-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Adjudikasi di MK: Hermeneutika Hukum, Realisme Hukum, dan Positivisme Hukum

ANOM SURYA PUTRA, Advokat

ARKANA~ Dalam praktik adjudikasi modern, terutama dalam konteks pengujian hasil pemilu (PHPU dan PHPUKADA) dan sengketa konstitusional (PUU), pengambil keputusan hukum dihadapkan pada dilema antara kepastian hukum dan keadilan substantif. Di satu sisi, hukum harus mampu menstabilkan ekspektasi warga negara melalui prosedur yang sah dan dapat diandalkan (certainty). Di sisi lain, hukum juga dituntut untuk menjawab tuntutan keadilan yang tidak selalu dapat dirumuskan dalam bentuk norma positif (rightness). 

Dalam karya monumentalnya Between Facts and Norms (1996), Jürgen Habermas menguraikan tiga pendekatan besar dalam teori hukum yaitu positivisme hukum, hermeneutika hukum, dan realisme hukum. Masing-masing pendekatan menawarkan solusi parsial terhadap masalah rasionalitas dan legitimasi dalam adjudikasi. Artikel ini membandingkan ketiganya secara sistematis, sekaligus menjelaskan istilah-istilah kunci yang menjadi fondasi konseptual dalam praktik hukum yang deliberatif.

Untuk memahami ketegangan ini, tulisan ini menjelaskan terlebih dahulu beberapa istilah kunci yang menjadi poros perdebatan.

Pertama, subsumsi. Suatu proses logis yang mana fakta atau kasus dimasukkan ke dalam kategori hukum berdasarkan norma yang berlaku. Dalam model adjudikasi konvensional, hakim melakukan subsumsi fakta ke dalam norma hukum yang relevan.

Kedua, rightness. Kebenaran normatif atau keadilan substantif dari suatu keputusan hukum. Berbeda dari legalitas formal, rightness menuntut pembenaran rasional terhadap isi norma.

Ketiga, certainty atau kepastian hukum. Kemampuan hukum untuk memberikan prediktabilitas dan stabilitas dalam pengambilan keputusan.

Keempat, Topos/Topoi: Titik pijak argumentatif yang berasal dari tradisi etis dan praktik historis. Dalam hermeneutika hukum, topoi menjadi sumber nilai dan prinsip yang membimbing interpretasi.

Dengan pemahaman ini, kita dapat menelaah ketiga pendekatan secara lebih tajam dan reflektif.

1. Positivisme Hukum: Kepastian melalui Prosedur Formal

1.1 Karakteristik Utama

Positivisme hukum, sebagaimana dikembangkan oleh Hans Kelsen dan H.L.A. Hart, berangkat dari asumsi bahwa sistem hukum harus otonom, tertutup, dan bebas dari pengaruh prinsip-prinsip moral atau tradisi etis eksternal. Validitas hukum ditentukan semata-mata oleh prosedur pembentukan hukum yang sah, bukan oleh isi normatif atau rasionalitas substantif. Dalam kerangka ini, hukum dibedakan secara tegas dari politik dan moralitas.

Kelsen mengusulkan konsep Grundnorm (norma dasar) sebagai titik awal sistem hukum, sedangkan Hart memperkenalkan rule of recognition sebagai mekanisme untuk mengidentifikasi norma yang sah (geltendes Recht). Kedua konsep ini menjadi fondasi sistem hukum, meskipun tidak dapat dibenarkan secara rasional. Konsep utama itu diterima sebagai fakta sosial yang mapan, mirip dengan tata bahasa (grammar) dalam permainan bahasa Wittgenstein.

Dalam pendekatan ini, adjudikasi dipahami sebagai proses subsumsi: hakim mengidentifikasi norma hukum, lalu menentukan apakah fakta kasus memenuhi unsur-unsur norma tersebut. Rasionalitas hukum diukur dari legalitas prosedural, bukan dari rightness atau keadilan substantif. Certainty menjadi tujuan utama: hukum harus dapat diprediksi dan diandalkan.

1.2 Rasionalitas dan Legitimasi

Dalam pendekatan positivis, rasionalitas hukum diukur dari legalitas prosedural, bukan dari isi normatif, keadilan substantif atau rightness. Legitimasi sistem hukum bergantung pada asal-usul normatif yang diterima secara sosial, bukan pada pembenaran rasional terhadap isi norma. Dalam kasus-kasus sulit (hard cases), positivisme mengakui bahwa hakim harus menggunakan diskresi, tetapi diskresi ini tidak dibenarkan secara normatif, melainkan dianggap sebagai konsekuensi dari ketidakjelasan bahasa hukum.

1.3 Kritik Habermas

Habermas mengkritik positivisme karena mengorbankan rightness demi certainty. Dengan mengikat validitas hukum pada prosedur dan asal-usulnya, positivisme menciptakan solusi yang asimetris terhadap masalah rasionalitas: keadilan substantif dikalahkan oleh sejarah dan prosedur. Dalam praktik adjudikasi, pendekatan ini berisiko mengabaikan tuntutan keadilan yang muncul dari konteks sosial dan politik yang kompleks. Sementara itu, dalam kasus-kasus sulit, yang mana norma tidak cukup spesifik, hakim harus menggunakan diskresi sebagai konsekuensi dari ketidakjelasan bahasa hukum. Habermas mengingatkan, positivisme gagal menjawab tuntutan keadilan dalam masyarakat pluralistik yang kompleks.

2. Hermeneutika Hukum: Pemahaman melalui Tradisi dan Interpretasi

2.1 Karakteristik Utama

Hermeneutika hukum menolak model konvensional adjudikasi sebagai subsumsi kasus ke dalam norma. Dengan kata lain, hermeneutika hukum menolak model adjudikasi sebagai subsumsi mekanis. Sebaliknya, ia menghidupkan kembali wawasan Aristotelian bahwa tidak ada aturan yang mampu mengatur penerapannya sendiri. Dalam pendekatan ini, kasus tidak dianggap sebagai fakta yang sudah ada, melainkan sebagai konstruksi yang muncul melalui proses interpretasi terhadap norma dan keadaan faktual.

Interpretasi dimulai dari prapemahaman (preunderstanding) yang dibentuk oleh tradisi etis dan topoi historis. Proses ini bersifat sirkular: norma dan keadaan saling menentukan dan memperjelas satu sama lain. Rasionalitas adjudikasi dalam hermeneutika diukur dari kemampuan hakim untuk mengkonkretkan norma melalui prinsip-prinsip yang diwariskan dan telah teruji dalam praktik.

2.2 Rasionalitas dan Legitimasi

Hermeneutika menawarkan solusi terhadap masalah rasionalitas dengan mengontekstualisasikan alasan dalam sejarah dan tradisi. Legitimasi keputusan hukum berasal dari prinsip-prinsip yang belum menjadi norma, tetapi telah teruji dalam Wirkungsgeschichte—sejarah efektif dari bentuk-bentuk hukum dan kehidupan yang diwariskan. Dalam pendekatan ini, diskresi hakim dibimbing oleh prinsip yang bersumber dari tradisi etis yang hidup.

Rasionalitas adjudikasi diukur dari kemampuan hakim untuk mengkonkretkan norma melalui prinsip-prinsip yang diwariskan dan telah teruji dalam praktik. Topoi menjadi titik pijak argumentatif yang membimbing interpretasi dan membentuk legitimasi keputusan. Rightness menjadi pusat rasionalitas, meskipun certainty tetap penting.

2.3 Kritik Habermas

Habermas mengakui kekuatan hermeneutika dalam menjawab tuntutan keadilan substantif, tetapi juga mencatat kelemahannya dalam masyarakat pluralistik. Dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai sistem kepercayaan, topos yang dianggap sahih oleh satu kelompok bisa dianggap sebagai ideologi oleh kelompok lain. Hal ini menimbulkan risiko relativisme dan ketidakmampuan membangun konsensus normatif lintas kelompok. Meskipun hermeneutika menawarkan kedalaman interpretatif, ia menghadapi tantangan dalam membangun legitimasi universal.

3. Realisme Hukum: Kekuasaan melalui Fakta Sosial dan Diskresi Hakim

3.1 Karakteristik Utama

Realisme hukum, termasuk Freirechtsschule dan Interest Jurisprudence, berangkat dari pengamatan bahwa keputusan hukum sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti latar belakang sosial, psikologis, dan politik hakim. Dalam pendekatan ini, hukum tidak lagi dipandang sebagai sistem normatif yang otonom, melainkan sebagai instrumen kontrol perilaku untuk mencapai tujuan politik atau ekonomi. Subsumsi menjadi ilusi, karena keputusan tidak lagi bergantung pada norma yang stabil.

Realisme tidak menolak nilai deskriptif dari hermeneutika, tetapi menilai prapemahaman (preunderstanding) sebagai produk dari kondisi sosial yang dapat dijelaskan secara empiris. Keputusan hakim dipahami sebagai hasil dari diskresi yang dipengaruhi oleh kepentingan, ideologi, dan struktur kekuasaan.

3.2 Rasionalitas dan Legitimasi

Rasionalitas dalam pendekatan realistis dijelaskan secara kausal, bukan dibenarkan secara normatif. Legitimasi hukum bergantung pada nilai-nilai yang dianggap wajar oleh hakim, bukan pada sistem hukum itu sendiri. Certainty menjadi rapuh, karena keputusan hukum bergantung pada preferensi dan posisi sosial hakim. Dalam masyarakat pluralistik, pendekatan ini menawarkan penjelasan yang jujur terhadap praktik adjudikasi, tetapi berisiko mengikis legitimasi hukum secara keseluruhan.

3.3 Kritik Habermas

Habermas mengkritik realisme karena menghilangkan logika internal hukum dan idealisasi partisipan. Jika hukum sepenuhnya dipahami sebagai produk kekuasaan, maka tidak ada lagi dasar untuk menuntut konsistensi atau keadilan dalam adjudikasi. Skeptisisme ekstrem dalam pendekatan ini berisiko meruntuhkan fungsi dasar hukum sebagai penstabil ekspektasi sosial.

4. Sintesis: Rasionalitas Adjudikasi yang Deliberatif

Ketiga pendekatan di atas menawarkan solusi parsial terhadap masalah rasionalitas dan legitimasi dalam adjudikasi. Positivisme menjamin kepastian, tetapi lemah dalam keadilan substantif. Hermeneutika menawarkan kedalaman interpretatif, tetapi rentan terhadap relativisme. Realisme membuka mata terhadap kekuasaan, tetapi berisiko menghilangkan legitimasi hukum.

Habermas mengusulkan pendekatan alternatif: rasionalitas komunikatif. Dalam pendekatan ini, adjudikasi dipahami sebagai proses deliberatif yang melibatkan partisipasi publik, argumentasi rasional, dan pembenaran normatif yang dapat diuji secara intersubjektif. Rasionalitas hukum tidak hanya berasal dari prosedur atau tradisi, tetapi dari kemampuan sistem hukum untuk menjawab tuntutan keadilan dalam ruang publik yang terbuka dan reflektif.

5. Penutup

Dalam menghadapi kompleksitas masyarakat demokratis dan pluralistik, adjudikasi tidak dapat bergantung pada satu pendekatan teori hukum saja. Positivisme, hermeneutika, dan realisme masing-masing menawarkan wawasan penting, tetapi juga memiliki keterbatasan. Untuk menjaga legitimasi dan rasionalitas adjudikasi, sistem hukum harus mampu mengintegrasikan kepastian prosedural, kedalaman interpretatif, dan kesadaran akan kekuasaan dalam satu kerangka deliberatif yang komunikatif.

Adjudikasi bukan sekadar subsumsi atau diskresi, melainkan proses pemaknaan yang menuntut tanggung jawab publik dan etis. Dalam konteks Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), PHPU Kepala Daerah (PHPUKADA) dan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang (PUU), pendekatan ini menjadi semakin relevan: hukum harus menjadi medium komunikasi yang adil, bukan sekadar instrumen kekuasaan atau tradisi yang tak terbantahkan.*

0

Post a Comment