-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Gotong Royong yang Membusuk: Ironi Kebersamaan di Tengah Pandemi

ARKANA~  Gotong royong sering dirayakan sebagai roh kehidupan Desa di Indonesia. Perekat sosial yang memungkinkan komunitas bertahan dalam kesederhanaan dan keterbatasan. Namun dalam Kerumunan adalah Neraka, pandemi mengungkap bahwa roh itu tak kebal dari pembusukan. Novel ini memperlihatkan kekuatan kolektif yang dulu menjadi kebanggaan, perlahan berubah menjadi medan ketakutan dan saling curiga.

Pandemi sebagai Ujian Nilai Kolektif

Desa Gayam, dengan seluruh kehangatan dan harmoninya, menjadi ruang uji atas makna gotong royong ketika pandemi tiba. Kegiatan-kegiatan sosial dibatasi, balai desa menjadi sepi, dan warung Bu Minah yang biasanya ramai obrolan menjadi senyap. Ketakutan menggantikan keramahan. Kecurigaan menyingkirkan kepedulian. Gotong royong tidak bubar dalam satu malam. Ia membusuk perlahan, terurai oleh ketidakpastian dan isolasi.

Novel ini tidak menyalahkan masyarakat, melainkan menunjukkan bagaimana krisis seperti pandemi memaksa kita menguji ulang konsep-konsep yang kita anggap mapan. Dalam kondisi ekstrem, nilai-nilai luhur pun bisa runtuh karena naluri bertahan hidup lebih kuat daripada idealisme kolektif.

Dialog Vanua dan Mudra: Pertarungan Epistemik

Konflik antara Mudra dan Vanua menjadi jantung dari narasi ini. Mudra mewakili semangat komunitas, percaya bahwa hanya melalui kebersamaan desa bisa bertahan. Sementara Vanua, yang telah melihat kerusakan yang ditimbulkan oleh kerumunan di kota besar, membawa perspektif berbeda: kerumunan bisa menjadi awal dari bencana.

Perdebatan mereka bukan sekadar soal strategi, tapi juga soal dasar epistemik: apakah manusia dapat mempercayai kebersamaan dalam kondisi krisis? Ataukah justru dalam krisis, individu harus berdiri sendiri dan membangun ulang struktur sosial dengan hati-hati?

Vanua mencurigai gotong royong sebagai bentuk romansa masa lalu yang tidak adaptif dalam krisis modern. Sementara Mudra percaya bahwa kehilangan gotong royong berarti kehilangan jati diri desa itu sendiri.

Simbolisme Keretakan Sosial

Kerusakan ekonomi, mahalnya harga pangan, dan rasa cemas kolektif menjalar ke seluruh lapisan masyarakat. Setiap batuk menimbulkan waspada, setiap sapa dianggap ancaman. Kerja kolektif yang dulu dilakukan tanpa berpikir, kini memerlukan protokol, izin, dan keberanian.

Novel ini menampilkan bagaimana pembusukan gotong royong bukan hanya soal kegiatan fisik, tapi keruntuhan kepercayaan sosial. Balai desa yang kosong, anak-anak yang tak lagi bermain, hingga obrolan warung yang berhenti—semuanya menyimbolkan pergeseran dari masyarakat terbuka menjadi komunitas tertutup, penuh ketakutan dan disintegrasi.

Rehabilitasi Harapan

Kisah ini tidak berhenti pada keputusasaan. Mudra memulai gerakan pemulihan, tidak dengan pidato besar, tetapi dengan tindakan kecil: membersihkan lingkungan, berbincang dari rumah ke rumah, menghidupkan kembali diskusi musyawarah dengan protokol sederhana. Ia sadar bahwa gotong royong tak bisa dipaksakan kembali seperti dulu—ia harus dibangun ulang, pelan-pelan, di atas puing ketakutan dan luka.

Novel ini menawarkan satu kemungkinan: bahwa gotong royong bisa bertransformasi, bukan sebagai aktivitas fisik massal, melainkan sebagai simpul-simpul kepercayaan yang dibangun dari kehidupan sehari-hari warga.

Membaca Gotong Royong Sebagai Laku yang Rapuh

Esai ini mengajak pembaca melihat gotong royong bukan sebagai dogma sosial, tetapi sebagai laku yang perlu dijaga, dirawat, dan diuji ulang. Novel Kerumunan adalah Neraka menggambarkan gotong royong bukan sebagai kemegahan yang utuh, tapi sebagai jaringan halus yang bisa hancur oleh kepanikan.

Dan mungkin, dari reruntuhan itu, muncul bentuk baru kebersamaan—lebih rendah hati, lebih sadar risiko, tapi tak kalah tulus dari sebelumnya.*



0

Post a Comment