ARKANA~ Dalam Kerumunan adalah Neraka, hantu-hantu seperti kuntilanak, pocong, dan genderuwo, tidak sekadar berfungsi sebagai elemen horor lokal. Mereka muncul bukan untuk menakuti dalam makna hiburan, tetapi untuk menyingkap sesuatu yang jauh lebih dalam: bayangan kolektif, trauma yang tersembunyi, serta laku-laku psikis yang tak sempat dikatakan oleh masyarakat. Makhluk gaib dalam novel ini adalah realitas psikologis yang lahir dari kepanikan, kesedihan, dan rasa bersalah warga.
Hantu sebagai Simptom Sosial
Kuntilanak tidak hadir sebagai sekadar cerita nenek, tetapi menjadi “tawa melengking dari kehilangan dan penyesalan.” Pocong bukan hanya jasad terbungkus kain kafan, tapi figur masa lalu yang tak kunjung tuntas. Genderuwo menjadi manifestasi ketakutan atas kekuatan alam dan kekuasaan yang tak terkendali. Wewe Gombel merujuk pada insting keibuan yang terdistorsi dalam masyarakat yang menindas.
Seluruh entitas ini adalah metafora konkret dari jiwa yang retak. Dalam psikologi kolektif ala Carl Gustav Jung, mereka bisa dipahami sebagai archetype of shadow—kegelapan kolektif yang ditekan oleh masyarakat dan akhirnya muncul sebagai mimpi buruk nyata.
Vanua: Rasionalitas yang Goyah
Vanua berangkat dari skeptisisme. Ia percaya bahwa ketakutan terhadap makhluk halus adalah hasil dari disinformasi dan kegagalan berpikir logis. Tapi semakin lama ia tinggal di desa, semakin ia menyadari bahwa ketakutan itu tidak bisa sepenuhnya diredam dengan sains. Ia tidak sedang menghadapi entitas gaib semata, tapi narasi kolektif yang hidup dan membentuk realitas sosial.
Ketika desas-desus, mimpi buruk, dan fenomena gaib menjadi begitu dominan, Vanua mulai memahami bahwa yang ia hadapi adalah sistem kepercayaan yang mengorganisir rasa takut dalam bentuk simbolik—dan itu tak bisa dilawan dengan logika semata.
Ketakutan Kolektif sebagai Jantung Konflik
Novel ini membongkar bahwa ketakutan yang tidak dikelola bisa melahirkan makhluk. Bukan secara harfiah, tetapi secara fenomenologis. Ketika masyarakat tak mampu memproses kehilangan, kemarahan, dan kesepian, mereka memproyeksikannya ke luar—menjadi suara tawa malam, jejak kaki di sawah, dan bayangan di balik tirai.
Ketakutan menjadi kekuatan material yang mengatur ritme sosial. Ronda malam, forum warga, hingga pemakaman pun tak luput dari pengaruhnya. Ini bukan sekadar cerita horor, tapi narasi tentang bagaimana masyarakat menciptakan realitas melalui narasi kolektif yang diterima sebagai "kebenaran".
Mudra dan Ritual sebagai Psikoterapi Kolektif
Berbeda dengan Vanua, Mudra menyadari bahwa cara terbaik menghadapi dedemit bukan menyangkalnya, melainkan menyusun ruang bersama untuk memprosesnya. Ia mengusulkan ritual, ronda, obrolan terbuka, dan gotong royong bukan sebagai solusi magis, melainkan sebagai psikoterapi sosial. Dengan melakukan itu, ia mengembalikan kepercayaan antarwarga dan mencegah terjadinya delusi massal yang lebih destruktif.
Hantu sebagai Bahasa Luka
Kerumunan adalah Neraka menghadirkan hantu bukan sebagai horor luar, tapi sebagai gema dari luka batin komunitas. Dalam novel ini, makhluk gaib adalah bahasa kolektif untuk menyampaikan yang tak terucapkan. Mereka adalah cara masyarakat berbicara tentang trauma, pengabaian, dan ketakutan hidup—dan itulah sebabnya mereka tak bisa diusir dengan do’a berbahasa arab atau bahasa latin saja, melainkan dengan keberanian untuk menyelami kegelapan yang kita simpan sendiri.*



Post a Comment