-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Antara Kutukan Leluhur dan Disosiasi Modernitas

ARKANA~  Apa yang lebih menakutkan: kutukan dari masa lalu atau kegagalan memahami masa kini? Dalam Kerumunan adalah Neraka, ketakutan terhadap kutukan leluhur tidak hanya menjadi latar cerita, melainkan gejala yang lebih kompleks: keretakan antara tradisi dan rasionalitas, antara trauma lama dan kegamangan modernitas. 

Kutukan sebagai Retakan Historis

Ketika kematian misterius menimpa Pak Slamet dan berbagai penampakan gaib merebak, warga desa segera mengaitkannya dengan murka leluhur. “Desa ini dikutuk,” ujar mereka. Keyakinan itu muncul begitu cepat, bahkan tanpa investigasi mendalam. Ini bukan sekadar respons spiritual, tapi sebuah mekanisme untuk mengatasi absurditas kematian tak wajar yang tak sanggup dijelaskan oleh ilmu.

Namun dalam lanskap novel, kutukan itu juga berfungsi sebagai metafora—bahwa ada sesuatu dari masa lalu yang belum tuntas. Entah pengkhianatan terhadap tradisi, eksploitasi terhadap tanah adat, atau hilangnya penghormatan terhadap ruang keramat. Dan dari celah sejarah yang tak pernah dibereskan itulah, lahir entitas-entitas “gaib” sebagai simbol peringatan dan penuntut keadilan.

Vanua: Disosiasi Rasional dari Dunia yang Tak Rasional

Vanua adalah representasi modernitas. Ia percaya pada forensik, data, dan penalaran. Namun setiap kali ia mencoba menafsirkan kematian dengan logika medis, ia berhadapan dengan sesuatu yang melampaui akalnya—ekspresi ketakutan ekstrem, tubuh tanpa luka, kematian tanpa sebab.

Dalam psikologi modern, disosiasi adalah respons terhadap pengalaman yang terlalu berat untuk dicerna. Apa yang terjadi pada Vanua pun serupa: ia mengalami disosiasi epistemik. Ia tidak menyangkal apa yang dilihatnya, tapi ia tidak sanggup memakainya sebagai kebenaran. Maka lahirlah jurang antara "tahu" dan "percaya", antara "melihat" dan "mengakui".

Novel ini menggarisbawahi bagaimana modernitas bisa menjadi terlalu sempit ketika berhadapan dengan realitas simbolik yang hidup dalam masyarakat. Bukannya membawa pencerahan, ia justru menciptakan isolasi—karena yang rasional pun bisa menjadi bisu ketika berhadapan dengan yang sakral.

Konflik Kolektif: Kutukan sebagai Katalis Disintegrasi

Desas-desus kutukan tidak berhenti pada bisik-bisik. Ia menjelma menjadi konflik horizontal. Warga mulai mencari kambing hitam. Mudra dan Vanua, yang mencoba mencari jawaban, justru dituduh sebagai pembawa sial. "Sejak kalian kembali dari hutan, semuanya semakin buruk!" teriak seorang warga dengan mata merah karena takut dan marah.

Kutukan, dalam hal ini, menjadi narasi pengikat sekaligus pemecah. Ia menyatukan mereka dalam ketakutan, namun juga mendorong mereka untuk saling menyerang. Di sinilah tampak bagaimana narasi masa lalu yang tidak direkonsiliasi bisa menjadi kekuatan destruktif dalam masyarakat kontemporer.

Kutukan sebagai Cermin: Belajar dari Masa Lalu

Tak semua tokoh dalam novel menyerah pada narasi kutukan. Beberapa tokoh seperti Mudra dan Sari mencoba menggali lebih dalam: apakah benar ini kutukan leluhur? Atau justru leluhur sedang bicara dalam bahasa simbol yang gagal dipahami?

Pertanyaan-pertanyaan ini membuka ruang untuk memahami kutukan bukan sebagai dogma, melainkan sebagai pesan. Sebuah kode budaya yang menuntut penerjemahan: bahwa ada ketidakseimbangan yang harus diperbaiki, nilai-nilai yang dilupakan, dan luka sejarah yang belum sembuh.

Antara Magis dan Modern

Esai ini menempatkan kutukan bukan sebagai entitas supernatural yang menyerang dari luar, melainkan sebagai gejala dari disosiasi sosial—terutama disosiasi antara memori kolektif dengan dunia rasional modern. Kerumunan adalah Neraka menunjukkan bahwa tanpa upaya rekonsiliasi, ketakutan akan terus membesar, dan kutukan akan terus menemukan bentuknya yang baru—entah sebagai hantu, trauma, atau kebijakan yang menindas.*



Post a Comment

Post a Comment