ARKANA~ Lanskap hukum dan politik regional menunjukkan betapa rapuhnya otonomi hukum di tengah tekanan kekuasaan, kalkulasi ekonomi, dan gelombang opini digital. Dari vonis Mahkamah Agung Thailand terhadap Thaksin Shinawatra, kontroversi penunjukan Dewan Penasihat Danantara, langkah TNI terhadap Ferry Irwandi, hingga demonstrasi Gen Z Nepal yang viral di media sosial, satu benang merah mengikat semuanya: hukum tak lagi berdiri sebagai institusi deliberatif yang otonom, melainkan sebagai medan kontestasi antara negara, pasar, dan algoritma.
Vonis Mahkamah Agung Thailand terhadap Thaksin Shinawatra menjadi titik awal yang mengguncang kredibilitas Badan Pengelola Investasi Danantara. Thaksin, yang sebelumnya divonis delapan tahun penjara atas kasus korupsi, sempat melarikan diri ke luar negeri dan kembali ke Thailand pada 2023 setelah mendapat pengampunan dari Raja. Namun, Mahkamah Agung menilai bahwa hukuman yang dijalani Thaksin di ruang VIP rumah sakit tidak memenuhi syarat sebagai hukuman penjara yang sah. Ia pun diperintahkan untuk menjalani satu tahun hukuman di penjara sesungguhnya. Di Indonesia, penunjukan Thaksin sebagai anggota Dewan Penasihat Danantara sejak delapan bulan lalu telah menuai kritik. Banyak pihak mempertanyakan sensitivitas dan kehati-hatian pemerintah dalam memilih figur yang akan mewakili kredibilitas investasi nasional. Dalam perspektif sosiologi hukum Mathie Deflem, ini adalah contoh bagaimana hukum dalam konteks ekonomi dan politik sering kali dikompromikan demi kalkulasi strategis. Hukum kehilangan otonominya ketika institusi negara lebih mengutamakan citra dan koneksi global ketimbang rekam jejak etis dan legal dari para aktor yang mereka libatkan.
Di ranah domestik, langkah TNI terhadap Ferry Irwandi menimbulkan kekhawatiran serius tentang batas antara hukum militer dan hukum sipil. Dansatsiber TNI, Brigjen JO Sembiring, menyatakan bahwa Ferry terindikasi melakukan pelanggaran pidana yang mengancam pertahanan siber. Namun, TB Hasanuddin dari Komisi I DPR mengingatkan bahwa Pedoman Pertahanan Siber tahun 2014 membatasi fungsi pertahanan siber TNI hanya di lingkungan internal. Ketika institusi militer mulai menyeret warga sipil ke ranah pidana atas tuduhan pencemaran nama baik, kita menghadapi ancaman terhadap prinsip due process dan kebebasan berekspresi. Dalam kerangka Deflemian, ini menunjukkan bagaimana hukum dapat terkooptasi oleh struktur politik dan militer, kehilangan kapasitasnya sebagai ruang deliberatif yang menjamin hak-hak sipil.
Sementara itu, reshuffle kabinet oleh Presiden Prabowo menambah lapisan kompleksitas dalam relasi antara hukum dan politik. Lima menteri dicopot, empat di antaranya berasal dari kabinet Jokowi, namun sembilan lainnya tetap dipertahankan. Di tengah dinamika ini, muncul klaim dari Menkeu baru, Purbaya Yudhi Sadewa, bahwa kesejahteraan masyarakat meningkat: 3,59 juta lapangan kerja baru, penurunan tingkat kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi 5,12%. Namun, data Bank Indonesia menunjukkan penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) ke angka 117,2—terendah sejak 2022. Survei juga menunjukkan pesimisme terhadap ketersediaan lapangan kerja, terutama di kalangan SMA dan diploma. Ekonom Wijayanto Samirin mengingatkan bahwa rasio pajak turun ke 9,6%, dan beban bunga utang mencapai 20% dari APBN. Dalam perspektif Deflem, hukum ekonomi bukan sekadar angka, melainkan refleksi dari struktur sosial dan legitimasi institusional. Ketika kebijakan fiskal dikelola tanpa transparansi dan akuntabilitas, hukum kehilangan kredibilitasnya sebagai instrumen keadilan distributif.
Di ranah hukum pidana, kasus Immanuel Ebenezer alias Noel, eks Wamenaker, menunjukkan bagaimana jabatan publik bisa menjadi ladang pemerasan. KPK menemukan setoran Rp 3 miliar dan motor Ducati Scrambler, serta tiga mobil mewah yang dibawa kabur. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga pengkhianatan terhadap etika jabatan publik. Deflem menekankan bahwa hukum harus menjaga otonominya dari intervensi politik dan ekonomi. Ketika penegakan hukum tunduk pada kepentingan elite, hukum berubah menjadi arena negosiasi kekuasaan.
Di luar negeri, demonstrasi besar-besaran di Nepal yang dipimpin oleh Gen Z menjadi sorotan utama di media sosial. Ribuan demonstran membakar gedung parlemen, markas Partai Kongres Nepal, dan rumah mantan perdana menteri Sher Bahadur Deuba. Aksi ini digerakkan melalui media sosial, menuntut pencabutan larangan penggunaan platform digital. Dalam perspektif Deflem, media sosial memperkuat kontrol sosial sekaligus mengaburkan batas antara fakta dan opini. Ketika hukum tunduk pada tekanan viral, ia kehilangan stabilitasnya sebagai institusi rasional. Demonstrasi Nepal menunjukkan bahwa hukum kini beroperasi dalam lanskap digital yang cair, yang mana legitimasi tidak lagi dibentuk melalui prosedur deliberatif, melainkan melalui trending dan viralitas.
Semua peristiwa ini menunjukkan satu hal: hukum sedang berada dalam tekanan multidimensi. Di satu sisi, loyalitas politik mengaburkan batas antara jabatan dan integritas. Di sisi lain, krisis fiskal menantang legitimasi hukum ekonomi. Sementara itu, media sosial membentuk opini publik yang tak selalu berbasis deliberasi. Jika pemerintah lebih sibuk mengamankan loyalitas politik ketimbang membangun tata kelola fiskal yang transparan dan penegakan hukum yang kredibel, maka janji pertumbuhan ekonomi bisa berbalik menjadi bumerang: stabilitas terguncang, pasar resah, dan demokrasi makin kosong dari isi.
Dalam dunia yang semakin kompleks, hukum tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus terus-menerus menegosiasikan otonominya di tengah tekanan politik, ekonomi, dan opini digital. Jika negara gagal menjaga batas antara hukum dan kekuasaan, maka hukum hanya akan menjadi bayang-bayang dari kehendak yang paling dominan. Editorial ini adalah panggilan untuk kembali pada prinsip: bahwa hukum bukan alat kekuasaan, melainkan ruang deliberasi yang menjamin martabat setiap warga. Jika tidak, maka publik akan terus kehilangan pegangan dalam menuntut keadilan yang sejati. Dan hukum akan kehilangan maknanya sebagai institusi yang melayani, bukan menguasai.*
Post a Comment