ARKANA~ Mari kita mulai dari premis Žižekian: ideologi bukan sekadar kumpulan gagasan keliru yang terpikirkan oleh orang-orang bodoh, melainkan struktur simbolik yang kita jalani, bahkan ketika kita mengklaim sebagai “tidak berideologi”. Ideologi bukanlah “keyakinan yang salah”, melainkan cara kita membentuk kenyataan.
Sekarang, lihat pada peristiwa pembatalan aturan KPU No. 731 Tahun 2025, yang membatasi akses publik terhadap 16 jenis dokumen pasangan calon presiden dan wakil presiden. KPU “mendengarkan aspirasi banyak pihak”, demikian klaim resmi. Tapi Žižek mengingatkan kita: ideologi selalu menyembunyikan dirinya dalam bentuk “kebebasan formal”. Kita tampaknya bebas, tapi kebebasan tersebut adalah kebebasan yang disediakan oleh struktur kekuasaan yang sudah menetapkan batas-batasnya, apa yang boleh diakses publik, apa yang tidak.
Pembatalan itu tentu sesuatu yang positif dalam wacana demokrasi dan transparansi, namun kita harus bertanya lebih jauh: apa yang membuat KPU awalnya menerbitkan keputusan pembatasan itu? Apakah itu sekadar “kesalahan prosedural” yang kemudian dikoreksi oleh kritik masyarakat sipil dan beberapa anggota DPR? Atau adakah sesuatu yang lebih mendalam: suatu bentuk “tata ideologis” yang berupaya menyembunyikan “ketidaknyamanan” terhadap kandidat tertentu, atau mempertahankan wacana ketiadaan transparansi sebagai bentuk kontrol simbolik?
Di sinilah kita mulai melihat logika ideologis yang Žižek perhatikan: tindakan “membatasi akses publik” bukan hanya tindakan administratif, tetapi tindakan simbolis yang menciptakan suatu master-signifier tidak tertulis: “privasi kandidat presiden” atau “kewibawaan institusi penyelenggara pemilu”. Struktur ini bekerja seperti fantasi subliminal: publik boleh berpikir bahwa pembatasan informasi adalah demi keamanan atau kredibilitas, tapi fungsinya adalah menjaga jarak simbolik antara kekuasaan dan publik, antara elit politik dan massa.
Ketika pembatasan itu dicabut sebagai respons terhadap kritik publik, kita menyaksikan sebuah koreksi, tetapi jangan tertipu: ideologi bisa berubah bentuk alih-alih hilang. Praktik pembatasan bisa muncul kembali dalam bentuk lain: misalnya pembatasan akses data digital, algoritma penyaringan berita, atau “kebijakan privasi” yang legal tetapi secara substantif mengerdilkan ruang publik.
Bergerak ke isu aksi ojek online (ojol) yang mematikan aplikasi untuk melakukan demo. Dari perspektif Žižek, ini adalah momen “ideologi terbalik”: ojol, yang biasanya menjadi makhluk terminal dalam rantai logistik kapitalisme digital, sekarang mengambil posisi “tuan rumah” intervensi politik langsung. Mereka menghentikan mesin aplikasi, yang secara harfiah mematikan “jaringan logistik kapitalistik” untuk menyuarakan tuntutan politik.
Ini bukan hanya soal tarif potongan aplikasi atau UU transportasi online, melainkan soal mendestabilisasi logika simbolik dari “kapitalisme platform” itu sendiri. Dengan menghentikan aplikasi, mereka berkata kepada sistem: “kami tidak akan terus bermain dalam aturan yang kalian tetapkan”. Žižek mungkin menyebut ini sebagai “gestur subversif” yang membuka celah ideologis dalam logika kontrol kapitalis digital.
Namun, kita harus melihat lebih jauh: apakah ini benar-benar menantang kapitalisme platform, atau hanya menawarkan perubahan redistributif kecil tanpa mengguncang struktur simbolik dominan? Apakah penghentian aplikasi ini bisa menjadi titik awal pemikiran ulang terhadap struktur kerja digital, atau akhirnya justru akan dipelintir oleh narasi politik mainstream menjadi “dialog kebijakan transportasi”?
Tentang anggaran Kementerian Pertahanan dan TNI tahun 2026, sebesar Rp 187,1 triliun: perspektif ala Žižek akan menekankan bahwa alokasi anggaran militer bukan sekadar soal “kekhawatiran geopolitik”, tetapi soal pembentukan citra master-signifier yaitu “ancaman nasional”, “kedaulatan negara”, dan “otonomi strategis”. Anggaran sebesar itu adalah cara simbolik negara menyatakan dirinya sebagai entitas yang tak tergoyahkan, sekaligus memberi legitimasi terhadap tindakan kekerasan dan pengendalian tanah, udara, maupun ideologi internal.
Siapa yang diuntungkan dari konstruksi ancaman ini? Apakah anggaran besar itu mengokohkan posisi negara terhadap ancaman aktual, atau justru membiayai birokrasi, industri pertahanan, dan elit strategis yang mengukuhkan lingkaran hubungan antara kekuasaan negara dan modal militer?
Berpindah ke ranah ekonomi: strategi menempatkan dana Rp 200 triliun di perbankan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan penerimaan negara. Secara ideologis, ini adalah contoh paradigma neoliberalisme yang memosisikan pasar finansial sebagai fuelling station utama pembangunan nasional. Apakah logika ini membingkai ekonomi sebagai semata-mata soal perputaran modal, dan mengabaikan aspek produksi riil, kesenjangan struktural, maupun relasi kerja?
Ahli ekonomi seperti Didik J. Rachbini yang menekankan prosedur ketatanegaraan dan konstitusionalitas kebijakan publik sebenarnya berfungsi dalam posisi oposisi simbolik terhadap logika neoliberalisme: mereka menuntut agar tindakan pemerintah tidak hanya didasarkan pada keyakinan bahwa lebih banyak uang di bank otomatis melahirkan kesejahteraan, tetapi bahwa ada regulasi, transparansi, dan akuntabilitas. Ini adalah posisi yang menuntut “radikalitas struktural” daripada sekadar “perubahan mikroekonomis”.
Akhirnya, mari kita lihat program dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), yang telah mencapai lebih dari 8.018 unit di seluruh Indonesia, menjangkau ribuan kecamatan. Dari sudut pandang Žižek, ini adalah intervensi sosial yang memiliki dua wajah: satu sisi, ia adalah bentuk respons terhadap kegagalan struktur kapitalis menyediakan kebutuhan dasar pangan dan gizi secara merata. Ia adalah upaya komunis mikro (dibaca sambil tertawa), suatu intervensi langsung untuk memenuhi kebutuhan riil, seringkali di area yang “dibantah” oleh mekanisme pasar.
Namun sisi lainnya adalah: apakah program ini dibiarkan hanya sebagai jalur sementara, “subsidi gizi”, sementara struktur ekonomi tetap menyuburkan ketidakadilan distribusi pangan, ketergantungan pada impor, dan ketidaksetaraan sosial? Jika demikian, tindakan subsidi ini bisa menjadi “ventilasi ideologis”, penyaluran sementara ketegangan sosial tanpa mengganggu struktur produksi dan distribusi pangan kapitalistik. Dalam bahasa Žižek, ini bisa jadi sebuah bentuk "toleransi yang represif": memberikan sedikit kelegaan sosial untuk menjaga kestabilan sistem dominan.
Untuk menghindari jebakan ini, intervensi gizi seperti MBG harus dipikir ulang sebagai bagian dari strategi struktural yang lebih luas, bukan hanya distribusi bantuan, melainkan upaya untuk mendemokratiskan produksi pangan, rantai distribusi, dan akses ekonomi terhadap pangan yang sehat. Tanpa itu, program semacam ini berisiko hanya menjadi “topeng ideologis” bagi sistem dominan yang tidak pernah dihentikan.
Apa yang mengikat semua isu ini (pembatasan akses publik oleh KPU, unjuk rasa ojol, anggaran militer besar, arus dana bank, dan intervensi gizi publik) adalah cara ideologi beroperasi: bukan sebagai sistem keyakinan yang jelas, tapi sebagai struktur simbolik yang menciptakan “ruang kemungkinan” bagi tindakan dan wacana. Ideologi bukanlah sesuatu yang kita miliki, melainkan sesuatu yang kita jalani, bahkan ketika kita menolak atau mengkritiknya.
Dalam konteks Indonesia 2025, kritik Žižekian mengajak kita untuk melampaui sekadar reaksi terhadap kebijakan spesifik atau tuntutan sektoral. Alih-alih itu, tantangan yang lebih besar adalah: bisakah kita mengonfrontasi struktur simbolik yang memungkinkan kebijakan seperti pembatasan akses publik, kapitalisme platform, neoliberalisme finansial, militerisme negara, dan subsidi sosial parsial untuk tumbuh dan berulang?
Jika kita hanya memperbaiki detail kebijakan tanpa dekonstruksi narasi ideologis yang mendasarinya, kita mungkin akan terus memainkan game yang sama, hanya dengan nama pemain yang berbeda. Dan dalam bahasa Žižek, itu bukan sekadar reformasi: kita butuh rupture, sebuah gangguan simbolik yang menunjukkan bahwa sistem tidak harus tetap seperti sekarang.*



Post a Comment