-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Judol dan Pikabu Stop, Saat Hasrat Mengalahkan Logika

Penulis: Rajendra Negara Kertagama, Mahasiswa Social Work, Delhi University (2023)

ARKANA~ Kita hidup dalam tarik-menarik antara hasrat dan logika. Sejak kecil hingga tua, dua kekuatan ini selalu hadir. Ada saat-saat ketika logika menang, menahan kita agar tidak gegabah. Namun tidak jarang pula hasrat begitu kuat hingga logika benar-benar lumpuh. Pertanyaannya sederhana tapi menohok: apakah hasrat bisa sepenuhnya mengalahkan logika? Jawabannya: iya, dan kita melihatnya setiap hari di sekitar kita.

Ilusi Kaya Sekejap

Fenomena judi online (JUDOL) yang makin merajalela adalah contoh paling nyata. Game seperti “PIKABU STOP! When home is no longer a sanctuary” bukan sekadar hiburan, melainkan refleksi sosial. Game ini menampilkan kisah tentang orang-orang yang terjebak dalam godaan JUDOL dengan berbagai kemungkinan akhir cerita. Pesannya jelas: keinginan untuk menggandakan uang dengan cepat begitu menggoda, sampai-sampai orang rela mempertaruhkan segalanya.

Orang-orang yang terjebak di dalamnya percaya bahwa uang bisa berlipat ganda hanya dengan sekali klik. Mereka merasa “pintar” karena menemukan jalan pintas yang lebih cepat daripada bekerja keras. Padahal, logika sederhana saja bisa membantah: jika memang mudah, mengapa penyelenggara JUDOL tetap kaya raya sementara pemainnya justru bangkrut? Namun hasrat instan untuk cepat kaya membuat pertanyaan logis ini tidak lagi relevan di mata mereka.

Dari Lust ke Absurd

Hasrat yang tidak terkendali melahirkan kemarukan. Dalam istilah lain bisa disebut lust—dorongan yang terus mendorong tanpa henti. Kita melihatnya pada orang yang terus bermain meski kalah berkali-kali. Sama halnya dengan komentar absurd di media sosial, di mana hal-hal remeh atau provokatif justru mendapat apresiasi berlebihan.

Ironinya, sesuatu yang normal justru dianggap luar biasa. Membantu orang kesusahan, yang mestinya bagian dari nilai kemanusiaan, dipuji seolah tindakan heroik. Fenomena ini memperlihatkan betapa standar logika moral kita bergeser karena hasrat publik akan sensasi dan validasi.

Ketika Figur Publik Pun Tumbang

Yang lebih mengkhawatirkan, figur-figur publik yang mestinya jadi teladan justru menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan akal sehat. Ada tokoh agama yang diagungkan meski kerap merendahkan orang lain. Ada polisi yang berlindung di balik istilah “oknum” ketika melakukan kesalahan. Belakangan, kita mendengar berita warga Indonesia yang terjebak kerja paksa di Kamboja akibat iming-iming pekerjaan bergaji besar. Semua ini mencerminkan hal yang sama: logika runtuh di hadapan hasrat yang membutakan.

Akar Masalah

Jika ditarik ke akarnya, banyak dari fenomena ini muncul karena ketidaktahuan. Minimnya pendidikan dan literasi membuat orang mudah terjerumus. Masyarakat tidak sadar bahwa JUDOL bukan hanya merusak finansial, tapi juga mental. Mereka tidak paham bagaimana sistem permainan sengaja dirancang untuk membuat pemain kecanduan. Akibatnya, korban bukan hanya individu itu sendiri, tapi juga keluarganya yang ikut menanggung kerugian dan trauma.

Yang ironis, orang-orang yang sadar justru sering dianggap salah. Mereka yang mencoba mengingatkan atau kritis sering dilabeli “sok pintar” oleh mayoritas yang mengikuti arus. Ketika orang banyak memilih jalan yang sama, logika minoritas dianggap keliru.

Disonansi Kognitif

Leon Festinger pada tahun 1957 memperkenalkan teori cognitive dissonance—kondisi ketidaknyamanan mental ketika seseorang memegang dua keyakinan yang bertentangan. Teori ini menjelaskan banyak hal.

Bayangkan seorang pemain JUDOL bernama Jono. Ia percaya setiap kali bermain, uangnya akan berlipat ganda. Keyakinan ini berlawanan dengan kenyataan: ia kalah berkali-kali. Untuk mengatasi ketidaknyamanan itu, Jono membuat pembenaran: “Yaelah, ngapain kerja? Gaji UMR nggak bakal bisa ngalahin duit gua dari JUDOL.” Atau bahkan, “Mending JUDOL daripada nipu orang lain.” Padahal, dua-duanya sama-sama tidak baik. Inilah bentuk disonansi kognitif—logika dipaksa diam agar tidak mengganggu keyakinan hasrat.

Hasrat yang Didukung Lingkungan

Ada tiga faktor utama yang membuat hasrat semakin mengalahkan logika.

Pertama, berita palsu. Promosi seperti “spin pertama pasti menang” atau “main sekali langsung kaya” adalah jebakan. Orang yang kurang kritis termakan oleh ilusi itu. Lebih parah lagi, pesan ini dibungkus dengan gaya bahasa yang meyakinkan dan viral di media sosial.

Kedua, tekanan teman sebaya. Lingkungan pertemanan memiliki pengaruh besar. Ketika mayoritas dalam tongkrongan bermain JUDOL, peluang seseorang untuk ikut serta meningkat drastis. Rasa takut ketinggalan (fear of missing out atau fomo) membuat logika dikorbankan demi diterima kelompok.

Ketiga, kurangnya pendidikan. Tanpa literasi digital dan finansial, orang tidak punya bekal untuk menolak godaan. Mereka mudah percaya, mudah ikut-ikutan, dan akhirnya mudah terjebak.

Lebih dari Sekadar Uang

Dampak JUDOL dan fenomena serupa bukan hanya soal kehilangan uang. Lebih dalam dari itu, ia merusak kesehatan mental, merenggangkan hubungan keluarga, dan menumbuhkan sifat agresif. Orang yang kecanduan tidak lagi peduli pada lingkungannya. Ia hidup dalam dunia sempit, di mana yang penting hanya hasratnya sendiri.

Game PIKABU STOP! menggambarkan hal ini dengan sangat gamblang: rumah yang mestinya jadi tempat aman berubah menjadi sumber kecemasan. Ini simbol betapa hasrat yang tak terkendali bisa menghancurkan ruang paling privat dalam hidup kita.

Saatnya Membuka Mata

Hasrat adalah bagian alami dari manusia, tapi ia tidak boleh dibiarkan menguasai logika. Tanpa pengendalian, hasrat berubah menjadi candu yang melumpuhkan nalar.

Kita butuh kesadaran kritis. Kita butuh pendidikan yang tidak hanya formal, tapi juga literasi digital dan finansial. Kita perlu berani mengingatkan, meski minoritas. Karena kalau tidak, kita hanya akan terus-menerus menjadi bangsa yang membiarkan logika dikalahkan oleh hasrat instan.

Pertanyaannya sekarang, mau sampai kapan kita menundukkan logika di hadapan hasrat yang selalu menjanjikan jalan pintas, tetapi ujungnya sama: kehancuran?

0

Post a Comment