![]() |
Rony K. Pratama, Dosen Komunikasi Terapan di Universitas Sebelas Maret |
ARKANA~ Politik berubah radikal dalam setahun terakhir. Dari demonstrasi menuntut pembubaran DPR di Jakarta Agustus 2025 hingga pemilihan perdana menteri melalui Discord di Nepal September 2025, media digital telah menciptakan arena komunikasi politik yang menantang teori klasik ruang publik
Jürgen Habermas menulis tentang ruang publik borjuis pada 1962. Ia membayangkan kedai kopi London atau salon Paris abad ke-18 sebagai tempat ideal diskusi politik. Warga berkumpul. Bertukar ide. Mencapai konsensus melalui kekuatan argumen. Bukan otoritas tradisional atau ekonomi.
Enam puluh tiga tahun kemudian, kenyataan jauh lebih kompleks. Ruang publik telah bermigrasi ke platform digital. Demonstrasi Jakarta 25-29 Agustus 2025 dimulai antara lain dari protes tunjangan gendut DPR. Media sosial memobilisasi massa. Koordinasi lintas kampus terjadi dalam hitungan jam. Yang awalnya kritik terhadap kebijakan fiskal berubah menjadi kerusuhan jalanan. Konon ada “the other” yang turut dijadikan kambing hitam.
Sementara Nepal menghadirkan fenomena yang lebih radikal. Setelah protes anti-korupsi menumbangkan pemerintahan, aktivis Gen Z menggunakan Discord untuk memilih Sushila Karki sebagai perdana menteri interim. Lebih dari 7.700 suara diperhitungkan sebelum Karki melampaui threshold 50 persen. Mantan Ketua Mahkamah Agung berusia 73 tahun ini kemudian diambil sumpah pada 12 September 2025.
Dua kasus ini memperlihatkan transformasi fundamental komunikasi politik. Teori ruang publik Habermas menghadapi ujian empiris yang belum pernah ada sebelumnya.
Mediasi Digital dan Kolonisasi Lifeworld
Habermas dalam "Theory of Communicative Action" membedakan sistem dan lifeworld. Sistem beroperasi melalui logika uang dan kekuasaan. Lifeworld adalah ranah komunikasi sehari-hari yang berorientasi pada pemahaman bersama. Masalah terjadi ketika logika sistemik mengkolonisasi lifeworld.
Platform digital mempercepat kolonisasi ini. Ajakan demo pembubaran DPR menyebar lewat media sosial selama berminggu-minggu sebelum eksplosi 25 Agustus. Algoritma menentukan siapa yang melihat konten apa. Filter bubble menguat. Echo chamber terbentuk. Deliberasi rasional yang dibayangkan Habermas tergantikan oleh polarisasi yang dipercepat teknologi.
Akan tetapi, kasus Nepal memperlihatkan potensi berbeda.
Server Discord "Youth Against Corruption" mencapai 100.000 anggota, menjadi salah satu pertemuan sipil daring terbesar Nepal. Platform gaming yang dirancang untuk koordinasi tim ternyata dapat memfasilitasi deliberasi politik. Struktur server Discord memungkinkan diskusi terorganisir. Moderasi komunitas mencegah spam atau trolling. Voice channel memungkinkan debat langsung (real-time).
Perbedaannya terletak pada desain platform dan kultur pengguna. Media sosial arus utama mengoptimalkan pelibatan melalui kontroversi. Discord mengoptimalkan koordinasi melalui kolaborasi. Habermas mungkin barangkali melihat Discord sebagai "ideal speech situation" yang lebih mendekati cita-citanya dibanding Twitter atau Facebook.
Legitimasi dalam Era Platform
"Between Facts and Norms" besutan Habermas tahun 1996 mengeksplorasi hubungan antara faktisitas hukum dan validitas normatif. Hukum memperoleh legitimasi melalui prosedur demokratis yang memungkinkan partisipasi warga. Tapi apa yang terjadi ketika prosedur demokratis itu sendiri dimediasi oleh platform komersial?
Sushila Karki diambil sumpah sebagai PM interim dengan mandat menyelenggarakan pemilu pada Maret 2026. Legitimasinya hibrid: berasal dari konsensus digital aktivis Gen Z, lalu diratifikasi oleh institusi formal seperti presiden dan militer. Ia sesungguhnya menunjukkan "two-track democracy" Habermas, yakni demokrasi memerlukan jalur informal (civil society) dan formal (institusi negara).
Indonesia memperlihatkan kegagalan konsolidasi jalur informal. Demo 25 Agustus kondusif hingga sore, lalu ricuh ketika massa memanjat pagar DPR dan merusak fasilitas. Fragmentasi geografis—demo terjadi di berbagai kota—mempersulit pembentukan agenda politik koheren. Media sosial memfasilitasi mobilisasi tapi tak konsensus.
Perbedaan luaran kedua kasus ini menunjukkan pentingnya desain kelembagaan. Nepal memiliki figur Sushila Karki yang kredibel sebagai focal point. Rekam jejaknya sebagai hakim yang independen memberikan legitimasi moral. Indonesia tidak memiliki figur serupa. Protes tetap tersebar tanpa kepemimpinan yang jelas. Apa memang kecenderungan nir-kepimpinan ini sekadar diserahkan pada artikulasi di akar rumput?
Refeudalisasi dan Demokratisasi Ruang Publik
"Structural Transformation of the Public Sphere" menganalisis bagaimana ruang publik borjuis mengalami refeudalisasi. Media massa komersial mengubah warga dari peserta aktif menjadi konsumen pasif. Politik menjadi spektakel, bukan deliberasi.
Platform digital mempercepat tren ini. Algoritma menciptakan filter bubble yang mengisolasi komunitas politik. Pesohor menggantikan intelektual publik. Viralitas menggantikan rasionalitas sebagai ongkos komunikasi. Namun, kasus Nepal memperlihatkan kemungkinan demokratisasi.
Aktivis Nepal melakukan mengajukan pertanyaan sulit kepada para pemimpin protes ("difficult questions for protest leaders") dan berusaha menghubungi calon perdana menteri secara langsung ("attempts at reaching out to potential prime minister candidates in real time") (Al Jazeera). Proses ini lebih transparan dan partisipatif ketimbang politik parlemen tradisional. Setiap peserta bisa mengajukan pertanyaan. Setiap argumen bisa ditanggapi langsung.
Tentu saja, Discord juga platform komersial. Kendatipin, logika bisnis gaming berbeda dengan media sosial. Gaming mengutamakan kolaborasi dan pencapaian tujuan bersama. Media sosial mengutamakan kompetisi dan konsumsi konten. Perbedaan ini menciptakan kultur komunikasi yang berbeda pula.
Habermas menekankan, konsensus hanya valid jika dicapai melalui kekuatan argumen terbaik. Peserta diskusi harus bebas dari koersi eksternal. Akses harus terbuka bagi semua yang terkena dampak. Klaim-klaim harus dapat dikritik dan dipertanggungjawabkan.
Nepal mendekati kondisi ideal ini lebih baik dibanding Indonesia. Sushila Karki dipilih karena dihormati atas kejujuran dan independensinya selama menjabat sebagai ketua mahkamah agung. Pilihan berdasarkan merit dan rekam jejak, bukan popularitas atau koneksi politik. Proses voting relatif transparan walaupun informal.
Tatkala massa turun ke jalan, energi politik hendaknya terkanalisasi ke agenda reformasi konkret. Jangan sampai terjadi sekadar ledakan amarah yang merusak legitimasi protes itu sendiri.
Jangan sampai pula media sosial makin memperburuk keadaan. Terlebih terjerembab pada logika viralitas yang cenderung mengutamakan konten yang memicu emosi (biasanya kemarahan atau ketakutan) ketimbang argumen rasional. Pasalnya, kita telah terkondisikan oleh suatu logika platform yang gampang mereproduksi sensasionalisme atawa gimik.
Discord tetaplah perusahaan kapitalis yang beroperasi untuk profit. Penggunaan platform gaming untuk memilih pemimpin negara memperlihatkan seberapa jauh infrastruktur komunikasi dikuasai big tech. Apa yang terjadi jika Discord mengubah algoritma atau kebijakan moderasi? Bagaimana jika server di-ban atau di-hack?
Ketergantungan pada platform komersial menciptakan kerentanan sistemik. Habermas akan menyebut ini sebagai bentuk kolonisasi lifeworld yang lebih subtil namun lebih total. Komunikasi politik tak lagi terjadi di ruang netral seperti kedai kopi atau balai kota, tetapi di platform yang dikontrol korporasi dengan agenda bisnis tertentu.
Infrastruktur komunikasi publik—media massa, ruang publik fisik, institusi deliberatif—telah mengalami erosi. Platform digital, sekalipun problematik, tetap menjadi satu-satunya medium yang memungkinkan koordinasi politik massal dalam skala nasional.
Prospek Demokrasi Deliberatif
Pengalaman Indonesia dan Nepal menunjukkan bahwa masa depan demokrasi tak terletak pada nostalgia terhadap ruang publik klasik. Teknologi digital telah mengubah fundamental kondisi komunikasi politik. Pertanyaannya bukan apakah perubahan ini baik atau buruk, melainkan bagaimana mengoptimalkan potensi demokratisnya sambil meminimalkan risiko manipulasi.
Kunci terletak pada desain institutional. Platform perlu dirancang untuk memfasilitasi deliberasi, bukan hanya mobilisasi. Algoritma perlu mengutamakan kualitas argumen, bukan popularitas konten. Moderasi perlu menjaga standar diskusi publik tanpa membatasi kebebasan berpendapat.
Yang lebih penting, literasi komunikasi politik perlu diperkuat. Warga perlu memahami bagaimana platform digital bekerja. Bagaimana algoritma membentuk persepsi. Bagaimana filter bubble terbentuk. Bagaimana membedakan informasi akurat dari misinformasi.
Nepal membuktikan betapa demokratisasi komunikasi politik melalui teknologi digital adalah mungkin. Akan tetapi, keberhasilannya bukan otomatis. Dibutuhkan desain institusi yang hati-hati, kultur politik yang matang, dan kepemimpinan yang kredibel.
Jangan sampai di Indonesia memperlihatkan risiko sebaliknya. Jikalau teknologi digital digunakan untuk mobilisasi tanpa deliberasi, yang terjadi adalah chaos politik yang kontraproduktif. Akan sayang bila energi demokrasi terbuang sia-sia.
Demokrasi tak sekonyong-konyong agregasi preferensi individual melalui voting. Demokrasi ialah proses pembentukan preferensi kolektif melalui komunikasi publik yang rasional. Platform digital dapat memfasilitasi proses ini. Tapi hanya jika dirancang dan digunakan dengan tepat. Apakah gagasan yang demikian terlalu utopis?
Dari jalanan Jakarta hingga server Discord, transformasi ruang publik terus berlanjut. Tantangannya adalah memastikan bahwa transformasi ini memperkuat, bukan melemahkan, prospek demokrasi deliberatif di era digital.*



Post a Comment