![]() |
| Anom Surya Putra |
ARKANA~ Tepat pada awal 2025 novel saya berjudul Kerumunan adalah Neraka terbit melalui platform daring atau digital KaryaKarsa dan Lentera APP. Di dalam teks novel ini, filsafat eksistensialis Sartre membisikkan "neraka adalah orang lain," tercermin dalam tokoh bernama Vanua—intelek yang terjerat dalam jaring "pandangan" warga, mengurung dirinya dari kerumunan yang sejatinya adalah cermin distorsi identitas.
Berada dalam labirin semu antara kearifan lokal dan disonansi modernitas, novel ini kemudian saya baca ulang sebagai “pembaca” dan menuliskan kembali dalam bentuk antologi 50 (lima puluh) esai. Sistematika esai terbagi dalam 5 (lima) bagian. Bagian I: Kerangka Eksistensial dan Simbolik yang menggali kedalaman psikologis dan mitologis, berlanjut ke Bagian II: Tokoh dan Psikologi Sosial yang membedah karakter-karakter sentral sebagai manifestasi jiwa kolektif, kemudian beralih ke Bagian III: Struktur dan Estetika Naratif yang menyoroti jalinan kisah yang dibangun, diteruskan dengan Bagian IV: Refleksi Filosofis dan Teologis yang mendalami dimensi pemikiran dan spiritual, dan akhirnya pada Bagian V: Refleksi-Diri yang menyodorkan pandangan personal atau mungkin semacam metakritik.
Setiap esai berupaya menyingkap lapisan demi lapisan trauma, kepercayaan, dan dinamika sosial yang tersembunyi. Sementara, kerumunan yang irasional diulas dengan pemaknaan atas desas-desus yang merayap seperti virus serta menginfeksi nalar dan memicu panik. Namun, di balik bayang-bayang beringin yang mati, simbol retaknya realisme magis dengan trauma tersembunyi, tokoh Mudra tampil sebagai arketipe penjaga tradisi, menanamkan benih harapan bahwa gotong royong, yang sempat membusuk oleh kecurigaan bisa kembali bersemi.
Sosok-sosok gaib seperti genderuwo dan kuntilanak bukanlah sekadar hantu, melainkan manifestasi psikologis dari rasa bersalah dan dendam kolektif, dan proksi ketakutan tak bernama yang bersemayam dalam sanubari warga. Ia menjadi cermin dari luka sosial yang tak tersembuhkan oleh rasionalitas semata.
Di tengah pusaran ini, lanskap desa—sungai, sawah, dan pohon beringin—bertransformasi menjadi peta ingatan kolektif, merekam setiap tragedi dan emosi yang melukiskan narasi spiral dari desa damai menuju dunia tak bernama.
Rangkaian esai ini menyisipkan pesan untuk membebaskan diri dari ketakutan. Dan ketika pada masa pasca-pandemi, sastra—melalui platform daring—menciptakan ruang hening untuk merenung, di mana kita tak lagi sendiri.



Post a Comment