![]() |
| Penulis: Anom Surya Putra, Advokat |
ARKANA~ Tulisan ini menyajikan analisis hukum dan sastra terhadap novel berjudul “Kerumunan adalah Neraka yang ditulis oleh saya sendiri, Anom Surya Putra. Novel ini diterbitkan secara daring atau digital melalui aplikasi seperti KaryaKarsa.com dan Lentera APP pada awal tahun 2025. Teks novel berlatar Desa dan pandemi Covid-19 ini menggambarkan interaksi kompleks antara sistem hukum formal (hukum positif, hukum korporasi), hukum adat (adat), dan keadilan kosmis (hukum kosmis). Pandangan kritis dalam novel tersebut tertuju pada keterbatasan hukum positif dalam mengatasi masalah sosial yang mengakar dan trauma kolektif, sekaligus menegaskan ketahanan dan kapasitas adaptif adat serta tata kelola berbasis komunitas Desa. Melalui perpaduan realisme sosial, fiksi filosofis, dan realisme magis, novel ini mendefinisikan ulang "kerumunan" yang awalnya merupakan sumber ketakutan dan kekacauan, berubah menjadi kekuatan potensial untuk keadilan dan kedaulatan diri. Suatu perspektif yang bernuansa pluralisme hukum dan pencarian keadilan sejati di dunia yang dipenuhi dengan ancaman nyata dan ancaman makhluk halus.
1. Menjelajahi Persimpangan Hukum dan Sastra dalam 'Kerumunan adalah Neraka'
Bagian ini memperkenalkan premis inti novel dan konflik utamanya dan menyiapkan panggung untuk analisis Hukum dan Sastra. Bagian ini akan mendefinisikan pendekatan metodologis, menekankan elemen sastra yang menerangi konsep hukum dan sebaliknya.
1.1. Ikhtisar Novel dan Konflik Sentral
Novel "Kerumunan adalah Neraka" memulai kisahnya di Desa Gayam, sebuah desa yang tenang dan damai di kaki Gunung Merapi, yang tiba-tiba dilanda ketakutan dan misteri akibat pandemi COVID-19. Pandemi ini tidak hanya membawa penyakit fisik, tetapi juga “memaksakan logika baru yang asing” yang secara fundamental mengubah tatanan hidup warga, menyebabkan fragmentasi komunitas dan menjadikan rasa takut sebagai komoditas yang diperdagangkan.
Konsep sentral yang menjadi paradoks, "kerumunan adalah neraka," menjadi tema yang meresap dan menantang nilai-nilai tradisional desa yang menjunjung kebersamaan. Narasi novel ini berkembang dari krisis desa yang terlokalisasi, seperti desas-desus makhluk halus dan kejadian aneh, hingga konflik sosial dan eksistensial yang lebih luas. Kisah ini mencakup berbagai lokasi, termasuk Desa Gayam, Desa Kampung Tujuh, kota Depok, dan kota Surabaya. Berbagai tantangan dihadapi oleh desa termasuk dinamika yang lebih besar ketika warga Desa bergerak di perkotaan pada masa pandemi Covid-19.
1.2. Pendekatan Hukum dan Sastra
Analisis ini menggunakan kerangka Hukum dan Sastra untuk mengkaji konsep-konsep hukum seperti hukum adat (adat), hukum positif, hukum korporasi, kedaulatan, keadilan, dan tata kelola yang telah tertanam, dikritik, dan dibentuk melalui elemen-elemen sastra novel. Elemen-elemen ini mencakup perpaduan genre, simbolisme yang kaya, perkembangan karakter yang mendalam, alur cerita yang kompleks, dan konflik yang berlapis.
Novel ini, meskipun bukan sebuah risalah hukum, berfungsi sebagai instrumen kritik hukum. Hal ini dilakukan dengan secara literer mengekspos dinamika kekuasaan dan perjuangan untuk keadilan yang seringkali tersembunyi dalam struktur hukum formal. Melalui novel ini, sastra dapat memperkaya pemahaman kita tentang hukum, dengan menghadirkan konteks sosial, emosional, dan spiritual yang seringkali tidak tertangkap oleh analisis hukum murni yang normatif-dogmatik.
2. Desa sebagai Mikrokosmos Hukum: Adat, Rekognisi-Subsidiaritas, dan Keadilan Komunal
Bagian ini akan menggali struktur hukum pra-pandemi Desa Gayam, berfokus pada adat dan konsep asas hukum rekognisi-subsidiaritas dalam UU No. 6/2014 tentang Desa. Kemudian akan menganalisis, sistem hukum informal ditantang dan terkikis oleh penerapan hukum positif dan kekuatan pasar global selama pandemi.
2.1. Desa Gayam Pra-Pandemi: Gotong Royong sebagai Sistem Hukum Informal
Sebelum pandemi melanda, Desa Gayam digambarkan sebagai komunitas lokal-kolektif yang "bernapas dalam irama gotong royong," sebuah "simfoni abadi" yang menyatukan warganya "bagai not-not dalam partitur kehidupan".
Gotong royong ini bukan sekadar kebiasaan sosial, melainkan "urat nadi kehidupan desa" dan "perekat yang menyatukan mereka dalam suka maupun duka," berfungsi sebagai sistem hukum informal yang mengatur interaksi sosial dan penyelesaian konflik tanpa aturan tertulis yang eksplisit.
Warung Bu Minah, misalnya, digambarkan sebagai "kawah candradimuka cerita," sebuah pusat yang mana kabar desa "diaduk seperti kopi pahit," menghangatkan ingatan kolektif dan memfasilitasi tata kelola informal. Ini menyoroti mekanisme organik yang digerakkan oleh komunitas untuk menjaga ketertiban sosial. Balai desa secara eksplisit disebut sebagai "jantung tempat darah kebersamaan mengalir," melambangkan pusat kapasitas swa-organisasi mereka dan manifestasi praktis dari pemerintahan mandiri serta kearifan inheren desa.
Adat dalam novel ini berfungsi sebagai bentuk "hukum hidup" yang mendalam, terintegrasi ke dalam kosmologi komunitas dan kehidupan sehari-hari. Ini memberikan kontras yang tajam dengan hukum positif formal, yang seringkali bersifat eksternal, yang kemudian akan menantangnya. Otoritas hukum sejati di desa sebelum pandemi berasal dari pemahaman komunal yang inheren ini, bukan dari pengakuan eksternal oleh negara.
2.2. Erosi Adat oleh Hukum Positif (Protokol Pandemi) dan Logika Pasar Global
Pandemi bertindak sebagai "gempa di dataran sunyi," memaksakan "logika baru yang asing" yang secara langsung menyerang inti rekognisi-subsidiaritas—kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berkala Desa. Desa berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus diri sendiri yang diakui oleh negara.
Dampak ekonomi pandemi sangat terasa. Kenaikan harga cabai dan beras yang melambung tinggi disajikan sebagai "retakan pertama invasi pasar global" ke dalam ekosistem desa yang mandiri, menandakan bahwa logika pasar global telah "membajak spirit rekognisi-subsidiaritas Desa". Hal ini menunjukkan, aspek ekonomi dari hukum positif, seperti regulasi pasar dan perdagangan global, dapat merusak otonomi lokal.
Fragmentasi sosial juga terjadi. Mandat pemerintah pusat untuk menjaga jarak dan menghindari kerumunan menyebabkan terhentinya kegiatan komunal. Balai desa, yang dulunya "jantung kebersamaan," berubah menjadi "ruang sunyi yang terfragmentasi oleh imbauan 'jaga jarak'".
Gotong royong "remuk dihantam gelombang kecurigaan," digantikan oleh isolasi dan ketidakpercayaan. Keluhan Bu Karti tentang mi instan yang tidak terjangkau mengungkapkan "tragedi daulat pangan yang terenggut," konsekuensi langsung dari terkikisnya rekognisi-subsidiaritas karena desa kehilangan kendali atas kebutuhan dasarnya.
Kepala Desa, yang seharusnya menjadi "tiang subsidiaritas," justru terjebak menjadi "corong ketakutan," tidak mampu menegaskan hak pemerintahan mandiri desa terhadap tekanan eksternal. Protokol pandemi, sebagai bentuk hukum positif yang bertujuan untuk kesehatan publik, secara paradoks menyebabkan disintegrasi sosial. Mandat "jaga jarak," meskipun secara medis tepat, digambarkan sebagai pemecah gotong royong —"semesta etis" yang mengikat komunitas. Ini menciptakan dilema hukum: bagaimana hukum kesehatan publik dapat diterapkan tanpa menghancurkan tatanan sosial komunitas yang bergantung pada kebersamaan fisik?
Novel ini menyoroti bahwa niat hukum positif (kesehatan publik) dapat bertabrakan dengan konsekuensi sosial yang tidak disengaja (erosi adat). Hal ini menunjukkan kritik terhadap penerapan hukum positif secara universal tanpa kepekaan kontekstual. Kerangka hukum, terutama di masa krisis, harus mempertimbangkan struktur sosial dan budaya yang ada yang mereka pengaruhi, atau berisiko menciptakan "penyakit" non-medis yang lebih dalam di dalam komunitas.
2.3. Perjuangan Sosiologis: Adat vs. Regulasi yang Dipaksakan
Novel ini menggambarkan "perjuangan sosiologis" yang mana kegagalan sistem hukum formal dalam mengatasi kecemasan komunitas menciptakan kekosongan. Rasa takut itu sendiri "bermetamorfosis menjadi monster bermuka dua," mengubah batuk menjadi "senjata sosial" dan kerumunan menjadi "pengkhianatan terhadap asas kebersamaan". Hal ini mencerminkan bagaimana kecemasan masyarakat, ketika tidak ditangani oleh struktur hukum atau tata kelola formal, dapat bermanifestasi sebagai perilaku sosial yang irasional.
"Ironi memuncak" ketika "ketakutan akan hantu mengalahkan kepercayaan pada subsidiaritas," dan "makhluk gaib lebih diakui daripada kewenangan desa". Ini menandakan perjuangan sosiologis yang mendalam yang mana interpretasi tradisional, yang seringkali berbasis ketakutan, mendapatkan prioritas di atas kerangka hukum formal. Ketika kerangka hukum formal negara (hukum positif, rekognisi-subsidiaritas) gagal memberikan solusi efektif atau bahkan memperburuk masalah (misalnya, kesulitan ekonomi, isolasi sosial), "kekosongan hukum" muncul. Ke dalam kekosongan ini mengalir sistem hukum informal, seringkali berakar pada kepercayaan tradisional dan takhayul.
Perubahan diskursus warga ke diskursus dedemit dan "hukuman lelembut" bukan sekadar kemunduran, melainkan respons sosiologis terhadap kegagalan otoritas formal yang dirasakan untuk memberikan tatanan dan makna di dunia yang kacau. Ini menyoroti konsep pluralisme hukum. Berbagai sistem hukum (formal dan informal) hidup berdampingan dan bersaing untuk legitimasi.
Novel ini menyiratkan bahwa pada masa krisis, sistem hukum informal, bahkan yang berbasis ketakutan dan takhayul, dapat memperoleh kekuatan yang signifikan jika hukum formal dianggap tidak efektif atau mengasingkan warga Desa. Hal ini menyiratkan perlunya sistem hukum yang lebih adaptif dan terintegrasi secara budaya.
3. Manifestasi Sastra Konflik Hukum: Entitas Supernatural dan Keadilan Kosmis
Bagian ini akan menganalisis teks novel yang menggunakan realisme magis dan elemen folklor, khususnya dedemit dan entitas supernatural lainnya, sebagai perangkat sastra untuk merepresentasikan dan menegakkan suatu bentuk keadilan kosmis, mengkritik tindakan manusia yang mengganggu keseimbangan alam atau moral.
3.1. "Dedemit" dan "Ni Grenjeng": Alegori Ketidakadilan Sejarah dan Keadilan Retributif
"Dedemit" (makluk halus yang eksis di lokasi tertentu) pada awalnya melambangkan ketakutan dan takhayul yang mengakar dalam diri penduduk desa, sebuah manifestasi dari kecemasan kolektif dan hilangnya rasionalitas mereka selama pandemi. Sari, seorang karakter yang memiliki pengetahuan tentang tradisi dan kekuatan supernatural (pemegang keris pusaka Pasopati), menafsirkan ulang dedemit bukan sebagai monster belaka. Ia menafsirkan dedemit sebagai "bahasa dari Desa” yang mengungkapkan "luka-luka tak terlihat dan trauma yang diwariskan." Cara bertutur Sari itu bertindak sebagai "cermin" yang merefleksikan sisi gelap penduduk desa sendiri.
Ni Grenjeng, penguasa mata air purba, adalah sosok sentral yang terikat pada sejarah dan karma desa. Kehadirannya dan teror yang disebabkannya berakar pada keluhan sejarah: "utang, fitnah, dan kegilaan" dari era kolonial, dan perasaan para dedemit yang "lelah dimanipulasi manusia". Kisah Ni Grenjeng mengungkapkan masa lalu ketidakadilan dan manipulasi, menyiratkan bahwa keberadaannya sebagai makhluk halus adalah bentuk "keadilan retributif" atas kesalahan sejarah. Keinginannya untuk "kejernihan batin" dan "kembali ke alam asal" menunjukkan bahwa keadilan kosmis membutuhkan pengakuan dan penyelesaian pelanggaran hukum dan moral pada masa lalu.
"Utang" pada masa bank kredit kolonial-Belanda yang Ni Grenjeng sebutkan itu bukan hanya soal utang finansial, tetapi "utang kebenaran", menunjukkan kewajiban karma untuk mengoreksi narasi sejarah. Cara bercerita ini menggunakan realisme magis untuk mengkritik keterbatasan sistem hukum formal dalam mengatasi ketidakadilan sejarah. Jika hukum positif gagal memberikan ganti rugi atau bahkan melanggengkan kerugian, "hukum kosmos" (yang ditegakkan oleh entitas makhluk halus seperti Ni Grenjeng) akan memastikan bahwa masalah-masalah yang belum terselesaikan ini terus menghantui masa kini, menuntut bentuk "pertanggungjawaban hukum" yang melampaui pengadilan manusia.
Epilog novel mengungkapkan bahwa Ni Grenjeng telah "menyusup ke dalam tubuh" para kepala desa (Kepala Desa Gayam dan Kepala Desa Kampung Tujuh), secara halus membimbing peristiwa untuk memastikan takdir desa selaras dengan "kehendak alam" dan "keseimbangan kosmis dedemit". Teks epilog memastikan bahwa "kerumunan... akan menjadi neraka bagi mereka," yang berarti para penindas, dan "fajar harapan bagi yang tertindas".
3.2. "Kuntilanak" dan "Genderuwo": Proyeksi Trauma Kolektif dan Keluhan yang Belum Terselesaikan
"Kuntilanak" pada awalnya melambangkan ketakutan mendalam akan kehilangan dan penyesalan, terkait dengan kematian misterius dan kepanikan. Tawa melengkingnya adalah "seismograf luka kolektif yang belum sembuh". "Kuntilanak" kemudian terungkap sebagai arwah Bu Lastri, seorang mantan pemilik warung yang meninggal secara misterius dan merasa dikhianati serta ditinggalkan. Kembalinya dia melambangkan keluhan yang belum terselesaikan dan keinginan untuk balas dendam, sebuah "personifikasi dendam yang terdistilasi".
Novel ini mengubah tokoh folklor yang dikenal luas (kuntilanak, genderuwo) menjadi alegori untuk trauma sosial dan psikologis. Transformasi Bu Lastri menjadi kuntilanak karena perasaan ditinggalkan dan dikhianati, secara langsung menghubungkan manifestasi supernatural dengan ketidakadilan sosial tertentu di dalam komunitas. "Sawah yang dirampas" dan "tangisan yang diredam" yang disebutkan dalam buku hariannya menunjukkan masalah sistemik yang tidak ditangani oleh cara hukum formal atau informal, menyebabkan makhluk halus melakukan balas dendamnya. Ini menyiratkan, sastra dapat mengekspos "hukum tak tertulis" dari pengabaian sosial dan dampak psikologis dari keluhan yang tidak ditangani. Diskursus supernatural menjadi mekanisme sastra untuk "memprotes ketidakadilan yang disegel oleh kebisuan gotong royong". Jika mekanisme "hukum" internal komunitas (seperti gotong royong untuk penyelesaian konflik) gagal, maka konsekuensinya dapat bermanifestasi secara destruktif, bahkan supernatural.
"Genderuwo" melambangkan kekuatan liar yang tak terkendali dan konsekuensi destruktif dari tindakan manusia terhadap alam. Sari menafsirkan ulang Genderuwo sebagai "balada tentang hutan yang merindukan penjaganya," menyoroti ketidakseimbangan lingkungan.
3.3. "Nyi Lorong" dan "Raja Batu": Penegak Hukum Kosmis dan Keseimbangan Alam
Nyi Lorong, penjaga jalan dan persimpangan, melambangkan kearifan kuno dan konsekuensi dari pengabaian manusia terhadap tatanan alam dan spiritual. Kemunculannya setelah pohon beringin suci mati menandakan gangguan keseimbangan. Dia menantang para protagonis untuk menghadapi ketakutan batin, menekankan bahwa keseimbangan sejati membutuhkan suatu cara magis untuk mengatasi perjuangan internal.
Raja Batu melambangkan kekuatan kuno dan fundamental dari tanah serta kearifan leluhur. Kemunculannya selama ritual penyatuan menandakan pemulihan keseimbangan dan kemakmuran. Dia menekankan persatuan, disiplin, dan tata kelola yang baik, menganugerahkan Tombak Ki Saka Bumi untuk memastikan kepemimpinan yang kuat dan bijaksana.
Nyi Lorong dan Raja Batu berfungsi sebagai penegak eksplisit hukum kosmis atau hukum alam. Intervensi mereka (pohon beringin layu, manifestasi fisik ketidakpuasan, peringatan langsung) adalah respons langsung terhadap tindakan manusia yang mengganggu keseimbangan ekologis atau spiritual. Suatu penyampaian pesan bahwa di dalam alam terdapat "kepribadian hukum" yang dapat bereaksi dan memaksakan konsekuensi atas pelanggaran hukum inherennya.
Novel ini menggunakan entitas-entitas makhluk halus untuk mengadvokasi bentuk "keadilan ekologis" yang melampaui hukum positif buatan manusia. Alam itu sendiri memiliki sistem hukum inheren yang menuntut rasa hormat dan keseimbangan, dan jika hukum manusia (misalnya, eksploitasi korporat, pembangunan yang tidak berkelanjutan) bertentangan dengan hukum alam ini, maka alam akan memaksakan "keadilan retributif"-nya sendiri. Diskursus ini menantang kerangka hukum antroposentris dan mempromosikan pandangan biosentris tentang keadilan.
4. Metafora "Kerumunan": Transformasi Filosofis dan Hukum
Bagian ini akan mengeksplorasi makna "kerumunan" yang berkembang di sepanjang novel, dari sumber ketakutan dan kekacauan menjadi kekuatan potensial untuk perubahan positif. Bagian ini akan menganalisis teori filsafat dan psikologi (Sartre dan Le Bon) diintegrasikan dan ditransformasikan dalam narasi.
4.1. Eksistensialisme Vanua ("Neraka adalah Orang Lain") dan Psikologi Kerumunan Le Bon
Vanua tiba di Desa Gayam dengan trauma mendalam dari pengalaman pandemi di perkotaan, memandang kerumunan sebagai sumber ketakutan dan bencana. Dia secara eksplisit mengingat ungkapan Sartre, "l'enfer, c'est les autres" (neraka adalah orang lain), dan teori psikologi kerumunan Gustave Le Bon. Bagi Vanua, kerumunan mewakili "impulsivitas, iritabilitas, ketidakmampuan untuk bernalar, ketiadaan penilaian kritis, dan eksagerasi sentimen". Dia melihat individu dalam kerumunan kehilangan kepribadiannya yang khas, menjadi "barbar" yang bertindak berdasarkan insting, mudah dipengaruhi, dan rentan terhadap irasionalitas.
Vanua pada awalnya memproyeksikan trauma masa lalu dan ketakutannya terhadap kerumunan kepada penduduk desa, melihat perilaku kolektif mereka sebagai sumber penderitaan dan ancaman bagi individualitasnya. Ledakannya, "Kalian semua adalah boneka yang tak berakal, hidup dalam kerumunan tanpa berpikir! Aku tidak ingin menjadi bagian dari kalian!" adalah proyeksi langsung dari perjuangan internalnya. Novel ini secara eksplisit memperkenalkan "neraka adalah orang lain" dari Sartre dan psikologi kerumunan Le Bon melalui perspektif Vanua.
Novel ini tidak hanya mengilustrasikan teori-teori itu secara taat melainkan sedikit membongkar dan menantangnya. Perjalanan Vanua, terutama realisasinya bahwa "tidak semua 'neraka' berasal dari orang lain. Kadang, 'neraka' itu ada dalam pikirannya sendiri" , menandakan penyangkalan sastra atau setidaknya nuansa signifikan terhadap aforisme Sartre. Demikian pula, transformasi kerumunan yang kacau menjadi kekuatan yang terorganisir dan positif menantang pandangan deterministik Le Bon tentang irasionalitas kerumunan.
Ini menunjukkan, sastra dapat terlibat dengan dan mengkritik ide-ide filosofis, bergerak melampaui teori abstrak untuk mengeksplorasi implikasi praktis dan keterbatasannya dalam pengalaman hidup. Sementara itu, konsep filosofis, ketika diterapkan secara kaku, dapat menjadi sumber "neraka" individu dan kolektif, dan bahwa pemahaman sejati membutuhkan pendekatan yang lebih fleksibel dan empatik.
4.2. "Kerumunan" sebagai Lokus Kekacauan
Metafora sentral novel, "kerumunan adalah neraka," tidaklah statis. Ia berkembang dari deskriptor negatif kekacauan dan ketakutan menjadi kekuatan potensial untuk perubahan positif dan keadilan. Transformasi ini seringkali difasilitasi oleh kepemimpinan yang sadar dan pemulihan prinsip-prinsip moral. Narasi dalam novel menyiratkan bahwa "neraka" kerumunan tidak inheren tetapi muncul dari kurangnya arah, bimbingan moral, atau struktur hukum yang adil.
Di Desa Gayam, pada awalnya, "kerumunan" digambarkan sebagai sumber ketakutan dan kecurigaan, yang mengarah pada runtuhnya gotong royong dan penyebaran takhayul. Ketakutan akan virus mengubah kerumunan menjadi "pengkhianatan terhadap asas kebersamaan". Di Desa Kampung Tujuh, "kerumunan" mencerminkan kecemasan dan kesulitan ekonomi, yang mengarah pada kekacauan dan frustrasi. Kelangkaan gas menyebabkan antrean panjang dan agresi timbal balik. Di Depok dan Surabaya, di lingkungan perkotaan, "kerumunan" adalah "lingkungan perkotaan yang padat dan sibuk yang digerakkan oleh kepentingan individu". Ini mewakili dinamika sosial yang kompleks, kekuatan ekonomi, dan persaingan pasar yang intens. Di Surabaya, kerumunan itu adalah "neraka", bertempat di dunia bisnis yang mana Yang Lemah akan dihancurkan. Ini memberikan pemahaman hukum dan sosiologis yang bernuansa tentang tindakan kolektif sekaligus menantang pandangan sederhana tentang kerumunan sebagai irasionalitas yang inheren (Le Bon) atau murni menindas (Sartre).
Sebaliknya, novel ini menyatakan bahwa sifat kerumunan—apakah "neraka" atau "harapan"—dibentuk oleh kerangka hukum, sosial, dan moral yang mendasarinya (atau ketiadaannya) yang mengaturnya. Tata kelola yang efektif jelas melibatkan tapi tidak menekan kerumunan, serta memahami dan menyalurkan energi kerumunan yang sangat besar.
4.3. Teknik Sastra dalam Menggambarkan Evolusi Kerumunan
Novel ini menggunakan perpaduan genre untuk menggambarkan dampak nyata perilaku kerumunan (misalnya, gangguan ekonomi, fragmentasi sosial) melalui realisme sosial. Fiksi filosofis mengeksplorasi perdebatan internal tentang sifat kerumunan. Realisme magis menggunakan entitas supernatural (dedemit, Ni Grenjeng) sebagai metafora untuk ketakutan kolektif dan trauma sejarah yang memengaruhi perilaku kerumunan.
Perjalanan individu Mudra, Vanua, dan Sari mencerminkan pendekatan yang berbeda terhadap kerumunan. Mudra mencoba "membajak mitologi menjadi ikatan solidaritas" dan melihat kerumunan sebagai kekuatan potensial. Vanua awalnya menganggapnya irasional tetapi kemudian belajar untuk menerima dan membimbingnya. Sari menggunakan penceritaan untuk membingkai ulang ketakutan dan menumbuhkan pemahaman dalam kerumunan. Interpretasi Tarot dari Ki Rajendra tentang kartu-kartu seperti "Strength" (menjinakkan kekacauan tanpa kehancuran), "The Empress" (memelihara kerumunan sebagai lahan subur), dan "The High Priestess" (menemukan ketenangan dan intuisi di tengah kebisingan) memberikan bimbingan simbolis untuk mengelola dan mengubah kerumunan.
Puncak novel ini adalah ketika para pedagang kecil bersatu dan menginvestasikan sejumlah besar uang untuk memperluas bisnis air Desa Gayam, menunjukkan "kerumunan" sebagai "kekuatan tak terbendung dari rakyat jelata yang muak dengan ketidakadilan". Tindakan kolektif ini memungkinkan mereka untuk merebut kembali pangsa pasar dan menjadi pusat kekuatan dan inspirasi baru.
Novel ini, melalui penggambaran "kerumunan" yang berkembang dan strategi adaptif para karakter, berfungsi sebagai "laboratorium hukum" sastra. Ini menguji berbagai pendekatan untuk mengatur atau berinteraksi dengan perilaku kolektif manusia: dari mandat kaku yang disebar oleh kekuasaan negara (protokol pandemi), penolakan filosofis (sikap awal Vanua), hingga transformasi bernuansa yang dipimpin komunitas (Mudra, Sari, Ki Rajendra). Keberhasilan inisiatif berbasis komunitas di Surabaya menunjukkan model "tata kelola kerumunan" yang lebih disukai yang memprioritaskan solidaritas dan nilai-nilai bersama di atas paksaan atau keuntungan murni. Ini menyiratkan, sastra dapat berfungsi sebagai media yang kuat untuk mengeksplorasi model alternatif organisasi sosial dan hukum.
Novel ini tidak hanya menggambarkan masalah tapi novel ini membayangkan solusi untuk mengelola perilaku kolektif yang lebih adil dan berkelanjutan daripada yang ditawarkan oleh hukum positif konvensional. "Sistem hukum" yang efektif untuk kerumunan mungkin adalah yang organik, empatik, dan berakar pada tujuan bersama.
5. Pusaka dan Tarot: Otoritas Hukum Simbolis dan Penyelesaian Konflik
Bagian ini akan menganalisis peran pusaka tradisional dan penggunaan kartu Tarot modern sebagai representasi simbolis dari otoritas hukum, kearifan, dan mekanisme penyelesaian konflik dalam lanskap hukum pluralistik novel.
5.1. Pusaka sebagai Perwujudan Otoritas Hukum dan Kearifan Adat
Keris Pasopati, warisan leluhur yang diwariskan dalam keluarga Sari, memiliki "pamor Adeg" yang diyakini membawa "perlindungan serta membuka jalan bagi keberuntungan material". Sari awalnya merasa keris itu "begitu berat di tangannya," melambangkan beban tanggung jawab yang signifikan. Ibu Bumi mengatakan kepada Sari bahwa keris itu "bukan hanya sebagai senjata, tetapi sebagai simbol keberanian dan kebijaksanaan". Sari menawarkannya kepada Mudra, menyatakan bahwa kekuatannya terletak pada pemahaman maknanya, bertindak sebagai "penjaga keseimbangan" dan alat untuk "mengembalikan harmoni".
Keris Pasopati bukan sekadar objek simbolis. Ia digambarkan sebagai "penjaga keseimbangan" dan alat untuk "mengembalikan harmoni". Ini menunjukkan bahwa ia mewujudkan prinsip-prinsip hukum adat —keseimbangan, perlindungan, kearifan, dan pemulihan tatanan sosial. Kekuatannya tidak inheren pada objek itu sendiri tetapi pada "pemahaman makna di baliknya", menyiratkan bahwa hukum adat adalah tradisi yang hidup, interpretatif, bukan seperangkat aturan yang statis. Ini menggambarkan pusaka sebagai bentuk "konstitusi hidup" bagi masyarakat adat, representasi nyata dari prinsip-prinsip hukum dan moralnya. Berbeda dengan hukum positif tertulis, otoritasnya berasal dari kearifan leluhur, koneksi spiritual, dan interpretasi kolektif maknanya, menjadikannya bentuk otoritas hukum yang dinamis dan beresonansi secara budaya.
Tombak Ki Saka Bumi, pusaka sakral Kampung Tujuh, awalnya hilang tetapi kemudian kembali. Raja Batu mempersembahkannya kepada Kepala Desa Bu Ros, menyatakan bahwa dengan tombak ini dan Keris Pasopati, desa akan "tumbuh lebih kuat". Ini menunjukkan hubungan komplementer, menggabungkan otoritas spiritual dan duniawi untuk tata kelola yang lebih kuat.
Buku Sadajiwa dipegang oleh Sari, "kitab kuno yang menyimpan rahasia leluhur," yang digunakannya untuk memahami "dunia tak kasat mata" dan "bahasa" dedemit. Ini berfungsi sebagai gudang kearifan tradisional dan alat untuk bercerita, mengubah ketakutan menjadi pemahaman.
5.2. Interpretasi Tarot Ki Rajendra
Ki Rajendra, seorang pembimbing spiritual dan pembaca Tarot, menggunakan kartu Tarot sebagai "cermin" untuk mengungkapkan kebenaran yang lebih dalam dan memandu tindakan. Interpretasinya secara konsisten menghubungkan makna simbolis dengan perjuangan dunia nyata, terutama mengenai "kerumunan adalah neraka".
- The Fool (Si Dungu): melambangkan awal perjalanan besar, kepolosan, dan keberanian untuk menerima ketidakpastian. Dalam konteks hukum, ini menunjukkan perlunya langkah-langkah berani dan tidak konvensional ketika metode tradisional gagal.
- The Magician (Sang Pesulap): mewakili kekuatan untuk mewujudkan keinginan dengan menyeimbangkan elemen alam dan kekuatan batin. Ini menyiratkan bahwa kepemimpinan yang efektif dalam reformasi hukum dan sosial membutuhkan penyelarasan kehendak dengan prinsip-prinsip alam dan pemahaman yang saling berkaitan.
- The Empress (Sang Ratu/Permaisuri): melambangkan kesuburan, kelimpahan, dan kearifan dari pengalaman, menekankan pemeliharaan dan pengelolaan kehidupan dengan "kasih sayang, kesabaran, dan kesadaran". Ini berlaku untuk menumbuhkan masyarakat yang adil melalui kepedulian daripada penegakan yang kaku.
- The Emperor (Sang Kaisar): mewakili kepemimpinan, struktur, ketertiban, dan hukum. Ki Rajendra menjelaskan bahwa kepemimpinan sejati adalah tentang "tanggung jawab dan keadilan," menciptakan stabilitas untuk semua. Ini mendefinisikan ulang otoritas formal dalam kerangka keadilan substantif.
- The High Priest (Imam Agung): melambangkan kepemimpinan spiritual dan penjaga pengetahuan. Ini menyoroti sifat ganda otoritas tradisional—bimbingan bijaksana versus dogma—dan tantangan menciptakan struktur baru tanpa kehilangan akar sejarah.
- Strength (Kekuatan): mewakili kekuatan batin untuk menjinakkan kekacauan tanpa kehancuran. Ini diterapkan untuk mengelola kerumunan yang "liar," menunjukkan bahwa kontrol berasal dari pemahaman dan bimbingan, bukan penindasan.
- Justice (Keadilan): menandakan perjuangan untuk keadilan dengan menjaga keseimbangan di tengah kekuasaan dan tekanan. Ini menekankan penegakan keadilan dan keseimbangan di luar kemenangan hukum.
- Karma: mewakili hukum sebab akibat, yang mana tindakan hari ini membentuk masa depan. Ini adalah artikulasi langsung dari hukum alam. Tindakan yang adil mengarah pada konsekuensi positif.
- The Tower (Menara): menandakan kehancuran yang tak terhindarkan ketika sesuatu dibangun di atas fondasi yang salah. Ini mengkritik pembangunan yang tidak berkelanjutan di bawah hukum positif.
- The Moon (Bulan): mewakili ketidakpastian dan ilusi, menyarankan pencarian kebenaran sebelum bertindak. Ini menyoroti perlunya kebijaksanaan dalam situasi hukum dan sosial yang kompleks.
- The Sun (Matahari): menandakan keberhasilan, harapan, dan awal yang baru. Ini menunjukkan hasil positif ketika tindakan selaras dengan prinsip-prinsip yang baik.
- The World (Dunia): menunjukkan bahwa semua pelajaran telah diserap dan harus diterapkan dalam kehidupan nyata, menekankan pemahaman keterkaitan.
- Temperance (Kesederhanaan): melambangkan keseimbangan dan harmoni, menemukan titik tengah antara tradisi dan modernitas. Ini sangat penting untuk menavigasi pluralisme hukum.
- The Hermit (Pertapa): mewakili pencarian jawaban dalam kesendirian dan menemukan jalan baru. Ini mendorong kemandirian dan kompas moral internal dalam dilema hukum.
- Ace/Two/Three/Four of Wands (As/Dua/Tiga/Empat Tongkat): melambangkan energi kreatif, awal yang baru, pilihan strategis, melihat gambaran besar, dan perayaan setelah perjuangan. Ini mewakili proses dinamis inovasi hukum dan sosial.
- The Shadow Side (Sisi Bayangan): mewakili ketakutan tersembunyi, keserakahan, dan aspek yang tidak diakui dalam kolektif. Ini menyoroti dimensi psikologis masalah hukum dan kebutuhan untuk menghadapi "bayangan" internal untuk resolusi sejati.
- The Lovers (Para Kekasih): menandakan pilihan besar, seringkali antara hati dan pikiran, gairah dan tanggung jawab. Ini berlaku untuk dilema etis dalam kepemimpinan dan komunitas.
- The Chariot (Kereta Perang): melambangkan kemenangan, disiplin, dan kendali atas kekuasaan, menyeimbangkan ketertiban dan kekacauan. Ini tentang tindakan dan penguasaan diri dalam menghadapi konflik.
- Wheel of the Year (Roda Tahun): melambangkan perubahan, siklus hidup, dan menerima takdir. Ini memperkuat gagasan bahwa keadilan sejati melibatkan hidup selaras dengan siklus alam.
Penggunaan kartu Tarot oleh Ki Rajendra secara konsisten melampaui ramalan sederhana. Dia secara eksplisit menyatakan bahwa kartu-kartu itu adalah "cermin" untuk kebenaran yang lebih dalam, memberikan "kerangka kerja untuk tata kelola etis dan navigasi dilema hukum." Interpretasi setiap kartu menawarkan prinsip-prinsip untuk kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan penyelesaian konflik yang berakar pada kearifan, keseimbangan, dan pemahaman kosmis, daripada hanya kode hukum formal. Misalnya, "The Emperor" ditafsirkan ulang untuk menekankan "tanggung jawab dan keadilan" di atas kekuasaan belaka, menyelaraskan otoritas formal dengan keadilan substantif. Ini menunjukkan bahwa sastra dapat membangun sistem atau kerangka "hukum" alternatif untuk memahami keadilan.
Tarot, dalam narasi ini, berfungsi sebagai sistem meta-hukum, menawarkan lensa spiritual dan filosofis untuk mengevaluasi implikasi etis dari hukum dan tindakan manusia. Tata kelola sejati membutuhkan tidak hanya kepatuhan pada hukum positif, tetapi juga pemahaman intuitif dan etis tentang prinsip-prinsip yang mendasarinya.
6. Perjuangan untuk Kedaulatan: Menghadapi Hukum Korporasi dan Membangun Legalitas Alternatif
Bagian ini akan menganalisis penggambaran novel tentang konflik langsung antara komunitas lokal dan hukum korporat eksternal, berfokus pada perjuangan untuk kedaulatan sumber daya dan pembentukan legalitas alternatif melalui inisiatif berbasis komunitas.
6.1. Konflik atas Mata Air Purba dan Perkebunan Kakao: Hukum Alam vs. Eksploitasi Korporat
Mata Air Purba di Desa Gayam adalah "sumber kehidupan" yang vital dan "rahasia suci" yang dijaga oleh para tetua, mewakili hukum alam. Sebuah perusahaan air minum menawarkan "sepuluh milyar rupiah per tahun" untuk menguasai mata air tersebut, melambangkan "hukum positif" bisnis dan eksploitasi ekonomi. Ki Rajendra memperingatkan bahwa "harapan tidak boleh dibeli dengan harga yang terlalu mahal," menegaskan bahwa hukum alam tidak boleh dikompromikan demi keuntungan ekonomi.
Novel ini memberikan elemen-elemen alam seperti mata air purba dan gunung berapi dan dikaitkan dengan status "hukum". Teks novel menggambarkannya sebagai agen hukum yang aktif bereaksi terhadap eksploitasi manusia. "Penjaga gaib" gunung secara langsung menghadapi para eksploitator, menyatakan "alam memiliki caranya sendiri untuk menyeimbangkan kehidupan". Alam itu sendiri beroperasi di bawah "hukum alam" yang dapat memaksakan konsekuensi atas tindakan manusia, secara efektif menantang sifat antroposentris hukum positif, yang seringkali memandang alam hanya sebagai properti atau sumber daya.
Dalam hal ini, sastra dapat menawarkan kritik yang kuat terhadap hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya. Sistem hukum yang benar-benar adil harus mengakui nilai intrinsik dan hak-hak alam, bergerak melampaui pendekatan yang murni utilitarian atau berbasis properti. Novel ini mengadvokasi "yurisprudensi ekologis" yang mana hukum manusia tunduk pada keseimbangan kosmis yang lebih luas.
Gunung Api Purba dan Perkebunan Kakao. Gunung ini mewujudkan "hukum alam" dengan siklus inherennya, energi spiritual, dan kekayaan ekologis. Sebuah kelompok bisnis yang dipimpin oleh Surya Darma berencana mengembangkannya untuk keuntungan, menuntut kepemilikan tanah, yang mewakili hukum positif korporat. "Penjaga gaib" gunung campur tangan, menyebabkan manifestasi fisik ketidakpuasan, secara eksplisit menyatakan bahwa "keadilan bukanlah tentang memilih siapa yang menang atau siapa yang kalah, keadilan adalah tentang keseimbangan".
6.2. "Menara yang Runtuh" sebagai Kritik Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan di bawah Hukum Positif
Runtuhnya menara batu besar di Desa Gayam, yang dibangun oleh kekuatan eksternal, melambangkan kehancuran "struktur modern yang tidak berkelanjutan". Menara itu disambar petir, "seolah alam menolak kehadirannya," dan menyebabkan orang-orang menghilang atau menjadi arwah yang terperangkap.
Ki Rajendra menafsirkan ini sebagai kartu tarot "The Tower," yang menandakan "kehancuran yang tak terhindarkan" ketika sesuatu "dibangun di atas fondasi yang salah". Arwah para pembangun yang hilang menuntut penghancuran menara, melambangkan bahwa struktur yang dibangun di atas "keserakahan dan ketidakpedulian terhadap tanah pasti akan runtuh".
Menara yang runtuh berfungsi sebagai alegori yang kuat untuk kelemahan inheren hukum positif ketika memprioritaskan ambisi manusia dan pembangunan ekonomi di atas keseimbangan ekologis dan sosial. Menara, simbol "kekuatan" modern, dibangun tanpa menghormati "keseimbangan inheren tanah". Kehancurannya oleh kekuatan alam (petir) dan penampakan arwah yang terperangkap mewakili "keadilan retributif" dari hukum alam. Bagian kisah ini mengkritik "kesombongan hukum" yang melekat dalam hukum positif yang mengasumsikan kontrol manusia atas alam dan masyarakat dapat menjadi absolut.
Novel ini menyiratkan bahwa kerangka hukum yang gagal mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan, penghormatan terhadap konteks lokal, dan pertimbangan etis, secara inheren tidak stabil dan pada akhirnya akan mengarah pada kehancuran diri, baik secara fisik maupun spiritual.
6.3. Membangun "Korporasi Desa Gayam”
Desa Gayam akhirnya memutuskan untuk membangun pabrik air minum kemasan sendiri, menolak investor eksternal dan menegaskan kendali atas mata air purba mereka. Ini adalah "proklamasi melawan pasar yang memonopoli kehidupan". Keputusan ini adalah "kemenangan kedaulatan lokal dan tindakan kolektif," memastikan keuntungan bermanfaat bagi seluruh desa. Sekitar 20% dari keuntungan dialokasikan untuk pengelolaan sumber daya air dan kesejahteraan desa. Keberhasilan korporasi Desa itu dikaitkan dengan "kualitas tinggi, harga terjangkau, dan narasi perlawanan yang kuat," untuk menarik konsumen yang mencari produk berkelanjutan.
Pendirian korporasi Desa bukan hanya usaha ekonomi; ini adalah tindakan langsung untuk "menegaskan kembali kedaulatan lokal" dan membangun "legalitas alternatif". Dengan memilih untuk mengendalikan sumber daya mereka sendiri dan menginvestasikan kembali keuntungan secara lokal, desa secara efektif menciptakan "sistem hukum mini" sendiri untuk pengelolaan sumber daya dan distribusi kekayaan yang memprioritaskan kesejahteraan komunal di atas keuntungan korporat eksternal.
"Model hukum/ekonomi berbasis komunitas" ini adalah manifestasi praktis dari prinsip-prinsip adat dalam kerangka bisnis modern. Cara berkisah ini menawarkan contoh sastra yang kuat tentang bagaimana komunitas yang terpinggirkan dapat mencapai keadilan dan penentuan nasib sendiri, bukan dengan menolak modernitas secara langsung, tetapi dengan mengadaptasi dan mengintegrasikan prinsip-prinsip adat ke dalam struktur ekonomi dan hukum baru. Suatu model untuk reformasi hukum yang didorong oleh akar rumput, berkelanjutan, dan berakar pada nilai-nilai lokal, yang menantang pemaksaan hukum positif dari atas ke bawah.
6.4. Menavigasi Kompleksitas Hukum dan Pasar Perkotaan (Depok, Surabaya) melalui Solidaritas dan Tindakan Strategis
Para protagonis menjelajah ke Depok dan Surabaya, menghadapi bentuk "kerumunan" baru—pasar perkotaan yang kompleks, kekuatan korporat, dan hambatan birokrasi. Mereka menghadapi skeptisisme, "tawa terlatih" dari pengusaha mapan, dan ancaman langsung. Birokrat mempersulit perizinan, dan perusahaan besar campur tangan dengan distributor. Di lingkungan perkotaan, "perjuangan melawan penindasan sistemik" bergeser dari konfrontasi fisik langsung ke "pertempuran untuk keadilan" dalam sistem hukum dan pasar yang kompleks.
Novel ini menyoroti pembentukan "konsorsium pedagang kecil" dan aliansi dengan aktivis seperti Clara. "Solidaritas jaringan" ini menjadi bentuk "perlawanan hukum," menantang "monopoli" yang mapan dan "sistem yang terstruktur dan licik" bukan melalui pertempuran hukum langsung (yang tidak mereka miliki sumber dayanya), tetapi dengan membangun struktur kekuasaan alternatif berdasarkan tindakan kolektif dan nilai-nilai bersama. Ini menyiratkan bahwa perubahan hukum dan keadilan dapat dicapai tidak hanya melalui saluran hukum formal tetapi juga melalui pengorganisasian akar rumput dan penciptaan jaringan ekonomi dan sosial alternatif. Novel ini menggambarkannya sebagai "pertempuran yang jauh lebih sulit daripada yang bisa kita bayangkan", menyiratkan bahwa reformasi hukum sejati seringkali membutuhkan perlawanan kolektif yang berkelanjutan terhadap struktur kekuasaan yang mengakar.
Kartu tarot "Justice" Ki Rajendra menekankan perjuangan untuk keadilan dengan menjaga keseimbangan di tengah kekuasaan dan tekanan. Kartu tarot "Karma" menegaskan bahwa tindakan yang adil mengarah pada konsekuensi positif.
Novel ini memuncak dengan para pedagang kecil menginvestasikan "seratus milyar rupiah" untuk memperluas bisnis air Desa Gayam, menunjukkan "kerumunan" sebagai "kekuatan tak terbendung dari rakyat jelata yang muak dengan ketidakadilan".
7. Kesimpulan: Membayangkan Kembali Keadilan dalam Lanskap Hukum Pluralistik
7.1. Sintesis Keadilan Formal, Adat, dan Kosmis dalam Novel
Novel ini menyajikan lanskap hukum yang kompleks. Hukum positif (protokol pemerintah, regulasi korporat, dinamika pasar) seringkali bertabrakan dengan adat (gotong royong, pengelolaan sumber daya komunal, kearifan leluhur) dan hukum kosmis (keseimbangan alam, konsekuensi karmik, intervensi spiritual). Keadilan sejati dalam "Kerumunan adalah Neraka" tidak dicapai oleh dominasi satu sistem hukum tetapi melalui interaksi dinamis dan, kadang-kadang, sintesis ketiganya. Novel ini menyiratkan bahwa hukum formal diperlukan untuk ketertiban tetapi tidak cukup untuk keadilan sejati jika mengabaikan konteks sosial dan ekologis.
Keberhasilan Desa Gayam dan Kampung Tujuh terletak pada kemampuan mereka untuk mengintegrasikan elemen-elemen hukum positif (misalnya, mendirikan BUM Desa, terlibat dalam distribusi pasar) dengan prinsip-prinsip adat (misalnya, kepemilikan komunal, praktik berkelanjutan, penghormatan terhadap kearifan leluhur) dan kesadaran akan hukum kosmis (misalnya, memperhatikan peringatan dari alam, mencari bimbingan spiritual).
7.2. Kontribusi Novel terhadap Diskursus Hukum
"Kerumunan adalah Neraka" berfungsi sebagai eksplorasi sastra tentang pluralisme hukum, menunjukkan bagaimana berbagai sistem hukum hidup berdampingan, berkonflik, dan beradaptasi dalam satu masyarakat. Novel ini melampaui deskripsi sistem hukum untuk mengeksplorasi pengalaman hidup mereka dan dampaknya yang mendalam pada perilaku manusia dan kesejahteraan komunitas.
Novel ini mengkritik keterbatasan hukum positif, terutama kecenderungannya terhadap kekakuan, kerentanannya terhadap manipulasi oleh kepentingan yang kuat, dan kegagalannya untuk mengatasi dimensi keadilan sosial dan spiritual yang tidak dapat diukur. Ini menyoroti bagaimana kerangka hukum formal secara tidak sengaja dapat mengikis kohesi sosial dan menciptakan bentuk-bentuk ketidakadilan baru.
Sebaliknya, novel ini mengunggulkan ketahanan dan kapasitas adaptif adat sebagai sumber keadilan substantif, menekankan perannya dalam menumbuhkan komunitas, mempromosikan keberlanjutan, dan menyediakan kompas moral. Ini juga memutar kembali konsep hukum kosmis sebagai penentu keadilan tertinggi, mengingatkan pembaca bahwa tindakan manusia memiliki konsekuensi yang melampaui akuntabilitas hukum formal.
Melalui perpaduan genre (realisme sosial, fiksi filosofis, realisme magis), novel ini menawarkan kritik multi-faceted. Realisme magis, khususnya, memungkinkan representasi alegoris trauma sejarah, keluhan yang ditekan, dan "kedudukan hukum" alam, membuat konsep hukum abstrak menjadi nyata dan beresonansi secara emosional. Narasi pada akhirnya menyiratkan bahwa sastra, dengan terlibat dalam pertanyaan hukum dan filosofis yang kompleks melalui penceritaan, dapat memperdalam pemahaman kita tentang keadilan, menantang norma-norma hukum yang berlaku, dan menginspirasi visi alternatif untuk masyarakat yang lebih adil dan harmonis. Ini menunjukkan bahwa "kerumunan," ketika dipahami dan dibimbing oleh prinsip-prinsip keadilan substantif, dapat berubah dari "neraka" penindasan menjadi "fajar harapan" bagi yang terpinggirkan.*



Post a Comment