-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Metamorfosa Senja

Ditulis oleh Sri Sulastry, Pelalawan, Riau

ARKANA~ Senja sesaat menghukum perang antara sirkulasi udara, di balik gerimis yang memutar balik arah pelangi, tepat saat sunset di atas sungai berair merah, yang tak lagi tampak di kedipan mata.

Angin sepoi-sepoi menghardik langkah terjal. Pertanda hujan turun. Seketika itu punggung lelaki itu tak tampak lagi oleh pandangku. Mungkin langkahku yang kurang laju atau dia yang terlalu terburu-buru. Gagal lagi melihatnya dengan sayu. 

Sekejap saja kedip mataku. Dia pergi tanpa rela sejenak. Yang sudah lama kukagumi. Laki-laki berkepala tiga penuh talenta. Tak cukup banyak harta. Sikap sahajanya yang membuat obsesiku berjelaga untuk mencari profilnya hingga di semenanjung senja. Dia kukagumi dengan banyak ruang dedikasinya.

Byurrrrr .

Batu besar terpelanting ke arah sungai di dekatku. Terbelalak mataku oleh khayal yang menyapu intuisi. 

Lelaki yang kukagumi tiba-tiba putar arah kembali di depanku. Menyapa dengan ramah dan beriba. “Segera pulang, hari mau hujan, nanti pulangmu kesorean”.  Jantungku berdebar seketika. Nadiku bekerja lebih kuat dari biasanya. Baiklah aku sedang berteduh. Salah jawaban karena gugup. Hujan belum saja sampai di sisiku. Rasanya mukaku memerah, lalu padam. Gemetar disapa lelaki yang baik dan ramah yang menjadi idamanku. 

Perlahan motorku melaju. Yang haru biru memandu pengantar pulangku. Ternyata lelaki itu mengiring langkahku tiba sampai rumah. Tanpa sapa dia lalu pergi tanpa kata. Aku masih menikmati perjalanan tanpa kata dengan napasnya. Badai hampir saja pergi. Sesampai di rumah, hujan petir menyambar, lalu bagaimana dengan lelaki pujaanku yang dingin menyikapiku? Terjebak hujan? Ah, sudahlah. Kucoba beranikan diri menghubunginya melalui telepon. 

Tiba-tiba, duar duar.. Suara petir menyambar. Sekejap ponsel kumatikan. Hujan deras mengayunku hingga tertidur lelap hingga pagi. 

Telolet. Suara khas bus harian dan tahunan menyergap langkah sore ini. Menyeret asa untuk sampai pada titik suara. Hasratku memastikan bahwa angkutan itu membawa sepasang mataku untuk melihat kepergian Jingga. 

Angin sepoi-sepoi sore itu. Udara terasa panas dan iba. Seolah memastikan penuh isi perasaanku dan Jingga. Kita dipisahkan oleh kunjara sunyi, senyum tipis di balik jendela bus besar, di dekat asrama. 

Akhirnya langkahku sampai pada pintu bus yang terjaga. Berpamitan dengan wajah sederhana. Bertemu dengan bapak ibu di ruang kaca. Bersalaman dan mengacungkan tangan perpisahan. Tentang kita yang tak lagi sama. Tak mampu menoreh kisah yang lama. Tak ada lagi yang menungguku sepulang kuliah di ujung asrama. Melepasmu di bus itu sama seperti melepas kepergian sang kekasih. 

Ada iba dan air mata meskipun pada napasmu masih menyimpan namaku. Bersalaman dengan Jingga untuk pertama dan terakhir kalinya. Membaca langkahmu menapaki altar perpisahan. Tergores tangis sore itu ketika sedang mengantarmu. Pesonamu menghalangi sendu. Sesaat mengibar asa, jauh di pulau jawa. Tentang cerita bapak ibumu yang memesan pengharapan terhadapmu. Perpisahan dan buku-buku klasik sebagai saksi bisu di antara kita. Sepasang manusia dengan hobi yang sama dan emosi yang berbeda. Tak ada tugas lain selain membaca dan belajar di antara aku dan Jingga. 

Adzan maghrib hampir tiba. Suara celoteh manusia diam seketika. Keberangkatan bus yang memisahkan empat pasang mata. Bisikan Jingga seketika membuat seluruh buluku tertata berdiri semua, bisiknya, “Tunggu sampai aku pulang membawa toga dan cawan emas yang kau jaga”. 

Hahahahaha. Kita sepasang manusia ego tanpa buta warna yang bersaing tanpa kata darling. 

Bisikmu pulas di telingaku hingga perjalananmu tak mampu terlihat di kelopak mata.

Ya! Sore ini perpisahan itu terjadi, mengumpulkan segala nyawa, dan Jingga sudah usai dipandang mata. 

Beberapa hari berlalu terdengar berita dari Jingga. Surat yang menyita paksa retina.

Surat pertama dari Jingga.  

Hai apa kabar Senja? Apa kabar mimpi kita? Adakah di sana yang merindukanku selain dirimu di asrama kita? Perdengarkan aku kepada hujan tentang sepi yang menggema, tentang hawa yang menggigit pori-pori dan epidermis bermanja-manja. Telah kudengar salam dari Senja yang jauh di sana, sapamu bak savana dedaunan, menyejuk tenteram dalam sepi menghujam. Darimu yang jauh dari alam pandang, perdengarkan aku kepada malam, diorama nestapa yang keliru datang, di saat asa tak mampu kita kayuh bersama, asa yang kita titip kepada semesta, janjiku yang masih sama mengabulkan cita pada pengharap toga. Kuharap Senja tetap melalang buana seperti yang dulu kurindukan. Jangan cemas dan risau, aku tetap menjadi diriku meski dalam perantauan. Hatur salam darimu menyapu halaman-halaman itu, seolah kau sedang mengantar segepok semangat dan segumpal asa. Perdengarkan aku kepada hujan gerimis kali ini seperti sajak yang mengundangmu hadir dalam sekat-sekat sepiku. Merobek pilu menyejuk gerah batinku. Lalu bilamana terjadi? Masihkah sanggup menungguku? 

Kediri, 24 April 2012.

0

Post a Comment