-->
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Search This Blog

Bookmark

Mudra sebagai Arketipe Penjaga Tradisi dalam Dunia yang Terkoyak

ARKANA~ Dalam semesta Kerumunan adalah Neraka, Mudra bukan sekadar tokoh laki-laki lokal yang mencintai desanya. Ia berdiri sebagai arketipe penting: penjaga tradisi di tengah dunia yang bergolak oleh pandemi, modernisasi, dan ketakutan kolektif. Jika Vanua membawa arus sains dan skeptisisme, maka Mudra adalah sumbu spiritualitas dan keharmonisan sosial yang diturunkan dari leluhur.

Mudra: Bukan Pemimpin, Tapi Penjaga Irama

Mudra tidak memiliki jabatan formal pemerintah Desa namun mengemban amanat sebagai Direktur Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa). Ia bukan kepala desa, bukan tokoh agama, bukan pula pejabat pemerintah pusat atau daerah. Tapi dalam novel ini, ia menjadi pusat moralitas dan suara batin masyarakat. Ia mendengarkan lebih banyak daripada berbicara, dan ketika ia bicara, suaranya selalu menggema dalam ingatan pembaca: pelan, reflektif, penuh empati.

Kata-katanya tentang kerumunan—bahwa yang salah bukan massanya, tapi arah dan tujuannya—menggema sebagai kritik atas dunia modern yang terlalu mudah menyalahkan orang banyak tanpa memahami dinamika kolektif.

Arketipe Tradisional dalam Tubuh Modern

Secara struktural, Mudra menyerupai figur Wise Old Man atau Guardian dalam mitologi dan psikoanalisis Jungian. Namun yang menarik, ia bukan tokoh tua. Ia muda, aktif, bahkan kadang ragu. Tapi justru dalam keraguan dan kejujuran itulah arketipe ini dimodernisasi. Ia bukan suara absolut, tetapi suara kolektif yang telah belajar dari luka, bukan hanya dari kitab-kitab atau wangsit.

Di tengah desa yang dilanda konflik antara nilai lama dan janji kemajuan, Mudra tidak memihak ekstrem mana pun. Ia mengajukan solusi: hidup berdampingan dengan alam dan tradisi, sembari memahami dunia baru yang datang tanpa diundang.

Menjinakkan Dedemit dan Modernitas

Saat dedemit dan arwah leluhur muncul dalam konfrontasi simbolik, Mudra memilih berdiri di tengah. Ia mengucapkan bahwa desa tak akan melupakan tradisi, namun juga ingin membaginya dengan dunia luar. Ini bukan kompromi pasif, tapi keberanian untuk menavigasi dua kutub: masa lalu yang ingin dikenang dan masa depan yang ingin dipahami.

Tindakan Mudra menyiratkan bahwa penjaga tradisi bukan berarti menjadi museum hidup. Ia harus menjadi translator, penerjemah nilai-nilai lama agar tetap bisa hidup dalam bahasa zaman kini.

Kesendirian Sebagai Asketisme Sosial

Seperti para penjaga gerbang dalam kisah-kisah arkais, Mudra menjalani kesendirian sebagai fase penempaan batin. Ia sering digambarkan duduk sendiri, merenung, atau menyusuri jalan sepi. Namun bukan karena ia menutup diri, melainkan karena ia mendengarkan dunia dalam sunyi. Dalam novel ini, kesendirian Mudra adalah bentuk asketisme sosial—cara menjaga kewarasan saat kerumunan menjadi bising, penuh emosi dan prasangka.

Arketipe yang Diperlukan Dunia Kini

Di tengah dunia yang terjebak antara idealisme modern dan nostalgia masa lalu, tokoh seperti Mudra menjadi penting. Ia bukan solusi instan, bukan pemimpin karismatik yang menciptakan tatanan baru, tapi penjaga irama: seseorang yang mendengar detak nadi desa, memahami bahasa angin, dan berani berdiri di tengah dua zaman.

Novel ini menunjukkan bahwa untuk menghadapi “neraka” kerumunan, kita tidak hanya butuh rasionalitas, tapi juga pengetahuan arkais yang dijaga dalam hati orang-orang seperti Mudra. Mereka yang tahu kapan harus menanam, kapan harus diam, dan kapan harus bicara demi menjaga keseimbangan dunia yang terus berubah.*


0

Post a Comment