ada lima masalah besar: integrasi sistem penerimaan lemah, obyek pajak lebih banyak membebani kelas menengah-bawah sementara orang super kaya lolos lewat insentif dan tax amnesty, kualitas pemeriksaan rendah hingga menimbulkan sengketa tinggi, fragmentasi pusat-daerah pasca UU HKPD yang memicu kenaikan pajak daerah sewenang-wenang seperti kasus Kabupaten Pati, serta minim transparansi belanja perpajakan yang diperkirakan Rp563,6 triliun. Belanja ini mayoritas untuk sektor industri pengolahan (25%), sementara untuk air minum, sampah, sanitasi hanya 11%, pendidikan 0,5%, dan kesehatan 5%.

Efisiensi anggaran pun dinilai ilusi. Kabinet tetap gemuk, malah muncul pos baru: Kementerian Haji dan Umrah, Badan Industri Mineral, dan Badan Otorita Pengelola Pantura Jawa. Semua menambah beban APBN. Program prioritas Presiden menyedot dana jumbo tanpa studi kelayakan maupun partisipasi publik. Contohnya: Ketahanan Pangan Rp164,6 triliun, Ketahanan Energi Rp402,4 triliun, MBG Rp335 triliun, pendidikan termasuk Sekolah Rakyat Rp757,8 triliun, kesehatan termasuk cek kesehatan gratis Rp244 triliun, koperasi desa/kelurahan Merah Putih 80.000 unit yang akan berhutang Rp400 triliun ke Bank Himbara dan ditanggung APBDes jika rugi, serta program tiga juta rumah dan pertahanan semesta. FITRA menilai program top-down ini rawan gagal menyentuh rakyat.

Ketimpangan pusat-daerah juga makin menganga. APBN 2026 menetapkan belanja negara Rp3.876,5 triliun, dengan 83% atau Rp3.136,5 triliun dikuasai pemerintah pusat. Transfer ke daerah (TKD) hanya Rp650 triliun atau 17%, turun drastis dari Rp919,9 triliun di APBN 2025. FITRA menyebut ini sebagai resentralisasi anggaran, di mana daerah hanya diberi “remah-remah” dengan berbagai earmark yang membelenggu fleksibilitas mereka.

Yang paling mengkhawatirkan adalah utang. Per Januari 2025, utang pemerintah naik 1,22% dari Desember 2024, menjadi Rp8.909,14 triliun. Antara Januari–Maret 2025, pemerintah sudah menarik utang baru Rp250 triliun atau 40,6% dari target pembiayaan APBN 2025. Juni 2025 jatuh tempo utang Rp800,33 triliun, sementara beban bunga dalam RAPBN 2025 mencapai Rp552,85 triliun. Total beban pembayaran utang setara Rp1.353 triliun atau 37% belanja negara. Debt Service Ratio (DSR) Indonesia kini 45%, jauh di atas ambang IMF (20%) dan BI (30%). Defisit APBN 2025 pada triwulan I sudah Rp104 triliun atau 0,4% PDB. Pada Maret 2025, pemerintah kembali menarik utang Rp250 triliun, dan Sri Mulyani bahkan sempat menyampaikan rencana utang baru Rp378,4 triliun hingga akhir tahun.

Bagi FITRA, semua ini menegaskan satu hal: Purbaya Yudhi Sadewa mewarisi kementerian dengan PR jumbo, dari birokrasi yang boros hingga fiskal yang rapuh. Tanpa langkah berani, risiko yang ditanggung rakyat akan semakin besar: APBN terus membengkak, utang menjerat, daerah makin terpinggirkan, sementara jargon efisiensi hanya jadi kamuflase.*

0

Post a Comment