ARKANA~ Vanua datang ke Desa Gayam bukan sebagai penyelamat, melainkan sebagai pengungsi—dari luka yang belum sembuh, dari kota-kota yang dilanda pandemi, dan dari kegagalan sains yang pernah ia percaya sebagai jawaban segalanya. Dalam dirinya, Kerumunan adalah Neraka menanamkan konflik eksistensial antara pengetahuan medis yang empiris dan kenyataan sosial yang absurd.
Sains dalam Krisis
Vanua adalah sukarelawan medis yang pernah menyaksikan rumah sakit penuh sesak, suara ventilator tak henti, dan kematian yang menyelinap cepat tanpa kejelasan. Ia memercayai protokol, diagnosis, dan alat-alat bantu kehidupan. Namun, pengalaman itu justru meninggalkan trauma—karena meski telah berbuat maksimal, banyak nyawa tetap melayang.
Rasionalitas, alih-alih memberi harapan, menjadi beban. Ia melihat bahwa sains tidak bisa menenangkan ketakutan, tidak bisa menjawab teriakan ibu yang kehilangan anaknya, dan tidak bisa menolak makhluk-makhluk yang hanya eksis dalam kepercayaan kolektif. Rasionalitas kalah oleh bisik-bisik dan ketegangan sosial yang meluas ke seluruh tubuh desa.
Desa sebagai Medan Eksorsisme Sosial
Desa Gayam berubah menjadi ruang eksorsisme kolektif. Ketika Pak Slamet ditemukan tewas dengan ekspresi ketakutan yang membeku, warga segera menyimpulkan bahwa ini adalah ulah dedemit, bukan serangan jantung atau virus Covid-19. Vanua mencoba menawarkan penjelasan medis: mungkin ada racun, tekanan darah, virus atau trauma yang tersembunyi. Tapi hasilnya nihil. Mayatnya bersih, kecuali wajah yang tampak seolah baru melihat neraka.
Warga tidak butuh diagnosis, mereka butuh narasi. Dan narasi yang tersedia adalah ini: kutukan, dendam, dan dedemit. Maka, mulai muncul ritual-ritual spontan dan kewaspadaan kolektif terhadap suara tawa melengking. Desa menciptakan eksorsisme sosial bukan dengan pendeta atau dukun, tetapi melalui wacana yang terus ditiupkan dari mulut ke mulut.
Gagalnya Dialog Epistemik
Vanua dan Mudra menjadi dua kutub epistemik yang bertolak belakang. Vanua bersandar pada ilmu pengetahuan, sedangkan Mudra pada kebijaksanaan lokal. Namun, keduanya tidak saling menafikan. Dalam salah satu adegan, mereka bersepakat bahwa ketakutan harus ditangani bersama. Vanua mulai menyadari bahwa jika pengetahuan tidak mampu menenangkan batin manusia, maka ia bukan solusi, hanya alat kering yang kehilangan makna.
Ketika Forensik Menyerah
Salah satu simbol krusial dalam novel adalah ketika Vanua melakukan pemeriksaan forensik terhadap mayat Pak Slamet. Tidak ditemukan luka, racun, atau sebab kematian yang logis. Kematian itu hanya menyisakan ekspresi ngeri. Di titik inilah sains menyerah. Ketika ilmu pengetahuan tak bisa menjelaskan fenomena, muncullah ruang bagi narasi gaib, spiritualitas, dan mitologi untuk mengisi kekosongan.
Belajar dari Ketakutan
Novel ini mengajukan satu gugatan penting: kegagalan sains bukanlah karena ilmunya, tetapi karena keterbatasan bahasanya dalam menjangkau emosi kolektif. Ketika orang merasa takut, kehilangan, dan bingung, mereka tidak mencari data. Mereka mencari cerita. Maka eksorsisme sosial hadir bukan untuk menggantikan ilmu, tetapi untuk melengkapinya dengan empati, simbol, dan bahasa bersama.
Vanua, pada akhirnya, bukan hanya tokoh skeptis. Ia adalah cerminan dari banyak orang modern yang percaya pada sains, tetapi tetap tak berdaya di hadapan kenyataan sosial yang lebih kompleks dari rumus atau teori medis. Dan di sinilah eksorsisme sosial menjadi terapi: bukan dengan mengusir roh jahat, tapi dengan merangkul ketakutan agar tidak menjelma jadi kekuasaan yang menindas.*



Post a Comment