-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Neraka adalah Orang Lain: Tafsir Sartrean atas Vanua dan Trauma Kolektif

ARKANA~ Dalam salah satu ungkapan paling terkenal dari filsafat eksistensial, Jean-Paul Sartre menulis, “L’enfer, c’est les autres” — neraka adalah orang lain. Kalimat itu bukan kebencian pada kemanusiaan, melainkan kegelisahan akan kehadiran orang lain yang senantiasa “melihat”, menilai, dan menuntut. Dalam Kerumunan adalah Neraka, gagasan ini menjelma dalam sosok Vanua, sosok yang cerdas, rasional, tapi terperangkap dalam labirin sosial yang mempertemukan trauma personal dengan beban kolektif.

Vanua dan Cermin Terbelah

Vanua hadir sebagai tokoh yang menjembatani dunia luar dan dunia desa. Ia bukan penduduk desa yang murni, tapi juga belum sepenuhnya menjadi "urban elite." Posisi ambigu ini menjadikannya wadah sempurna bagi kegalauan eksistensial Sartrean. Dalam novel, Vanua tidak takut pada makhluk halus, tapi takut pada kerumunan yang identik dengan desas-desus, kehadiran warga yang pasif-agresif, dan warung kopi yang lebih menyeramkan ketimbang hutan lebat.

Sebagaimana Sartre menguraikan bahwa kehadiran orang lain mengubah kita menjadi objek (the look), Vanua merasa identitasnya tidak pernah utuh karena selalu terpantulkan dan terdistorsi oleh “pandangan” orang lain. Trauma Vanua bukan hanya soal masa lalu pribadi, tapi juga tentang bagaimana desa menatapnya.

Kerumunan sebagai Kesadaran Negatif

Novel ini membalik gagasan "masyarakat sebagai pengasuh" menjadi "masyarakat sebagai penjaga api neraka". Desa bukan lagi tempat pulang, tetapi ruang di mana rasa bersalah, kecurigaan, dan kepasifan sosial memadat menjadi kekuatan tak kasatmata. Vanua tidak benar-benar diburu oleh makhluk gaib, tapi oleh intensitas tatapan sosial—dan dalam hal inilah novel menyatu dengan Sartre.

Kerumunan bukan sekadar figur fisik, tetapi kesadaran kolektif yang memerangkap. Setiap tindakan, keputusan, atau bahkan keraguan Vanua selalu ditafsirkan melalui mulut orang lain. Dan pada titik itulah, neraka menjadi sesuatu yang sangat nyata.

Jalan Keluar Eksistensial?

Namun seperti filsafat Sartre, novel ini tidak berhenti pada kehampaan. Vanua, meski rapuh dan sinis, perlahan belajar untuk berdiri dalam ketegangan itu. Ia tidak menemukan kebebasan mutlak, tetapi menemukan cara untuk tetap waras di tengah masyarakat yang tidak menawarkan pelarian. Kebebasannya tidak hadir dalam bentuk heroik, tetapi dalam sikap reflektif—berani meragukan kerumunan tanpa menjadikannya musuh.

Sartre di Warung Kopi

Kerumunan adalah Neraka tidak menyebut Sartre secara eksplisit berulang kali, tapi membisikkan filsafatnya melalui suasana, konflik batin, dan relasi antartokoh. Vanua menjadi representasi manusia Sartrean—yang dikutuk untuk bebas, tapi dikelilingi oleh tatapan yang mengikat. Di desa tempat hantu dan rumor hidup berdampingan, kita menyadari: terkadang, dedemit itu tidak datang dari hutan. Mereka duduk bersamamu di warung kopi, menyamar sebagai tetangga.*


0

Post a Comment