-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Keadilan Ekologis, Rakyat Kecil, dan Nafsu Tambang

Penulis: Joshua Maujawa, Politisi

ARKANA~ Sebentar lagi, Sumba Timur akan menjadi panggung sebuah peristiwa penting: Festival Bumi Nusantara yang ditandai dengan Deklarasi Hari Keadilan Ekologis Sedunia oleh WALHI. Sebuah perhelatan yang menggema secara simbolik, seolah menegaskan bahwa isu ekologi bukan sekadar milik kota besar atau forum internasional, melainkan juga denyut hidup masyarakat di daerah yang jauh dari sorotan.

Namun, ironinya, di saat jargon keadilan ekologis itu dikumandangkan, di wilayah Matawai La Pawu, masyarakat sedang sibuk mendulang emas dengan peralatan seadanya. Bukan konglomerat, bukan korporasi besar, melainkan rakyat kecil yang menggali tanah demi sesuap nasi, demi ongkos sekolah anak, demi keberlangsungan hidup keluarga.

Di sinilah kita dihadapkan pada dilema klasik: menyelamatkan alam atau membiarkan rakyat bertahan hidup. Sebuah dilema yang seharusnya tidak menempatkan rakyat kecil sebagai tumbal.

Keadilan ekologis yang sejati mestinya berpijak pada kenyataan: rakyat kecil adalah pihak pertama yang merasakan dampak kerusakan lingkungan. Sungai yang tercemar merkuri, tanah yang longsor, sawah yang tak lagi subur, semuanya akan menimpa petani kecil, bukan korporasi.

Karena itu, penambang rakyat tidak boleh diposisikan sebagai musuh lingkungan. Mereka adalah bagian dari korban sistem ekonomi yang timpang, yang memaksa orang menggali tanahnya sendiri demi bertahan hidup.

Di titik inilah, WALHI harus menunjukkan peran strategisnya. Bukan sekadar mengumandangkan slogan hijau, tetapi hadir sebagai penyeimbang di tengah tarik-menarik antara nafsu korporasi dan kebutuhan rakyat.

Pendekatan represif hanya akan memicu konflik baru. Sebaliknya, advokasi bisa membuka jalan: pendampingan teknologi tambang yang ramah lingkungan, pengurangan bahan kimia berbahaya, hingga pengorganisasian rakyat dalam koperasi tambang yang lebih transparan. Dengan begitu, rakyat tetap mendapat penghasilan, lingkungan tetap terlindungi.

Kongres WALHI di Sumba Timur seharusnya menjadi ruang refleksi: apakah keadilan ekologis hanya jargon global, atau benar-benar menjawab pergulatan rakyat kecil di pelosok negeri?

Keadilan ekologis tidak boleh berdiri di menara gading. Ia harus menjejak tanah, menghirup napas rakyat yang mendulang emas dengan cangkul dan kuali seadanya. Ia harus memastikan bahwa alam terjaga, tanpa mengorbankan mereka yang lahir dan hidup dari tanah itu sendiri.

Tegakkan ekologi, tapi jangan sekali-kali korbankan rakyat. Karena tanpa keadilan sosial, keadilan ekologis hanyalah pepesan kosong.*

0

Post a Comment