ARKANA~ Sari adalah tokoh yang secara halus tetapi kuat memancarkan kekuatan perempuan dalam Kerumunan adalah Neraka. Ia bukan tokoh yang bising atau heroik secara konvensional, namun melalui ketenangannya, ia menciptakan ruang-ruang literasi, keberanian, dan spiritualitas di tengah desa yang dilanda pandemi dan ketakutan massal. Ia menjadi suara yang menjahit kembali nalar dan naluri, terutama dalam konteks tubuh perempuan dan pengetahuan lokal yang sering disembunyikan di balik layar wacana formal.
Dari Keris Pasopati hingga Perpustakaan Rumah
Sari bukan sekadar pegiat literasi. Ia adalah penjaga Keris Pasopati, simbol kontinuitas spiritual dan tanggung jawab turun-temurun. Di tengah ketegangan logistik dan krisis pangan, ia menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak harus maskulin atau dominan secara kekuasaan, melainkan bisa melalui perawatan, pengetahuan, dan tindakan kolektif.
Keputusannya untuk membangun perpustakaan di masa krisis bukanlah gestur simbolik, tetapi tindakan politik dalam makna mendalam: bahwa pengetahuan adalah bentuk perlawanan terhadap ketakutan dan penggiringan wacana oleh elite desa. Ia menciptakan narasi tandingan yang hidup, dari dongeng anak-anak hingga diskusi sastra kritis untuk remaja—sebuah laboratorium intelektual di tengah desa.
Seksualitas sebagai Energi Pengetahuan
Narasi tentang Sari juga menyentuh ranah yang jarang disentuh dengan terang: seksualitas. Bukan dalam bentuk vulgar, tetapi sebagai energi tersembunyi yang menyatu dengan spiritualitas dan etika perempuan. Ketertarikan antara Sari dan Mudra, serta dinamika segitiga dengan Vanua, bukan semata-mata kisah cinta, tetapi pertemuan tiga kutub epistemik: mitos, sains, dan kearifan lokal.
Dalam novel ini, seksualitas Sari tidak pernah dipertontonkan, tetapi dipelihara sebagai potensi kreatif. Ia menjadi sumber perasaan, kekuatan, dan keheningan yang produktif. Sari tidak direduksi menjadi objek cinta, tetapi menjadi subjek yang menentukan arah percakapan, bahkan di hadapan pria yang mencintainya.
Ibu Bumi dan Politik Kesadaran Perempuan
Salah satu puncak simbolik peran Sari adalah pertemuannya dengan Ibu Bumi. Ini bukan sekadar episode spiritual, tetapi bentuk artikulasi bahwa tubuh perempuan menyimpan bahasa semesta. Dalam dialog itu, Sari diingatkan bahwa kekuatan tak datang dari luar, melainkan dari dalam dirinya sendiri sebagai bagian dari alam dan sejarah.
Dialog itu mempertemukan ekologi, teologi, dan feminisme dalam satu peristiwa naratif. Ibu Bumi adalah arketipe keibuan yang menyatukan kekuatan lembut dan ketegasan. Sari menjadi penerusnya, bukan dalam makna simbolik semata, tetapi dalam aksi nyata: mengorganisir warga, menghadapi kekuasaan yang represif, dan menjaga semangat kolektif tetap menyala.
Cerita sebagai Senjata Melawan Ketakutan
Sari menjadikan cerita sebagai bentuk politik resistensi. Ia menafsir ulang dedemit bukan sebagai makhluk yang harus ditakuti, tetapi sebagai cermin luka kolektif. Kuntilanak adalah ibu yang kehilangan, tuyul adalah simbol kelaparan sosial, genderuwo adalah marahnya alam. Dalam cerita-cerita itu, ia tidak hanya merawat imajinasi warga, tapi juga membebaskan mereka dari mitos yang membekukan.
Di balik dongeng, Sari mengajarkan hermeneutika. Ia menyusun kembali cara pandang warga terhadap hal-hal yang menakutkan dengan lensa empati dan pemahaman.
Tubuh sebagai Arsip Pengetahuan
Tokoh Sari menunjukkan bahwa tubuh perempuan bukan hanya objek dalam narasi, tetapi arsip dari ingatan, trauma, dan harapan kolektif. Ia membawa keris Pasopati, bukan sebagai simbol maskulinitas, tapi sebagai energi pengetahuan yang hidup. Ia menjadi pustakawan, pemimpin pangan, pendongeng, dan kekasih dalam satu tubuh—sebuah metafora kompleks tentang bagaimana tubuh perempuan bisa menjadi pusat dari politik keberlanjutan komunitas.
Dalam novel ini, Sari tidak harus berteriak atau melawan dengan kekerasan. Ia melawan dengan kata, kasih, dan pengetahuan. Dan karena itulah, ia menjadi salah satu suara paling kuat di tengah kerumunan yang nyaris menjadi neraka.*



Post a Comment