ARKANA~ Dalam negara hukum demokratis, hukum bukan sekadar alat kekuasaan, melainkan hasil dari proses komunikasi rasional yang melibatkan warga sebagai subjek deliberatif. Jürgen Habermas menyebutnya sebagai “transformasi hukum dari fakta menjadi norma". Legitimasi tidak lahir dari kekuatan, tetapi dari diskursus publik yang inklusif dan reflektif. Hari ini, Indonesia menghadapi ujian berat: apakah kita masih percaya bahwa norma lebih penting daripada fakta?
Ketika TNI Menyentuh Ranah Sipil
Kemarin, Komandan Satuan Siber TNI Brigjen Juinta Omboh Sembiring mendatangi Polda Metro Jaya. Ia mengaku berkonsultasi untuk memperkarakan CEO Malaka Project, Ferry Irwandi, atas dugaan tindak pidana. Menurut Sembiring, satuannya menemukan beberapa fakta pelanggaran hukum oleh Ferry, meski ia sendiri gagal menghubungi Ferry secara langsung.
Ferry membantah klaim tersebut melalui akun Instagramnya. Ia menyatakan tidak pernah dihubungi dan siap menghadapi tuduhan dengan keberanian. Hari ini, AKBP Fian Yunus dari Direktorat Siber Polda Metro Jaya mengklarifikasi bahwa Sembiring berkonsultasi terkait pencemaran nama baik. Namun, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, pencemaran nama baik terhadap institusi tidak dapat diproses secara hukum—korban haruslah individu.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai langkah Sembiring telah melampaui kewenangan TNI. Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan serta kedaulatan negara. TNI bukan aparat penegak hukum, dan tidak seharusnya mengurusi dugaan tindak pidana sipil.
Dalam perspektif Habermas, tindakan Sembiring mencerminkan kolonisasi dunia kehidupan oleh sistem administratif. Ketika institusi militer memasuki ranah hukum sipil tanpa legitimasi diskursif, maka hukum kehilangan daya normatifnya. Respons Ferry di media sosial adalah ekspresi ruang publik digital yang seharusnya dilindungi, bukan direpresi.
Komunikasi Politik yang Nir Empati
Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, hari ini menyampaikan permohonan maaf atas komentarnya tentang tuntutan 17+8 dari masyarakat sipil. Sebelumnya, ia menyebut tuntutan itu sebagai suara “sebagian kecil rakyat yang hidupnya terganggu dan masih kurang.” Ia mengaku belum terbiasa menjaga tutur kata karena sebelumnya menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner LPS.
Komentar tersebut memicu kemarahan publik. Di media sosial, nama “Purbaya” trending, dengan warganet menyayangkan sikap seorang menteri yang dinilai tidak memiliki empati dan asal bicara.
Dalam kerangka Habermas, komunikasi politik harus memenuhi tuntutan validitas: kebenaran, ketepatan normatif, dan ketulusan. Pernyataan Purbaya gagal memenuhi ketiganya. Ketika pejabat publik berbicara tanpa refleksi normatif, mereka merusak kepercayaan warga terhadap institusi dan menanam benih kebencian di lahan luas.
Pasar Merah Merona
Penggantian mendadak Sri Mulyani oleh Purbaya mengguncang pasar. Rupiah jatuh tajam—terdepresiasi 1,04% ke level Rp 16.470/USD, bahkan sempat menyentuh Rp 16.495/USD secara intraday. Ini merupakan pelemahan harian terbesar sejak 8 April 2025. Di sisi lain, indeks dolar AS (DXY) hanya menguat tipis 0,03%.
Investor khawatir kredibilitas fiskal yang dibangun Sri Mulyani akan tergerus oleh arah kebijakan populis Prabowo. Hasnain Malik dari Tellimer dan Jason Tuvey dari Capital Economics mengkhawatirkan pelebaran defisit dan pelonggaran aturan fiskal. Akademisi seperti Ariyo Irhamna, Syafruddin Karimi, dan Vid Adrison menekankan pentingnya disiplin fiskal agar belanja negara tidak menjadi alat politik yang tak terkendali.
Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, berharap Purbaya mampu menjaga kesinambungan kebijakan dan menghadirkan langkah adaptif. Dunia usaha waswas, sebab jabatan menkeu bukan sekadar teknis, melainkan simbol kredibilitas negara.
Dalam perspektif Habermas, pasar merespons bukan hanya kebijakan teknis, tetapi juga sinyal normatif. Ketika kebijakan ekonomi kehilangan transparansi dan rasionalitas, maka kepercayaan publik dan investor pun runtuh. Lonjakan anggaran makan bergizi gratis (MBG)—dari Rp 71 triliun tahun ini menjadi Rp 268 triliun tahun depan—menunjukkan arah populis yang menekan ruang fiskal. Tanpa deliberasi publik yang memadai, kebijakan ini berisiko menjadi instrumen politik, bukan solidaritas.
Hukum dan Prosedur: Dialog atau Represi?
Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra dan wakilnya Otto Hasibuan hari ini berkunjung ke Polda Metro Jaya. Mereka berdialog langsung dengan para tahanan demonstrasi akhir Agustus, termasuk Direktur Lokataru, Delpedro Marhaen. Dari 1.400-an orang yang ditahan, kini tersisa 68 orang.
Penahanan massal tanpa transparansi adalah bentuk kekuasaan yang tidak komunikatif. Dalam demokrasi deliberatif, hukum pidana harus beroperasi dalam kerangka prosedural yang menjamin hak-hak warga sebagai subjek hukum. Dialog antara pejabat dan tahanan adalah langkah awal, tetapi harus diikuti dengan reformasi prosedural yang menjamin partisipasi dan keadilan.
Ruang Publik Digital: Antara Solidaritas dan Sentimen
Nama “Sri Mulyani” trending di X, menyusul suasana haru perpisahan di Kementerian Keuangan. Ia dianggap sebagai menteri paling kompeten selama ±15 tahun kepemimpinannya. Pegawai Kemenkeu menghadiahkan bunga mawar putih, dan Sri Mulyani tampak menitikkan air mata.
Di sisi lain, nama “Purbaya” juga trending, namun dengan sentimen negatif. Warganet menilai pernyataannya sebagai bentuk nir empati dan tidak mencerminkan kualitas seorang pemimpin.
Ruang publik digital menjadi arena deliberasi baru. Namun, tanpa jaminan prosedural dan respons institusional yang reflektif, suara warga hanya menjadi gema yang tak didengar.
Demokrasi yang Layak Diperjuangkan
Gejolak hari ini menunjukkan bahwa ekonomi tidak berdiri sendiri. Tanpa kepastian hukum dan politik yang berpihak pada warga, risiko arus modal keluar dan menurunnya daya beli rakyat akan semakin nyata. Lebih dari itu, demokrasi kita sedang diuji: apakah kita masih percaya bahwa hukum adalah hasil dari komunikasi rasional, bukan instrumen kekuasaan?
Legitimasi hukum hanya mungkin jika warga percaya bahwa mereka adalah penulis dari norma-norma yang mengikat mereka. Maka, tugas kita bukan hanya mengawasi, tetapi juga memperjuangkan ruang publik yang deliberatif, hukum yang prosedural, dan politik yang komunikatif.*
Post a Comment