-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Übermensch dan Emansipasi Hukum: Terbang Tinggi di Langit Nilai

 

Penulis: Anom Surya Putra, Advokat

ARKANA~ Lanskap hukum semakin menyerupai mesin tua yang berderak, berulang, dan kehilangan arah. Di tengah lanskap hukum itu pertanyaan mendasar kembali mengemuka: apakah penegak hukum hanya roda dari sistem yang usang, atau bisa menjadi pencipta nilai baru? Dalam tulisan sebelumnya, saya mencoba menjalin benang merah antara pemikiran Nietzsche dan praktik hukum di Indonesia. Respons salah satu pembaca melalui WhatsApp tertuju pada pentingnya figur Übermensch sebagai inspirasi untuk membuka ruang refleksi yang lebih dalam dan lebih berani.

Nietzsche bukan filsuf hukum dalam arti konvensional. Ia tidak menyusun teori keadilan atau sistem normatif. Namun, justru dalam penolakannya terhadap nilai-nilai lama, kita menemukan keberanian untuk membayangkan hukum sebagai medan transformasi. Dalam On the Genealogy of Morals, Nietzsche mengkritik "moral kawanan", moralitas yang lahir dari kelemahan, dendam, dan penundukan terhadap norma kolektif. Ia menyebutnya sebagai moralitas budak (slave morality), yang menuntut keseragaman dan menolak keberanian untuk berpikir sendiri.

Dalam konteks hukum, moral kawanan menjelma menjadi birokrasi yang menumpulkan nurani, prosedur yang menafikan keadilan substantif, dan tafsir hukum yang hanya mengulang dogma lama. Hukum, alih-alih menjadi ruang pembebasan, justru menjadi lembah nyaman yang gelap, tempat bagi banyak penegak hukum berhenti mendaki dan memilih diam. Di lembah itu, keadilan tak lagi diperjuangkan, hanya diadministrasikan.

Nietzsche mengajak kita untuk mendaki keluar dari lembah itu. Ia memperkenalkan Übermensch dalam Thus Spoke Zarathustra sebagai figur yang berani menafsir ulang dunia, melampaui nilai-nilai lama, dan menciptakan makna baru. Übermensch bukan elit yang menindas, melainkan seperti elang yang terbang tinggi di langit nilai. Elang yang mengamati dengan tajam, memilih arah dengan bebas, dan menolak terikat oleh kawanan di bawah. Ia adalah individu yang tidak tunduk pada nilai yang diwariskan secara pasif, melainkan menafsir ulang dunia secara aktif dan kreatif.

Man is something that shall be overcome,” sabda Nietzsche. Kalimat ini bukan seruan untuk meninggalkan kemanusiaan, melainkan ajakan untuk melampaui keterbatasan yang ditanamkan oleh sistem nilai lama. Dalam kerja advokasi dan penegakan hukum, Übermensch adalah sosok yang menolak menjadi roda dari sistem yang usang. Ia seperti ular yang menanggalkan kulitnya, meninggalkan prosedur yang kaku dan dogma yang mati demi menghidupkan hukum sebagai ruang tafsir yang komunikatif dan reflektif.

Lebih dari sekadar keberanian individual, Übermensch adalah figur yang menjalani "kehendak untuk berkuasa" sebagai energi kreatif. Dalam Ecce Homo, Nietzsche menulis tentang Amor Fati, mencintai takdir dan menjadikannya ladang transformasi. Penegak hukum yang emansipatoris adalah api: ia membakar dogma lama sekaligus menerangi jalan bagi keadilan yang belum lahir. Ia tidak menunggu sistem berubah, tetapi menjadi titik mula perubahan itu sendiri.

Dalam konteks hukum Indonesia, Übermensch bisa hadir sebagai hakim yang menolak vonis mekanistik dalam perkara yang sarat tekanan politik, sebagai advokat yang menolak kompromi terhadap nurani dalam kasus yang menyangkut hak hidup, atau sebagai aktivis yang menolak tunduk pada logika kekuasaan ketika berhadapan dengan regulasi yang menindas. Ia bukan revolusioner yang membakar sistem, tetapi pembaru yang menyalakan kembali makna hukum sebagai medium emansipasi.

Namun, menjadi Übermensch bukan perkara retoris. Ia bukan gelar, melainkan proses. Ia menuntut keberanian eksistensial untuk berdiri di luar kawanan, menanggung kesepian tafsir, dan tetap memilih keadilan meski jalan menuju ke sana tidak diaspal oleh sistem. Ia adalah pendaki yang menolak tinggal di lembah, pembakar yang tidak takut menjadi terang, dan penafsir yang tidak tunduk pada teks mati.

Respons pembaca yang mengusulkan agar Übermensch dibaca bukan sebagai elit baru, tetapi sebagai individu yang berani menafsir ulang nilai demi keadilan, sangat sejalan dengan semangat ini. Di tengah stagnasi hukum, dibutuhkan figur yang tidak hanya memahami hukum, tetapi juga berani menghidupkannya kembali sebagai ruang pembebasan.

Hukum bukan warisan yang harus dijaga mati-matian, melainkan medan tafsir yang hidup. Nietzsche mengajak kita untuk tidak tunduk pada nilai yang sudah mapan, tetapi untuk menciptakan nilai baru yang lebih jujur terhadap kehidupan. Dan barangkali, hukum hanya akan hidup kembali jika kita berani menjadi api, bukan untuk membakar, tetapi untuk menerangi jalan keadilan yang belum ditemukan.*

2

2 comments

  • Umbu Pajaru Lombu
    Umbu Pajaru Lombu
    September 13, 2025 at 9:17 PM
    Saya merasa tergerak membaca bagaimana tulisan sebelumnya disambut dan ditafsir secara begitu mendalam. Ketika saya menyinggung pentingnya figur Übermensch dalam konteks hukum, bukan dalam kerangka keagungan individual semata, melainkan sebagai dorongan eksistensial untuk #berani , berani keluar dari narasi lama, dari prosedur yang beku, dan dari ketundukan yang tak lagi bermakna.

    Dalam respons ini, saya melihat tafsir Nietzsche yang tidak hanya filosofis, tetapi juga praksis. Hukum, sebagaimana disampaikan, bukan sekadar sistem normatif yang diwariskan, melainkan medan perjuangan nilai yang hidup. Di sanalah keberanian untuk berpikir ulang, bahkan untuk menafsir ulang, menjadi sangat penting.

    Nietzsche, dalam segala keliarannya, barangkali sedang berbisik ke kita hari ini: bahwa penegak hukum yang sungguh adil tidak akan pernah nyaman berada di tengah kerumunan yang diam. Ia harus rela berjalan sendiri, membawa bara tafsir yang kadang tak disukai, namun tetap menyala demi keadilan yang lebih jujur.

    Semoga diskusi ini terus membuka ruang baru, tidak hanya bagi kami yg secara otodidak belajar secara alamiah tentang hukum akibat kegaduhan yg muncul dari dalam rumah hukum dan keadilan, ataupun tdk hanya utk mrk yg sebagai insan akademik dan praktisi hukum, tetapi juga bagi generasi yang akan datang. Sebab seperti yang dikatakan: hukum yang tidak hidup, tidak akan mampu menghidupkan.
    • Umbu Pajaru Lombu
      Rumah Labirin Arkana
      September 15, 2025 at 6:07 PM
      Respons yang mendalam. Inspirasi untuk pembaca lainnya dan menyemangati Rumah Arkana untuk menyebarkan gagasan reflektif.
    Reply