-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Apakah Dedemit Itu Nyata? Tafsir Psikoanalisa atas Ketakutan Tak Bernama

ARKANA~  Di Desa Gayam, hantu bukanlah fiksi. Mereka hadir dalam bisikan, dalam tawa melengking dari pohon beringin, dan dalam bayangan samar di jendela malam. Namun dalam lapisan naratif Kerumunan adalah Neraka, pertanyaan mendasarnya bukanlah “apakah dedemit itu ada?”, melainkan “mengapa kita mempercayainya?” Dan di sinilah teori psikoanalisa Sigmund Freud menemukan ruangnya.

Dedemit sebagai Proyeksi Trauma

Freud dalam esainya Das Unheimliche atau The Uncanny tentang perasaan aneh kaitan dengan boneka, menyatakan bahwa yang menyeramkan bukanlah yang asing, melainkan yang akrab namun disangkal. Kuntilanak, pocong, genderuwo, dan wewe gombel dalam novel ini adalah manifestasi dari hal-hal yang selama ini ditekan oleh warga: rasa bersalah, kehilangan, dan trauma kolektif. Mereka muncul bukan karena dunia gaib mengintervensi dunia manusia, tetapi karena jiwa manusia menyuarakan luka yang belum sembuh.

Pocong menjadi tanda dari masa lalu yang belum tuntas. Kuntilanak memekikkan duka dan dendam yang tak terucapkan. Wewe Gombel mewakili kegagalan fungsi keibuan yang traumatik. Semua entitas ini adalah simbol-simbol psikis yang naik ke permukaan saat pertahanan rasional goyah.

Vanua: Rasionalitas sebagai Ketakutan Baru

Vanua adalah karakter yang menolak mempercayai dedemit. Tapi justru karena itu, ia terjebak dalam kecemasan khas modern: takut terhadap ketakutan itu sendiri. Bagi Vanua, semua ini hanyalah hasil ketidakpastian dan efek domino dari desas-desus. Namun ia gagal menyadari bahwa dalam konteks psikoanalisa, justru penyangkalan yang keras terhadap “yang tak rasional” sering kali menjadi pintu masuk menuju neurosis kolektif.

Novel ini membalikkan logika modern: yang menolak percaya bukan berarti lebih rasional, bisa jadi justru lebih rapuh—karena menyangkal bagian-bagian gelap dalam diri dan komunitas.

Sari dan Sublimasi Ketakutan

Tokoh Sari memainkan peran Freudian yang unik. Ia tidak melawan hantu dengan logika, tapi dengan cerita. Ia tidak menyanggah keberadaan dedemit, melainkan menafsirkan mereka ulang: kuntilanak yang kesepian, genderuwo yang marah karena hutannya rusak, dan tuyul yang lapar karena ditinggalkan. Sari mempraktikkan apa yang disebut Freud sebagai sublimasi: mengalihkan dorongan primitif menjadi ekspresi simbolik dan kreatif.

Dengan dongeng, ia memanusiakan rasa takut. Melalui puitisasi, ia menjinakkan horor. Dan dengan pendekatan ini, ia membebaskan warga dari ketakutan yang membatu—bukan dengan menghapusnya, tapi dengan mengajaknya berdialog.

Dedemit sebagai Cermin Tak Sadar

Ketika desa panik, hantu-hantu menjadi lebih nyata. Ketika warga saling curiga, bayangan hitam menjadi semakin pekat. Ini bukan semata-mata plot supranatural. Ini adalah demonstrasi dari hukum psikologi tak sadar: ketakutan yang ditekan akan kembali, dalam bentuk yang lebih mengerikan.

Freud menyebutnya sebagai return of the repressed. Dan dalam novel ini, yang kembali bukanlah setan luar, melainkan luka batin kolektif yang lama dibungkam: kemiskinan, kematian tak jelas, rasa bersalah karena meninggalkan tradisi.

Dari Monster ke Metafora

Apakah dedemit itu nyata? Jika yang dimaksud adalah makhluk dengan tubuh dan bau anyir, mungkin tidak. Tapi jika yang dimaksud adalah gejala psikis, simbol budaya, dan bahasa dari jiwa yang terluka, maka mereka lebih nyata dari apa pun. Mereka tinggal di tengah kita, dalam bentuk-bentuk yang selalu berubah—dari tawa kuntilanak, tatapan genderuwo, hingga sunyi rumah-rumah yang tak lagi percaya pada cahaya.

Kerumunan adalah Neraka mengajak pembaca untuk membaca dedemit sebagai bagian dari “kita yang tak ingin kita lihat”—dan mungkin, satu-satunya cara menghadapi mereka adalah dengan menyalakan lampu dalam diri kita sendiri.*


Post a Comment

Post a Comment