-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

[EDITORIAL] Respons 17+8 DPR dan Demokrasi yang Masih Gagap Bicara

ARKANA~  Awal September 2025, DPR RI akhirnya mencoba merespons tuntutan rakyat “17+8”. Dari enam keputusan yang diumumkan, yang paling ramai diperbincangkan tentu soal gaji dan tunjangan anggota dewan. Konon, ada “pemangkasan”. Tapi hasil akhirnya, take home pay anggota DPR masih Rp 65,59 juta. Turun dari Rp 90 juta, tapi tetap saja memancing publik untuk berkomentar: “Lho, kok lebih besar dari sebelum ada wacana kenaikan tunjangan rumah Rp 50 juta?”

Seperti diskon di mal: diberi potongan, tapi ujung-ujungnya konsumen tetap bayar lebih. Bedanya, yang berperan di sini bukan kasir, tapi wakil rakyat.

Demokrasi yang Baru Belajar Komunikasi

Jürgen Habermas, filsuf Jerman, pernah bilang: hukum dan demokrasi itu sahih kalau lahir dari komunikasi publik yang rasional dan terbuka. Rakyat bukan sekadar pendengar keputusan elite, melainkan aktor yang ikut menentukan.

Sayangnya, yang terjadi di Senayan lebih mirip komunikasi satu arah. DPR memangkas tunjangan bukan karena deliberasi publik yang sungguh-sungguh, melainkan karena tekanan jalanan yang tak bisa lagi diabaikan. Demokrasi deliberatif ala Habermas masih jauh — yang ada baru demokrasi kosmetik.

Etika di Meja MKD

Lima anggota DPR dinonaktifkan, menunggu sidang etik Mahkamah Kehormatan Dewan. Pertanyaannya sederhana: apakah sidang ini akan jadi penegakan etika sungguhan, atau drama politik dengan ending “rehabilitasi terhormat”?

Publik mungkin sinis, tapi Habermas punya standar lebih tinggi: etika politik harus membangun legitimasi melalui komunikasi. Di Indonesia, etika kerap berubah jadi “etiket” — sekadar aturan sopan santun yang bisa dinegosiasikan.

Dari Freeport ke Pestapora: Musisi Lebih Jujur dari Politisi

Di luar gedung parlemen, Festival Pestapora 2025 jadi panggung komunikasi publik yang lebih sehat. Puluhan musisi, dari Sukatani sampai The Panturas, memilih mundur setelah tahu acara itu disponsori PT Freeport. Ada yang bahkan menyumbangkan hasil penjualan untuk Papua dan Walhi.

Ironis. Justru di panggung musik, publik menemukan deliberasi yang lebih jujur daripada di ruang sidang DPR. Musisi lebih berani berkata “tidak” dibanding politisi yang sering kehilangan kosa kata itu.

Dalang Tak Pernah Tertangkap

Polisi sudah menetapkan 43 tersangka kerusuhan demo pekan lalu. Tapi “dalang”, yang disebut-sebut Presiden Prabowo, masih misterius. Lagi-lagi publik skeptis: kalau dalangnya tak pernah tertangkap, bukankah istilah itu cuma retorika politik? 

Hukum kehilangan legitimasi ketika hanya menghukum wayang, tapi gagal menyentuh dalang.

Ekonomi Rapuh, Kepercayaan Runtuh

Di saat politik sibuk merapikan wajah, ekonomi semakin rapuh. PHK massal di PT Gudang Garam, ancaman dihentikannya bantuan pangan beras, hingga kaburnya modal asing Rp 16,85 triliun dalam tiga hari pertama September jadi alarm keras.

Krisis ini bukan sekadar soal angka. Ia adalah cermin rapuhnya kepercayaan rakyat dan investor pada negara. Legitimasi lahir dari komunikasi yang jujur. Tanpa itu, hukum jadi alat koersif, politik jadi panggung sandiwara, dan ekonomi pun kehilangan pondasi.

Demokrasi Bukan Sketsa Komedi

Rakyat menuntut, DPR memangkas tunjangan, pemerintah janji tindak lanjut, aparat menangkap wayang, musisi mundur dari sponsor bermasalah. Semuanya terdengar seperti fragmen sketsa: kadang tragis, kadang lucu, sering kali absurd.

Tapi demokrasi bukan panggung stand up comedy. Ia butuh komunikasi jujur, deliberasi yang tulus, dan hukum yang memberi legitimasi, bukan sekadar represi. Selama itu belum ada, rakyat akan tetap menonton sandiwara politik — sambil, tentu saja, menyiapkan humor satir sebagai obat penawar kekecewaan.*


0

Post a Comment