-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Norma, Fakta, dan Demokrasi di Bangka Pasca Putusan MK 332, 333, 334

Anom Surya Putra, Kuasa Hukum Termohon (KPU Bangka)

ARKANA~ Putusan Mahkamah Konstitusi bukan sekadar teks. Ia adalah medan percakapan, yang mana norma dan fakta saling menantang, menyusun arti, dan menegaskan legitimasi demokrasi. Putusan Nomor Perkara 332/PHP.BUP-XXIV/2025, Nomor 333/PHPU.BUP-XIII/2025, dan Nomor 334/PHPU.BUP-XXIII/2025 mengungkap bagaimana hukum bergerak, membentuk kepastian, dan menyeimbangkan prosedur dengan substansi.

Hermeneutika dan Positivisme Hukum

Dalam kerangka hermeneutika hukum, norma tidak pernah berdiri sendiri. Ia hanya memperoleh makna ketika bertemu fakta yang relevan, sementara fakta menjadi kasus hanya jika diinterpretasikan melalui pra-pemahaman yang lahir dari tradisi etis pemilu. Mahkamah bergerak dari pra-pemahaman kabur menjadi artikulatif, membangun kasus melalui dialog antara norma dan keadaan. Positivisme hukum ala Habermas (Between Facts and Norms;1996) turut menegaskan, norma yang efektif adalah norma yang dihidupkan oleh tradisi dan praktik yang sah.

Putusan MK 332 menjadi contoh paling jelas. Pemohon menyoroti ijazah Paket C calon bupati, dugaan tanda tangan palsu, dan politik uang. Fakta ijazah Paket C tidak tercatat di Dapodik dan NISN dianggap sebagai bukti pelanggaran. Mahkamah menegaskan: data administratif bukan penentu keabsahan ijazah. Ijazah paket C yang sah adalah yang diterbitkan dan ditandatangani oleh kepala satuan pendidikan (PKBM) sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 58 Tahun 2024. Laporan ke Bawaslu Bangka telah diperiksa dan sebagian dihentikan. Fakta administratif gagal memperkaya norma. Politik uang diuji melalui prinsip TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif) yang lahir dari sejarah efektif (Wirkungsgeschichte) Mahkamah. Norma tetap tegak, fakta yang diajukan Pemohon hanya bayangan. Kepastian hukum menutup percakapan hermeneutik.

Begitu pula Putusan MK 333 yang menghadirkan kasus "obscuur". Permohonan kabur, "petitum" bertabrakan, "posita" tidak mendukung tuntutan. Norma mengambang, fakta tidak menjadi kasus. Tuntutan (petitum) yang meminta diskualifikasi Paslon Nomor Urut 5, tetapi juga PSU tanpa keikutsertaan Paslon Nomor Urut 1, menjadi retakan interpretatif. Struktur permohonan gagal membentuk relasi antara norma dan keadaan. Kegagalan epistemologis ini menegaskan hukum sebagai medan tafsir yang hidup: tanpa relasi yang jelas, adjudikasi tidak dapat dilanjutkan. Mahkamah menegaskan, bukan enggan menilai, tetapi tidak ada yang bisa dinilai secara sah.

Realisme Hukum 

Putusan MK 334 menampilkan realisme hukum. Dalil Pemohon menyoal keabsahan ijazah Paket C dan surat keterangan tidak pailit. Mahkamah menegaskan dokumen yang digunakan calon sah secara prosedural dan materiil. Surat keterangan sementara diterima saat pendaftaran, dilengkapi dengan dokumen resmi dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Laporan masyarakat yang mempertanyakan ijazah telah diperiksa dan sebagian dihentikan. 

Kepastian prosedural ditegakkan melalui Pasal 158 UU No. 10/2016, sementara substansi integritas calon juga dipastikan. Mahkamah menjaga stabilitas politik, integritas pemilu, dan legitimasi demokrasi. Dalam logika realisme hukum, hakim bukan sekadar interpreter pasal, tetapi aktor yang menimbang stabilitas demokrasi, legitimasi kelembagaan, dan orientasi nilai politik-hukum.

Legitimasi Demokrasi

Makna bagi demokrasi di Bangka jelas. Hukum yang sah bukan sekadar prosedur atau formalitas. Ia menegakkan integritas proses demokrasi. Tindakan komunikatif yang tepat, jujur, dan benar bagi KPU Bangka adalah menjalankan prosedur secara transparan, memastikan dokumen administrasi sah, dan menjelaskan proses kepada publik dengan fakta yang jelas. Norma, fakta, dan legitimasi demokrasi bertemu, membentuk simpul yang menuntun ekspektasi masyarakat.

Paradoksnya, Mahkamah menutup perkara melalui alasan formil kedudukan hukum (legal standing) sekaligus menilai substansi. Kepastian hukum ditegakkan melalui Pasal 158 UU No. 10/2016, sementara keadilan substantif tetap terjaga melalui penilaian dokumen dan prosedur. Demokrasi tetap terjaga ketika hukum berani menegakkan norma yang relevan, menilai fakta yang sah, dan menutup percakapan yang tidak beralasan.

Teringat seorang filsuf fenomenal, Nietzsche, yang mengabarkan manusia unggul (Übermensch). Manusia hukum di Bangka mungkin saatnya berdiri sebagai Übermensch: menapak tegak di atas bayangan, melampaui keraguan, meneguhkan norma sekaligus fakta. Kepastian hukum adalah tongkatnya, integritas demokrasi adalah sayapnya. Putusan MK telah menutup percakapan yang tak relevan, menegaskan yang sah, dan menjaga demokrasi tetap tegak. Hukum berkata, “cukup,” dan di situlah legitimasi menemukan dirinya.*

0

Post a Comment