-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Kerumunan sebagai Kutukan: Dari Le Bon hingga Desa Gayam

ARKANA~ Dalam The Crowd: A Study of the Popular Mind yang terbit sekitar 1895-1896, Gustave Le Bon menggambarkan kerumunan bukan sebagai kumpulan orang, melainkan sebagai entitas psikologis yang hidup sendiri: irasional, emosional, mudah tersulut, dan berbahaya. Ketika individu larut dalam kerumunan, menurut Le Bon, ia kehilangan identitasnya, larut dalam emosi kolektif, dan menjadi bagian dari organisme sosial yang primitif. Gagasan ini menemukan pantulannya dalam penulisan novel Kerumunan adalah Neraka, khususnya dalam karakter Vanua.

Le Bon Hidup Kembali di Desa Gayam

Vanua datang ke Desa Gayam membawa luka kota: pengalaman sebagai tenaga medis dalam pandemi, menyaksikan langsung bagaimana kerumunan berubah dari solidaritas menjadi kegilaan. Di desa pun, ia menyaksikan gejala yang sama—panik massal, desas-desus, dan ledakan emosi kolektif yang menciptakan suasana mencekam. Ia berkata lantang: “Kerumunan bukan hanya sumber ketakutan, tapi juga sarang kebodohan dan bencana”.

Bagi Vanua, kutukan sejati desa bukanlah makhluk halus, tetapi kerumunan yang kehilangan rasionalitas. Pandangan ini sejalan dengan Le Bon yang menyebut bahwa kerumunan lebih rentan terhadap mitos, simbol, dan dorongan emosi ketimbang argumentasi logis.

Kerumunan dan Disosiasi Sosial

Novel ini mengangkat kerumunan bukan sebagai kehendak bersama, tetapi sebagai atmosfer sosial yang bisa meracuni. Ketika kematian misterius terjadi dan satu rumor menyebar di warung kopi, desa terpecah: sebagian ingin mempertahankan gotong royong, sebagian ingin menjaga jarak demi keselamatan. Ketegangan ini adalah bentuk disosiasi sosial—yang mana nilai kebersamaan yang selama ini sakral, mulai dicurigai dan ditinggalkan.

“Kerumunan” dalam teks novel bukan simbol kekuatan, tapi arena konflik antara dua jenis logika: logika modernitas yang rasional dan logika tradisi yang komunal.

Mudra dan Tafsir Positif atas Kerumunan

Sebaliknya, Mudra menolak melihat kerumunan sebagai kutukan. Baginya, kerumunan bukanlah entitas yang perlu dihindari, tetapi dibentuk ulang. Ia berkata: “Kerumunan yang baik adalah yang memiliki tujuan jelas, yang saling mendukung, yang dipimpin oleh orang-orang yang memiliki kebijaksanaan dan hati nurani”.

Ini merupakan counter-argument terhadap Le Bon. Jika Le Bon pesimis terhadap kerumunan, maka Mudra justru membuka kemungkinan bahwa kerumunan bisa menjadi energi sosial positif, asal diarahkan secara etis.

Dari Psikologi Massa ke Politik Etika

Novel Kerumunan adalah Neraka tidak menjadikan Le Bon sebagai doktrin, tetapi sebagai pijakan awal untuk bertanya ulang: benarkah kerumunan selalu buruk? Ataukah, seperti yang diyakini Mudra, kerumunan bisa diselamatkan dengan kebijaksanaan dan keberanian?

Di Desa Gayam, kutukan bukan hanya karena hantu atau leluhur, tapi karena cara kita menyikapi kerumunan. Dan dalam hal ini, novel ini mengajukan tafsir baru: bahwa neraka adalah ketika kerumunan kehilangan arah. Tapi surga mungkin bisa lahir saat kerumunan menemukan cara untuk saling menguatkan tanpa kehilangan akal sehat.*


0

Post a Comment